Saya seorang mahasiswa ilmu komunikasi
Debat Panas Monique vs Haikal: Saat Etika dan Emosi Bertemu di Isu Palestina
Selasa, 1 Juli 2025 14:41 WIB
Apa jadinya jika fakta sejarah bertemu dengan gelora emosi publik? Ini terjadi di panggung talk show Dua Sisi, TV One.
Program talk show "Dua Sisi" di TvOne menghadirkan Monique Rijkers (aktivis yang dikenal memiliki simpati terhadap Israel) dan Ustaz Haikal Hassan (tokoh publik pro-kemerdekaan Palestina). Mereka terlibat dalam perdebatan tajam seputar konflik Israel–Palestina terutama mengenai sejarah wilayah, legitimasi sejarah, isu kemanusiaan, dan terminologi seperti “teroris” atau “pahlawan”.
Pada program tersebut Monique Rijkers, yang dikenal sebagai aktivis pro-Israel, menyatakan istilah Palestina sebagai nama wilayah merdeka tidak ada sebelum abad ke-2 Masehi. Ia menyebut, sebelum itu Herodes Agung memerintah Yudea, bukan ‘Palestina’. Tapi Haikal Hassan menolak ia menyebut adanya entitas Palestina sejak abad ke-1 Masehi, ketika Herodes Agung mengakuinya sebagai wilayah di bawah kekuasannya.
Dari percakapan tersebut suasana yang bermula normal menjadi memanas terutama saat Monique mendekat dan menunjuk Haikal yang menambah tensi publik. Ia lalu menyampaikan sindiran yang memprovokasi Haikal mengatakan, “Kalau tanggung‑tanggung bicaranya… kita itu mesti cerdas, sampai dalam cerdasnya.”
Gaya komunikasi yang dilakukan oleh Monique adalah tegas dan intelektual, namun pada titik tertentu emosional. Terekam dalam video saat ia menunjuk-nunjuk wajah lawan debat, yang dianggap melanggar etika gestur dalam debat publik.
Hal itu dibalas dengan gaya komunikasi Haikal hassan yang emosional, retoris, dan bernada populis. Ia menggunakan frasa seperti “kita ini bangsa cerdas”, yang mengandung nada menyindir atau meremehkan opini lawan.
Pelajaran etis dari perdebatan Monique Rijkers dan Haikal hassan:
1. Data tidak cukup dan etika adalah kunci debat
Monique benar dalam banyak aspek faktual sejarah, tapi kehilangan simpati publik karena cara penyampaian yang keras dan gestur yang dianggap agresif.
2. Kebenaran emosional vs kebenaran historis
Haikal lebih berhasil menggugah emosi publik, tapi kurang mendalam dalam penyajian sumber sejarah. Namun, gaya komunikasinya lebih “membumi” bagi audiens mayoritas.
3. Bahaya labelling
Penggunaan kata “teroris” dalam konteks debat kemanusiaan bisa memperkeruh suasana dan memicu resistensi. Baik Monique maupun Haikal seharusnya menjaga diksi agar tetap inklusif dan netral.
Seharusnya dalam perdebatan ini mereka harus memperhatikan etika dalam penyampaian argumen seperti,serang ide bukan individu laku hindari gestur menunjuk pada perdebatan,bicara dengan tenang dan menunjukkan bukti valid.
Perdebatan Monique Rijkers vs Haikal Hassan menunjukkan bahwa debat publik adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjadi wahana pembelajaran kolektif jika dijalankan secara etis, namun bisa juga jadi ajang perpecahan jika emosi dan ego mendominasi.
Yang membuat debat bermutu bukan hanya isi argumennya, tapi bagaimana cara argumen itu disampaikan: dengan data, empati, dan kesadaran bahwa lawan debat adalah sesama manusia, bukan musuh yang harus dikalahkan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Debat Panas Monique vs Haikal: Saat Etika dan Emosi Bertemu di Isu Palestina
Selasa, 1 Juli 2025 14:41 WIB
Membangun Generasi yang Kritis dan Santun Sejak Dini
Selasa, 1 Juli 2025 14:35 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler