Gowes Menyusuri Flores: Kopi, mana Kopi? (#4)
Minggu, 4 Mei 2025 09:38 WIB
Kami memang sedang craving. Dalam perjalanan menuju Bajawa ini, kami belum mendapat doping kafein sedari pagi.
***
Mendekati spot di ketinggian 500-an meter yang dalam peta google disebut merupakan kedai kopi dengan pemandangan yang amazing, napas saya yang mulai terengah-engah tiba-tiba kembali teratur--seakan-akan ada kekuatan ekstra entah dari mana yang mengembalikan kondisi saya ke level normal. Mungkin ini berkat doa romo dan siswa-siswa yang menerima kami di Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur....
Perasaan suka cita yang mengiringi kondisi itu hanya berlaku sejenak, rupanya. kedai kopi di satu bukit di Kampung Ngogareko, Desa Kaligejo, Kecamatan Aimere, yang menurut informasi dari peta masih beroperasi, ternyata sudah tutup permanen. Yang tinggal hanya bangunan semacam gazebo dengan tempat duduk. bentangan alam nun jauh di bawah memang memanjakan mata.
"Naik lagi saja. sekitar tiga kilometer ada [kedai kopi] di kanan jalan," kata seorang pria yang menyamper kami dan menjawab pertanyaan kami tentang di mana lagi ada tempat mengopi di sekitar lokasi itu.
Kami memang sedang craving. harap maklum, sepanjang pagi hingga menjelang siang itu, dalam perjalanan lanjutan kami menuju Bajawa, kami belum mendapat doping kafein.
Purwanto Setiadi di penanda jarak menuju Bajawa, Flores
Di area yang dikepung hutan di kanan-kiri jalan itu kami jauh dari mana-mana. dan peta jelas tidak sepenuhnya membantu.
Karena merasa perlu kopi serta waktu rehat sejenak, untuk menyelonjorkan kaki sekaligus mengecek dan mengirimkan kabar, kata "tiga kilometer" yang mestinya menggentarkan di area seperti yang sedang kami pijak tanahnya itu kami abaikan. Dalam jarak tersebut, kami tahu, juga dari peta, ada satu hotel.
Dengan memompa semangat dan menarik napas panjang sebelumnya kami melanjutkan mengayuh pedal, merayapi dengan ikhlas semeter demi semeter naiknya ketinggian, melawan daya tarikan gravitasi yang terus menguat. panas matahari terasa memanggang punggung. peluh mengucur, membuat pakaian basah.
Peruntungan, toh, belum klop juga dengan harapan. Hotel itu tidak ada di lokasi. sialnya, tak ada seorang pun yang bisa jadi tempat kami bertanya.
Saat duduk untuk mengatur napas, saya jadi teringat bab pertama buku A guide for the Perplexed. Ini buku filsafat yang digambarkan sebagai yang "paling menggairahkan untuk waktu yang lama". Penulisnya adalah E.F. Schumacher, seorang ekonom sekaligus pemikir Inggris kelahiran Jerman yang dikenal berkat bukunya yang berjudul Small is Beautiful: A Study of Eeconomics as if People Mattered.
Pada bagian pembuka bab, Schumacher menulis begini:
"dalam kunjungan ke Leningrad beberapa tahun lalu saya memeriksa sebuah peta untuk menentukan di mana saya berada, tapi saya tak bisa memastikannya. saya bisa melihat beberapa gereja besar, tapi tak ada jejaknya di dalam peta. ketika akhirnya seorang penerjemah datang membantu saya, dia berkata, 'kami tak memperlihatkan gereja di peta kami.' membantah dia, saya tunjukkan satu yang sangat jelas ditandai. 'ini museum,' katanya, 'bukan apa yang kita sebut 'gereja hidup'. hanya 'gereja hidup' yang tak kami perlihatkan.'"
Dia melanjutkan:
"Lalu jelas bagi saya bahwa hal itu bukanlah kali pertama kepada saya diberikan sebuah peta yang gagal menunjukkan banyak hal yang bisa saya saksikan persis di depan mata saya...."
Dalam perjalanan kami "peta yang gagal menunjukkan banyak hal" itu berlaku. ya, sampai batas tertentu, barangkali. Dengan kedai kopi dan hotel tersebut, paling tidak sudah ada empat tempat yang keberadaannya meleset dari yang terpampang di peta--yang dua lagi adalah sebuah homestay di sekitar Desa Loha, tujuan yang kami rencanakan sebelum melanjutkan trip ke Ruteng, dan warung sate di lokasi tak jauh dari tempat kami menginap di Bajawa.
Meski demikian, ketidaksesuaian itu tampaknya atau sangat boleh jadi merupakan akibat dari perkembangan mutakhir yang tidak segera diberitahukan. Informasinya jadi tidak updated. perkembangan ini, misalnya, menyangkut kelangsungan usaha dari tempat-tempat itu. Sangat boleh jadi ada yang gulung tikar atau menghentikan usahanya. atau ada perkara lain yang jadi penyebabnya.
Hal itu jelas berbeda dengan apa yang sebenarnya menjadi bahan telaah reflektif Schumacher, yakni tentang arah perjalanan hidup manusia di planet ini dan juga kritik terhadap apa yang dia sebut sebagai "saintisme materialistik".
Untungnya, peta google bukanlah tuntunan hidup bagi manusia agar dapat bertahan menghadapi ancaman bencana ekologis. jadi, biarpun ia terbukti mengandung kemelesetan, tidak akurat, kami (mestinya juga siapa saja) tak perlu menghadapinya sebagai problem serius.
Kami menertawakan kesialan, rehat sejenak untuk menata napas dan denyut jantung, dan ya kembali menggowes sepeda dengan khusyuk--yaitu menundukkan pandangan supaya tak melihat jalan di depan yang miring ke atas.

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
4 Pengikut

Pertumbuhan Bukan Berhala
Selasa, 26 Agustus 2025 12:40 WIB
Danantara: Mesin ‘Austerity’ Prabowo
Senin, 18 Agustus 2025 16:53 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler