Konsultan Program Sekolah, Pelatih/Fasilitator Sekolah Penggerak, Praktisi Parenting Positif, Penulis Buku Pendidikan Untuk Kehidupan, Founder Komunitas Sekolah Orang Tua
Kontroversi Sri Mulyani: Guru Beban atau Investasi Negara?
Selasa, 19 Agustus 2025 15:34 WIB
Pernyataan Sri Mulyani ditafsirkan publik sebagai upaya mengalihkan tanggung jawab negara kepada masyarakat.
***
Beberapa hari terakhir, dunia pendidikan Indonesia ramai memperbincangkan ucapan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, di forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri ITB, Kamis (7/8/2025). Di berbagai media sosial, potongan pernyataannya dipelintir menjadi kalimat “guru beban negara.” Frasa ini kemudian menuai kemarahan dan kekecewaan dari kalangan guru dan dosen. Padahal, menurut rekaman resmi, Sri Mulyani tidak pernah menyebut langsung istilah tersebut.
Dalam pidatonya, Sri Mulyani justru menyoroti persoalan klasik pendidikan: rendahnya gaji guru dan dosen. Ia menyebut, “Menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar, ini salah satu tantangan bagi keuangan negara” (detikEdu, 18/8/2025). Kalimat ini menegaskan bahwa keterbatasan fiskal negara menjadi hambatan utama dalam memberikan penghargaan yang layak bagi pendidik.
Gaji guru adalah hak dasar yang harus dijamin negara
Lebih lanjut, Sri Mulyani juga mempertanyakan, “Apakah semuanya harus dibiayai oleh keuangan negara atau ada partisipasi dari masyarakat?” (KBR, 18/8/2025). Pernyataan ini yang kemudian ditafsirkan publik sebagai upaya mengalihkan tanggung jawab negara kepada masyarakat. Bagi para praktisi pendidikan, ucapan tersebut menyinggung, karena gaji guru dianggap sebagai hak dasar yang seharusnya dijamin penuh oleh negara, bukan bergantung pada filantropi atau iuran masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah memang telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, yakni Rp724,3 triliun pada tahun 2025 (Kemenkeu, 9/8/2025). Anggaran itu dibagi ke dalam beberapa klaster, termasuk untuk gaji dan tunjangan guru serta dosen (Liputan6, 7/8/2025). Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak guru honorer dengan pendapatan di bawah standar hidup layak. Ketimpangan ini menjadi luka lama yang terus terulang.
Kontroversi ini sesungguhnya membuka ruang refleksi penting: bagaimana mendesain sistem pembiayaan pendidikan yang adil dan berkelanjutan. Partisipasi masyarakat memang bisa dilibatkan, namun seharusnya diarahkan untuk program peningkatan mutu—seperti pelatihan, penelitian, dan pengembangan sekolah—bukan untuk menutup kebutuhan dasar berupa gaji guru. Negara tetap harus memikul tanggung jawab utama dalam memastikan kesejahteraan tenaga pendidik.
Profesi pendidik harus dipandang sebagai asset masa depan bangsa
Dari perspektif praktisi pendidikan, ucapan yang dilontarkan tanpa sensitivitas sosial mudah menimbulkan salah tafsir. Guru dan dosen sudah lama merasa diperlakukan sebagai “mesin birokrasi” dengan beban administrasi tinggi, sementara penghargaan finansial belum sebanding dengan kontribusi mereka. Pernyataan yang terkesan menyepelekan kesejahteraan pendidik justru memperdalam luka psikologis yang sudah ada.
Namun, di sisi lain, inilah momentum bagi para pendidik untuk bersatu menyuarakan martabat profesi guru: menegaskan bahwa keberadaan mereka bukan sekadar cost center dalam APBN, melainkan investment center bagi masa depan bangsa. Dengan narasi yang kritis sekaligus inspiratif, guru dan akademisi dapat mendorong publik untuk melihat profesi pendidik sebagai aset utama pembangunan, bukan beban yang harus dipikul dengan enggan.
Meski demikian, kita juga perlu melihat konteks yang lebih luas. Benar bahwa keterbatasan APBN menjadi tantangan. Benar pula bahwa kualitas pendidikan tidak hanya soal gaji, tetapi juga tata kelola, distribusi anggaran, serta insentif berbasis kinerja. Namun, yang lebih mendesak adalah bagaimana kebijakan ini diterjemahkan dengan narasi yang empatik dan solusi yang konkret. Guru dan dosen bukanlah beban negara, melainkan penopang masa depan bangsa.
Kontroversi ini harus menjadi titik balik. Pemerintah perlu berhenti mengirim pesan yang ambigu, dan mulai berbicara dengan bahasa yang membangun kepercayaan. Guru dan dosen menunggu langkah nyata: penetapan standar gaji minimum yang layak, percepatan penyelesaian masalah guru honorer, dan pemerataan anggaran ke seluruh daerah.
Sementara itu, partisipasi masyarakat harus diposisikan sebagai dukungan tambahan, bukan pengganti tanggung jawab negara. Jika negara tegas menunjukkan keberpihakannya, maka penghormatan kepada guru tidak lagi berhenti pada slogan, melainkan terwujud dalam kebijakan yang nyata dan berkeadilan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kontroversi Sri Mulyani: Guru Beban atau Investasi Negara?
Selasa, 19 Agustus 2025 15:34 WIB
Refleksi Perayaan HUT RI di Sekolah: dari Seremonial Menuju Pendidikan Karakter
Rabu, 13 Agustus 2025 09:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler