Jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan
Premanisme: dari Jagoan Kampung ke Jaringan Kekuasaan
Rabu, 7 Mei 2025 21:53 WIB
Premanisme di Indonesia bukan sekadar kejahatan jalanan. Ia adalah cermin retak dari negara yang belum selesai membangun keadilannya.
Premanisme di Indonesia bukan sekadar kejahatan jalanan. Ia adalah cermin retak dari negara yang belum selesai membangun keadilan.
Dalam buku-buku sejarah yang jarang dibuka di kelas sekolah, kita bisa menemukan jejaknya. Di Batavia abad ke-19, dikenal istilah "jago kampung"—tokoh lokal yang memiliki pengaruh, disegani karena nyali dan kekerasannya. Mereka bukan penjahat dalam pengertian kriminal semata, melainkan mediator sosial dalam masyarakat yang kekurangan negara.
Jagoan kampung bukan hanya tukang pukul. Ia adalah penentu keamanan lokal saat hukum negara tak mampu menjangkau. Ia mengatur distribusi air, tanah, bahkan keadilan. Dalam sosiologi klasik, ini disebut informal power—kekuasaan yang tumbuh bukan dari konstitusi, tapi dari kebutuhan masyarakat akan kepastian, betapapun rapuh bentuknya.
Lalu datanglah Orde Baru
Premanisme tak diberantas, melainkan direkrut. Ia diberi peluit, jaket, bahkan izin. Hubungan antara dan penguasa menjadi simbiosis yang gamblang. Organisasi massa tertentu misalnya—beroperasi sebagai tangan informal kekuasaan, menggebuk lawan politik atas nama stabilitas. Nabok nyilih tangan.
Ketika negara membungkam oposisi, preman menjadi aktor yang menjaga ketertiban semu. Sebuah istilah muncul: stabilitas yang menakutkan. Sebab ketenangan yang dibangun bukan atas hukum, melainkan ketakutan.
Reformasi mengguncang istana, tapi premanisme tak ikut runtuh.
Ia justru bertransformasi. Saat kekuasaan menjadi lebih cair dan birokrasi lebih terbuka, mencari rumah baru: di proyek penggusuran, di dunia hiburan malam, di tanah-tanah sengketa, hingga di jalan tol yang memungut lebih dari seharusnya.
Premanisme hari ini tak selalu memakai tato dan sabuk besi. Ia bisa berbentuk LSM gadungan yang mengintimidasi pelaku usaha. Ia bisa hadir sebagai oknum aparat yang meminta "uang koordinasi". Ia bisa pula membungkus dirinya sebagai tokoh masyarakat, tapi meminta jatah dari setiap pergerakan ekonomi.
Sosiolog Ariel Heryanto pernah menulis, dalam masyarakat yang belum sepenuhnya percaya hukum, rasa aman dibeli, bukan dijamin. Dan selama hukum tak bisa menjangkau sampai ke gang sempit dan pasar tumpah, maka akan terus ada—sebagai penyedia "jasa keamanan" yang ditakuti sekaligus dicari.
Karena itu, operasi Polri kali ini, betapapun seriusnya, harus dimaknai lebih dari sekadar tangkap-menangkap. Ia harus menyasar akar yang lebih dalam: ketimpangan sosial, pengangguran, birokrasi yang korup, serta budaya hukum yang masih elitis.
Sebab, ketika negara absen dari ruang-ruang harian warga, akan selalu ada yang datang mengisi kekosongan itu—dengan cara, suara, dan wajah yang tak selalu manusiawi.
Dan di sinilah kita kembali ke pertanyaan awal: benarkah bendera perang telah dikibarkan? Ataukah itu hanya kain putih yang sedang disulap agar tampak seperti panji keberanian?
Di bawah lampu jalan yang temaram malam ini, seorang pedagang kaki lima masih membayar uang "keamanan" pada sosok tak berseragam. Negara belum datang untuknya. Dan mungkin, belum juga berani.
Mahar Prastowo
Penulis adalah jurnalis, pegiat komunitas warga, dan peminat masalah sosial

Penulis Indonesiana
5 Pengikut

Antara Tol, Kali, dan TPU: Dilema Warga Kebon Pala di Ujung Jalan
Kamis, 14 Agustus 2025 09:16 WIB
Skandal Penundaan Eksekusi Silfester Matutina
Rabu, 13 Agustus 2025 06:37 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler