Pertumbuhan Bukan Berhala

Selasa, 26 Agustus 2025 12:40 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Grafik Pertumbuhan
Iklan

Tujuan ekonomi bukan untuk angka pertumbuhan. Ekonomi untuk manusia dan planet.

***

“Dunia modern,” Rachel Carson menulis suatu kali pada 1963, “memuja tuhan-tuhan kecepatan dan kuantitas, dan profit yang segera dan gampang, dan dari pemberhalaan ini kejahatan-kejahatan mengerikan telah bangkit.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Carson, untuk diingat, adalah ahli biologi kelautan yang dikenal berkat Silent Spring, bukunya yang mengekspos kerusakan lingkungan akibat meluasnya penggunaan pestisida secara serampangan. Pengamatannya tentang kecepatan, kuantitas, dan profit itu sebetulnya adalah manifestasi kritik terhadap pengerdilan signifikansi alam menjadi sekadar organisasi semacam pabrik demi kepentingan pendapatan ekonomi yang segera bisa dinikmati. Menurut dia, inilah yang terdapat di balik masalah-masalah ekologi terburuk yang ada.

Meski demikian, yang juga serta-merta menjadi implikasi kritik tersebut adalah betapa obsesi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah kecenderungan yang tak boleh dinormalkan. Kenapa? Sebab, demi mengejar pertumbuhan terus-meneruslah, yang dengan pencapaiannya target laba yang sebesar-besarnya bisa direalisasikan, lingkungan hidup jadi dikorbankan.

Target profit penting digarisbawahi dalam hal itu karena, dalam kenyataannya, hanya modal atau kapital yang sepenuhnya diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi. Apa yang diyakini sebagai trickle down effect atau efek menetes ke bawah--yakni bahwa hasil dari pertumbuhan akan menciptakan lapangan kerja dan manfaat bagi siapa saja--hanya janji kosong dari masa Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat, dan Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris, masih berkuasa pada 1980-an. Ia tak pernah terbukti.

Pertumbuhan ekonomi, yaitu seberapa besar produk domestik bruto bertambah (PDB), memang digunakan sebagai indikator untuk mengukur kemajuan pembangunan di berbagai negara. Ini berlangsung tak begitu lama setelah Simon Kuznets, ekonom Amerika kelahiran Rusia (kala itu Uni Soviet), menyelesaikan permintaan Kongres, untuk menyusun perangkat penghitungan kegiatan ekonomi nasional yang seragam, pada 1934. Hasil kerjanya inilah yang lalu melahirkan PDB.

Latar belakang dari penugasan Kuznets adalah masa Depresi Besar (atau yang lazim disebut Zaman Malaise) yang dimulai pada 1929. Ketika itu situasi sangat muram: semua kegiatan industri kelimpungan, kebangkrutan berlangsung bagai air bah, bursa ambruk, dan tingkat pengangguran terjun bebas. Pemerintah Amerika, sejak masa Presiden Herbert Hoover hingga Presiden F.D. Roosevelt, sebetulnya telah berusaha dengan susah payah untuk menstimulasi kegiatan ekonomi. Masalahnya, tidak ada cara untuk mengevaluasi efektivitasnya.

Ide Kuznets adalah menjumlahkan semua produksi dalam satu perekonomian menjadi angka tunggal. Dengan ini, meminjam perumpamaan Timothée Parrique, ahli ekonomi lingkungan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis University of Lausanne, Swiss, Kuznets “menemukan semacam pemantau tekanan darah untuk menghitung denyut perekonomian secara keseluruhan”. Pemantau ini berguna karena jadi terbuka peluang untuk mengevaluasi intervensi pemerintah: kalau angkanya naik, bagus; kalau bergeming, perlu kerja lebih keras atau mencoba cara lain.

Indikator itulah yang digunakan terus setelah krisis berlalu. Pada 1953, seusai Perang Dunia II, metodologi Kuznets diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, menjadikan produk nasional bruto (PNB) sebagai indikator global. PNB bertransformasi menjadi PDB pada 1990-an. Dalam PDB, yang dihitung bukan kegiatan ekonomi yang dilakukan warga suatu negara, melainkan di mana lokasinya kegiatan itu, tak peduli pelakunya warga negara atau bukan. Dan inilah yang berlaku hingga kini.

Kuznets sejak awal telah memperingatkan penyalahgunaan indikator yang dikembangkannya. Dalam laporannya kepada Kongres dia menyatakan bahwa “kemakmuran suatu negara tidak dapat disimpulkan dari pengukuran pendapatan nasional”. Dia menambahkan: “Perbedaan harus dicamkan antara kuantitas dan kualitas pertumbuhan, antara biayanya dan pengembaliannya, dan antara jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan untuk terus tumbuh harus menegaskan tumbuh terus dari apa dan untuk apa.”

Peringatan Kuznets diabaikan. PDB, Parrique mengumpamakan, malah jadi semacam totem--obyek yang dianggap sakral, punya daya spiritual. Semua negara berusaha keras untuk memaksimalkan pertumbuhan layaknya ibadah.

Dan tahun demi tahun sejak itu terbuktilah apa yang dikhawatirkan Kuznets. Sebagai indikator yang mengukur keluaran, bukan kesejahteraan, ia tak peduli apakah keluaran itu bermanfaat (untuk pendidikan, layanan kesehatan) atau merugikan (menimbulkan tumpahan minyak, deforestasi); ia juga mengabaikan ketimpangan: bahwa PDB bisa saja tumbuh tinggi tapi kelompok mayoritas sama sekali tak merasakan perbaikan hidup.

Bukan hanya itu. Pertumbuhan ekonomi terkait dengan pemanfaatan material dan energi yang terus meningkat, yang mengakibatkan krisis iklim, kehilangan biodiversitas, dan menipisnya sumber daya. Tak kalah pentingnya adalah ia bagaikan narkotika, menimbulkan adiksi--ekonomi jadi diorganisasikan hanya demi PDB bisa terus tumbuh, yang mengukuhkan praktik eksploitasi terhadap pekerja dan alam.

Ketergantungan itu tak bisa dipertahankan. Inilah alasan-alasan yang lazim dikemukakan para pengkritik “ideologi” pertumbuhan (Jason Hickel, 2020): limitasi ekologi adalah kenyataan, pertumbuhan mustahil bisa berlangsung terus; teknologi mungkin dapat mengefisienkan penggunaan sumber daya dan energi, tapi tidak cukup cepat untuk mencegah kolapsnya ekologi; kita terjerumus ke siklus yang merusak, karena keharusan untuk terus berekspansi demi menghindarkan krisis pengangguran, gagal bayar utang, defisit fiskal.

Pertanyaannya, lalu, jika bukan pertumbuhan PDB, apa yang bisa dijadikan ukuran kemajuan? Dan apakah kemajuan itu harus selalu berarti ada yang tumbuh?

Ancaman bencana ekologi menerbitkan alasan untuk meletakkan dua fondasinya: batas-batas planet (planetary boundaries), yang merupakan daya dukung ekologi, dan perlunya untuk lebih berfokus pada kebutuhan sosial minimum, menciptakan kondisi hidup dengan standar yang layak untuk semua orang. Dua pemikiran dari disiplin yang berbeda berpadu di sini, dari hasil kerja Johan Rockström, Will Steffen, dan kawan-kawan, serta proposal dari para ekonom yang memandang perlu mengubah tujuan pembangunan, bukan untuk menciptakan pertumbuhan--termasuk di sini Kate Raworth, yang memformulasikan konsep ekonomi donat.

Dengan kerangka itu, kemajuan tidak lagi didefinisikan dengan seberapa besar ekonomi tumbuh, melainkan bagaimana kemampuannya menjaga keseimbangan ekologi sambil memenuhi kebutuhan dasar semua orang.

Dalam praktiknya, indikator alternatif malah sebenarnya sudah ada, tinggal diadopsi. Ini kalau mau praktisnya. Misalnya Genuine Progress Index atau Indeks Kemajuan Sejati (GPI) dan Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Atau, kalau mau, ada pula Indeks Kebahagiaan Nasional. Semua indikator non-PDB ini menggeser fokus dari berapa banyak yang diproduksi ke bagaimana kehidupan manusia dan kelestarian alam menjadi lebih baik.

Sejumlah negara sudah memberi contoh penerapan indikator alternatif. Bhutan dan Costa Rica termasuk di antaranya. Bhutan mengadopsi Gross National Happiness atau Kebahagiaan Nasional Bruto (GNH) yang dikembangkannya, yang mencakup aspek-aspek kesejahteraan psikologis, kesehatan fisik, dan relasi sosial. Costa Rica menggunakan Ecological Footprint untuk mengukur dampak lingkungan dan memanfaatkannya demi merumuskan kebijakan pengurangan “defisit” ekologisnya.

Bhutan, Costa Rica, juga negara-negara lain yang telah memilih langkah serupa, menunjukkan bahwa indikator alternatif bukan utopia; indikator itu terbukti bisa dipraktikkan.

Negara-negara itu juga memperlihatkan bahwa kegiatan ekonomi sejak awal bisa ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup setiap orang seraya merawat kelestarian lingkungan, bukan tentang akumulasi kekayaan. Dengan kata lain, kesejahteraan bisa meningkat tanpa keharusan memelihara obsesi terhadap pertumbuhan.

Dengan cara itulah kita bisa keluar dari pemujaan terhadap kecepatan dan kuantitas, juga profit yang segera dan gampang, sebagaimana yang diamati Carson, dan masuk ke logika kualitas hidup serta kelangsungan planet ini.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

4 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua