Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Tempatmu di Taman Makam Pahlawan, Tempatku di Hati Anak-Anak Kita
Sabtu, 9 Agustus 2025 08:16 WIB
Mas… tempatmu bukan di pemakaman umum. Tempatmu adalah di Taman Makam Pahlawan. Mas pernah mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia.
***
Setiap tanggal 17 Agustus, langit Indonesia dihiasi oleh bendera merah putih yang berkibar di depan rumah-rumah rakyatnya. Lagu kebangsaan menggema, upacara diselenggarakan, dan momen hening diciptakan untuk mengenang mereka yang telah gugur demi kemerdekaan bangsa. Namun, di balik seluruh kemegahan peringatan itu, tersembunyi kisah-kisah kecil yang tidak pernah disuarakan. Kisah cinta dalam diam. Kisah perjuangan yang tidak tercatat di buku sejarah, namun menorehkan luka yang dalam sekaligus kemuliaan yang abadi.
Di sebuah kamar sederhana yang disinari cahaya redup dari jendela bambu, seorang lelaki tua terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya ringkih, kulitnya mengeriput, namun sorot matanya masih menyala dengan cinta dan keberanian. Ia adalah seorang veteran, prajurit yang pernah berada di garis terdepan saat negeri ini memperjuangkan nafas kemerdekaannya. Dan di sisinya, duduk seorang perempuan, istrinya. Pendamping setia yang tidak pernah meninggalkannya, dari medan tempur hingga medan hidup sehari-hari.
Dengan nafas yang tersengal dan suara yang nyaris tenggelam, sang suami memandang istrinya. “Mam... kalau aku wafat nanti... tolong... makamkan aku di tempat pemakaman umum. Aku ingin selalu berada di sampingmu. Aku tidak ingin kita terpisah. Bahkan setelah aku mati.” Kalimat itu menggetarkan udara dalam kamar yang sunyi. Kalimat terakhir yang dilandasi cinta yang tidak ingin bercerai oleh kematian.
Si istri menunduk. Tidak sanggup berkata. Air matanya jatuh, membasahi keriput pipinya, menetes ke tangan suaminya yang dingin. Ia terdiam, tenggelam dalam kenangan lima puluh enam tahun hidup bersama. Hidup yang tidak mewah, tetapi penuh kehangatan dan pengorbanan. Hidup yang ditempa oleh idealisme dan tanggung jawab, bukan oleh gemerlap materi.
Ia mengingat saat pertama kali suaminya pulang dari medan tempur. Anak pertama mereka baru lahir. Sang suami berjalan melewati hamparan sawah, ditemani dua orang anak buah. Tiba-tiba mereka berpapasan dengan patroli Belanda. Tidak ada tempat bersembunyi, tidak ada senjata untuk melawan. Dalam ketegangan yang membeku, sang suami melambaikan tangan dengan tenang. Tentara Belanda pun membalas lambaian itu, dan berjalan pergi, seolah tidak ada peperangan. Sebuah mukjizat yang tidak pernah mereka lupakan. Allah masih ingin sang pahlawan pulang, demi anak-anaknya, demi istrinya, demi cinta yang belum selesai.
Tidak ada harta yang melimpah selama mereka hidup. Gaji sebagai tentara hanya cukup untuk bertahan hidup sederhana. Maka sang istri pun turun ke pasar, menjahit pakaian, menjual kue, menjaga anak-anak sambil menopang rumah tangga dengan segala kekuatan yang ia miliki. Tetapi tidak pernah ia mengeluh. Karena bagi mereka, hidup adalah tentang pengabdian, kepada negara, dan kepada satu sama lain.
Kini, permintaan sang suami menyayat hatinya. Ia tahu itu lahir dari kasih yang murni. Tetapi ia juga tahu, cinta mereka lebih besar dari tempat peristirahatan terakhir. Karena ada warisan tidak kasat mata yang harus dijaga, kehormatan. Bukan kehormatan duniawi, tetapi kehormatan moral yang akan hidup di dalam ingatan anak-anak dan cucu mereka.
Si istri pun bangkit. Ia menatap suaminya dengan mata yang penuh cinta, tetapi juga ketegasan. “Mas… tempatmu bukan di pemakaman umum. Tempatmu adalah di Taman Makam Pahlawan. Mas bukan hanya suami saya. Mas adalah pahlawan bangsa ini. Mas pernah mengangkat senjata demi negeri ini. Mas pernah mempertaruhkan nyawa demi tanah yang sekarang dipijak oleh cucu-cucu kita.”
“Negara mungkin tidak pernah memberi apa-apa kepada kita,” lanjutnya, suara mulai bergetar. “Negara tidak mampu memberi kesejahteraan. Tetapi satu-satunya hal yang bisa negara berikan adalah tempatmu di antara para pahlawan. Terimalah itu, Mas. Karena itu bukan hanya milikmu. Itu milik kami juga, anak-anak kita, cucu-cucu kita. Kami akan bangga, bahwa kakek mereka adalah pahlawan kemerdekaan sejati.”
Sang suami hanya diam. Air matanya jatuh perlahan. Dalam diamnya, ada rasa bangga yang tidak terucap. Tetapi juga ada luka kecil, karena ia tahu, ia akan meninggalkan istrinya sendiri, dimakamkan di tempat berbeda. Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu, cinta mereka telah menembus batas dunia. Keinginan untuk selalu bersama tidak harus diwujudkan dengan liang lahat yang berdampingan.
Dengan lembut, si istri menggenggam tangan suaminya. “Tempatku mungkin bukan di Taman Makam Pahlawan. Tetapi tempatku ada di hati anak-anak kita. Di setiap doa yang mereka panjatkan. Di setiap kenangan yang mereka ceritakan kepada anak-anak mereka kelak. Dan aku yakin… kita akan bertemu lagi. Di tempat yang lebih indah. Di surga. Karena tugas kita di dunia ini sudah selesai.”
Hari itu, cinta tidak diucapkan dalam kata-kata romantis. Tetapi dalam keberanian untuk merelakan. Hari itu, seorang istri mengajarkan arti pengabdian. Bahwa cinta sejati bukan soal kebersamaan fisik, tetapi soal saling menjaga martabat, kehormatan, dan cita-cita yang pernah diperjuangkan bersama.
Dan sejarah, meski diam, mencatat semua itu. Bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya milik mereka yang mengangkat senjata, tetapi juga milik mereka yang mengangkat harapan dalam sunyi. Yang menjaga bara cinta tetap menyala dalam badai kesulitan. Yang tidak pernah menyerah, karena tahu... cinta untuk tanah air dan keluarga adalah perjuangan yang abadi.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut

Cinta yang Disakiti
18 jam lalu
Ketika Aspal Buton Menunggu Keberanian Presiden
2 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler