Penulis lepas yang ingin terus menyuarakan isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan. Seorang penikmat karya sastra dan film pendek. \xd \xd linktr.ee/jayalahaspidistra
Gadis Beranting Mara di Kota Kudus
Minggu, 15 Juni 2025 21:04 WIB
Dari sanalah terdengar lagu mazmur mengalun pelan, lembut, dan dingin seolah memberi khidmat pada pagi yang bagiku sekadar ritus hampa.
***
Di depan jendela aku mencium bau terali besi. Bau lengas karat yang lama tak dijamah. Aku berdiri lesu sembari memeganginya dengan kedua tanganku seperti narapidana menunggu hukuman mati.
Minggu pagi, untuk kali ke sekian aku tidak melihat lagi tarian halus helai-helai daun pisang, sorak-sorai ibuku yang memerintahku agar ke warung, atau pekik klakson tukang sayur di gang rumahku. Sekarang aku di sini, di gang yang tidak akrab dengan jarak pandangku terasa sangat sesak. Di hadapanku hanya berdiri tembok pucat melingkupi bangunan kokoh menjulang dengan jendela-jendela kayu yang hampir semua menganga.
Dari sanalah terdengar lagu mazmur mengalun pelan, lembut, dan dingin seolah memberi khidmat pada pagi yang bagiku sekadar ritus hampa. Aku larut dalam benak yang riuh meratapi kerinduan akan rumah, bisik batin yang merindukan aroma tanah, juga protes atas ketidakmengertianku akan lirik yang mereka kidungkan.
Tetapi pagi ini, adalah kali pertama langit menjadi syahdu daripada biasanya. Rintik air jatuh dari atap, sisa hujan semalam menjadi berkesan ketika diamati dari balik jendela. Burung gereja menjadi burung sesuai namanya saat mereka bertengger di sepanjang pagar tembok yang kabarnya sudah pernah dicat ulang. Konon, seorang pembegal yang sadis ditembak mati polisi di sana. Darahnya membercak merah yang susah dibersihkan. Hantunya berdiri membisu tak terima selama empat puluh hari empat puluh malam, membuat sang pendeta kelimpungan melakukan ritual pengusiran iblis dengan segala macam senjata.
Setan itu cukup berat. Karena selain jahanam pembegal yang sadis, dia pembenci pemerintah kiwari sehingga eksorsis dengan jalan birokrasi langit tak mempan. Kabarnya, seusai mendapat wahyu dari mimpi, dengan terpaksa, sang pendeta bernegoisasi secara damai memindahkan arwah tembok pagar itu ke sebuah rumah kompos di kantor wali kota di kota ini. Cerita ini hanya diketahui segelintir orang, dan aku cukup bangga mendapat kesempatan mengetahuinya dari sumber kedua puluh tiga.
Aku menatap miris pada dinding putih yang kusam dan memudar di seberang kamarku itu. Kandang ayam mungil berdiri di sana dengan tidak sopan. Kulihat seorang gadis tanpa canggung berjalan membawa piring berisi nasi basi. Anak tetangga sebelah indekosku. Dia menyerupai si gadis anting-anting dalam adikarya Johannes Vermeer, jika saja bibirnya lebih tipis, hidungnya sedikit mancung, dan sorot matanya lebih sendu bukan sinis dan bengis. Ia menumpahkan isi piringnya dengan bibir yang tampak terus bergerak-gerak.
Adik lelakinya yang lusuh berjalan menyusul dari belakang, menyeret karung besar. "Buang sampah ini, disuruh Ibu," katanya lalu lari menuju pintu gereja. Gadis itu semakin mengomel-omel. Ia menendang karung itu, memekik, sebelum bersusah-payah menariknya menuju bekas sumur. Ada sumur tua di belakang gereja yang menjadi tempat langganan pembuangan sampah, meski pemerintah sendiri sudah menyediakan tempat membuang sampah khusus untuk lingkungan kami.
"Duit semua itu, Dek. Sebulan sepuluh ribu. Rugi kau lama-lama. Buang saja ke sumur di belakang gereja. Pak Antonius sudah izinkan menutup isi sumur supaya kuntilanaknya pergi," ujar ibu si gadis pada hari aku tertangkap basah olehnya sedang membuang sampah di kontainer milik pemerintah. Tentu saja aku menolak ajakannya hari itu. Bukan lantaran aku kasihan pada si kuntilanak yang akan mati dua kali karena menjadi gelandangan, melainkan aku terbiasa melakukan segala sesuatu tepat menurut aturannya. Lagi pula, sepuluh ribu angka yang sepadan tanpa perlu aku menyakiti setan mana pun.
Aku tahu si gadis sedang mengkhawatirkan riasannya. Ibu gadis itu bilang putri semata wayangnya sangat dimanja semasa mereka belum luntang-lantung seperti sekarang. Sifat manjanya membuatnya menjadi pemalas dan lebih suka berdandan mencari pasangan kaya-raya daripada melanjutkan kuliah. Ketika ayahnya meninggal karena kanker usus, mereka jatuh dalam jerat utang, gadis itu mau tak mau merelakan impiannya menemukan pasangan yang mapan dan hidup nyaman.
Tetapi, semua bekas pacarnya rata-rata blangsak dan buruk rupa. Atas kemauannya sendiri, kata sang ibu, ia memutuskan menunda menikah, lebih memilih bekerja sebagai sales barang elektronik. Atau barangkali dia berbohong. Pasalnya aku sangsi dengan pengakuan ibunya. Dua tiga kali aku pernah berpapasan dengan gadisnya keluar dari penginapan di Jalan Manggis. Hampir semua orang di kantorku tahu, kalau Jalan Manggis bukan tempat gadis baik-baik berkeliaran. Juga mustahil ada pria hidung belang memanggil sales ke sana untuk bermalam hanya demi membeli blender atau mikser belaka.
Pesolek itu pergi dengan wajah semerah cabai memindahkan karung yang diwariskan padanya. Adiknya mengintip dari pintu pagar terkikik-kikik sendiri. Kurasa ia puas habis memperdaya kakaknya. Bocah itu mencari penyakit, padahal baru saja sembuh setelah semalam mengamuk di teras depan rumahnya. Dia meraung-raung pilu sepanjang malam karena saudarinya itu mendongengkan bahwa ia anak pungut, bahwa ia ditemukan di kardus telanjang serupa anak celeng di dalam bus.
Kulihat seekor anjing datang menyerbu reban ayam itu, mengendus dan menjilat nasi tercecer di luar reban. Makhluk jalang yang kelaparan. Tak puas hanya menjilati nasi kerak basi, ia tampak tergugah pada leher ayam kurus di depannya. Diobrak-abriknya kandang ringkih itu. Menggeram sebentar sebelum bersiap mencabik leher ayam hitam di depannya. Namun, baru saja menggigit leher ayam itu, anjing itu lari tunggang-langgang begitu si gadis sudah kembali membawa sebongkah batu dan mengejarnya.
Kemudian mereka menghilang dari pandanganku, kecuali si ayam kulihat masih terkulai di depan reban, mati kehabisan darah. Pagi itu ditutup dengan nyanyian mazmur yang makin mengecil memudar bersamaan matahari mulai beranjak naik dan puncak gunung mulai terlihat di balik menara salib. Aku menutup tiraiku dan kembali ke dipan memejamkan mataku. Seandainya aku bisa terbebas dari tempat terkutuk ini. Dunia yang sungguh kacau dan berisik.
***
Gadis yang kuceritakan tempo hari, si pengejar anjing, dengan ibunya, juga adik laki-lakinya yang jahil itu sudah beberapa hari ini tidak kulihat berjalan-jalan di depan rumah. Pintu rumah mereka selalu tertutup dan tak terdengar bunyi apa pun di dalamnya. Biasanya kalau mereka ada di dalam, mereka pasti membuat keributan kecil, atau paling tidak suara televisi mereka berteriak menembus dinding, tapi kali ini memang sungguh sunyi-senyap.
Walau ini kabar baik, aku tetap mencemaskan kalau-kalau terjadi hal yang tidak-tidak. Jadi aku menemui Pak Antonius, selaku pemilik asli rumah-rumah yang kami tempati.
"Mereka sudah kuminta pindah," kata Pak Antonius dengan wajah puas. "Puji Tuhan, mereka bersedia."
"Kasihan," ucapku tanpa sadar. Wajah Pak Antonius menjadi masam. "Ah, maaf, Pak, maksud saya kasihan karena anak-anak itu tak punya ayah."
"Ya, ayahnya pembegal yang mati ditembak polisi di tembok gereja kami itu. Mereka orang susah. Karena aku kasihan, aku izinkan dia menetap di sana untuk sementara waktu. Tapi aku belakangan mendengar kabar mengenai putrinya. Aku takut itu nanti merusak citra indekosku."
Aku mengangguk dan tak lama kemudian pamit. Pikiranku melayang ke tembok putih dengan reban mungil, ke ingatan ayam mati terkulai lemas digigit anjing kemarin. Tentang gadis anting-anting itu. Tentang hantu begal di kantor wali kota. Tentang uang sepuluh ribu yang memberatkan ibunya. Tentang Jalan Manggis. Anjing jalang, unggas terpelihara, maut, kemiskinan yang mengikat.

Aktivis lingkungan dan penulis lepas. Seorang penikmat karya sastra dan film pendek.
0 Pengikut

Gadis Beranting Mara di Kota Kudus
Minggu, 15 Juni 2025 21:04 WIB
Perjanjian dengan Peri
Jumat, 1 Desember 2023 12:33 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler