Hari selalu berganti nama. Dalam sebulan. Dalam setahun. Dalam seratus abad yang sudah dan akan lewat. Satu hari disebut Kamis tanggal satu. Lalu ada Minggu kedua Mei. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Tapi aku merasa kalau mereka semua sama saja.
Apa yang sebenarnya membedakan hari demi hari selain penanggalan pada kalender dan perayaan-perayaan yang berulang setiap tahunnya?
Ada satu imaji yang muncul bilamana aku membayangkan ini. Semua hari itu merupakan sosok-sosok manusia yang berlainan. Tatkala pagi datang, hari tertentu akan mengetuk pintu kamarku seraya menyebutkan segala macam cuaca yang mungkin terjadi. Saat pintu kubuka, yang kusaksikan adalah seseorang tinggi berkemeja rapi, dasi hitam memikat dan sebuah tas kerja dipegang di tangan kanan. Senyumnya samar saja, seolah beban hidupnya lebih pelik dari segala rasa bahagia yang didapat. Dengan begitu aku pun jadi tahu, bahwa hari yang kuhadapi adalah hari senin di awal bulan, di mana gaji pekerjaanku umumnya terlambat dibayarkan.
Suatu kali, seorang hari lain mengetuk pintu kamar dan menyeru bahwa hujan petir akan deras mengguyur mulai pukul sebelas siang nanti. Hujan petir yang bisa membikin kotaku banjir. Suaranya nyaring membangunkan tidur lelapku. Ketukan tangannya kuat seperti ingin mendobrak kemalasanku. Pelan-pelan akhirnya kubuka pintu, dan kudapati hari minggu kelabu yang mewujud pada seorang tua gemuk yang tersenyum lebar lantas pergi begitu saja dengan langkah kaki lamban yang menjengkelkan.
Itu adalah imaji pertamaku tentang hari. Mereka seperti berjuta orang dengan berjuta kabar berita. Berjuta manusia berikut berjuta nasib hidupnya yang tak mudah diterka. Berjuta orang yang mengetuk pintu kamarku setiap pagi.
Ikuti tulisan menarik anton susilo lainnya di sini.