x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Haji Agus Salim dan Bintang Kehormatan

Dalam memimpin, Haji Agus Salim memilih jalan yang tak mudah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leiden is lijden (memimpin adalah menderita)

--Haji Agus Salim (1884-1954)

Beberapa hari lalu, saya sempat melihat gambar-gambar para pejabat penerima Bintang Mahaputera di Istana Kepresidenan. Tanda kehormatan itu diselempangkan di tubuh mereka. Senyum menghiasi bibir mereka. Entah kenapa, saya teringat kepada tokoh tua Haji Agus Salim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Majalah Tempo edisi khusus kemerdekaan, yang terbit Agustus tahun lalu (2013), memasang wajah yang sangat familiar bagi pembelajar sejarah di seputar kemerdekaan negeri ini. Wajahnya yang tenang penuh percaya diri, berjenggot yang agak berurai, berkacamata bulat, serta berpeci yang agak miring, membuatnya mudah dikenali. Dialah Haji Agus Salim, yang disebut oleh Tempo sebagai “diplomat jenaka penopang republik”.

Tapi mungkin tidak banyak generasi internet sekarang yang mengenal Agus Salim—kecuali barangkali nama sebuah jalan yang sejajar dengan Jalan MH Thamrin, Jakarta, dan berpotongan dengan Jl. Kebon Sirih. Bahkan, orang mungkin lebih mengenalnya dengan sebutan Jl. Sabang—sepotong jalan yang ramai di siang maupun malam hari, tempat siapapun ingin makan kenyang.

Mungkin pula tak banyak yang ingat akan peran dan jasa Agus Salim bagi negeri ini. Dalam sebuah tulisan di Jurnal Prisma No 8 Tahun 1977, yang mengangkat tema “Manusia dalam Kemelut Sejarah”, Mohammad Roem mengisahkan pengalamannya sebagai anak muda yang berkenalan dengan Haji Agus Salim pada tahun 1925—ketika itu Haji Agus Salim sudah berusia kira-kira 41 tahun dan menjadi penasihat Jong Islamieten Bond. Bacaannya yang luas menjadikan Agus Salim tempat bertanya tokoh-tokoh pemuda yang kelak memimpin negeri ini setelah Indonesia merdeka.

Roem, yang bersama beberapa kawannya sempat main ke rumah Agus Salim untuk mendapatkan pencerahan, mendapati rumah The Grand Old Man yang terletak di Gang Tanah Tinggi itu bak rumah kampung. Meja dan kursinya sangat sederhana—ketika itu 20 tahun menjelang kemerdekaan Indonesia, tapi sudah cukup banyak orang Indonesia terpandang yang hidup sangat layak.

Mohammad Roem juga menceritakan, Agus Salim kemudian pindah ke tempat lain, tapi masih tetap di gang; namanya Gang Toapekong. Di luar rumah ada meja kursi, tapi di dalam rumah praktis hampir-hampir kosong. Roem dan kawan-kawan duduk beralas tikar bila ingin berbicara dengan Agus Salim.

Dari Gang Toapekong, keluarga Haji Agus Salim pindah lagi ke Mr. Cornelis atau Jatinegara, menumpang seorang rekannya. Haji Agus Salim, isteri, dan 6 anaknya hanya mendapat satu ruangan. Beberapa bulan kemudian mereka pindah lagi, kali ini ke Bogor. Tak lama kemudian mereka pindah lagi ke Jakarta, menempati rumah kecil di sebuah gang sempit. Di situ, koper ditumpuk-tumpuk dan kasur digulung-gulung.

Kendati orang kampung yang tinggal di gang sempit, Haji Agus Salim adalah ‘manusia global’. Ia menguasai beberapa bahasa asing. Suatu ketika, pada tahun 1930, Haji Agus Salim menghadiri Konferensi Buruh Internasional di Jenewa sebagai penasihat buruh Nederland. Ia berbicara lancar dalam Bahasa Inggris. Di waktu kemudian, masih di konferensi yang sama, ia diminta berpidato dalam Bahasa Prancis; maka Haji Agus Salim memenuhi permintaan itu. Ia berkesempatan menekuni Bahasa Arab tatkala bertugas di Jeddah.

Di zaman Jepang, Haji Agus Salim tidak memainkan peran yang menonjol. Untuk menghidupi keluarganya, ia bekerja sebagai penerjemah buku-buku berbahasa Jepang. Salah seorang anaknya, Islam Besari Salim, memimpin saudara-saudarinya menjadi penghasil dan pedagang arang.

Setelah proklamasi kemerdekaan, kepiawaiannya dalam berdebat menyebabkan Haji Agus Salim favorit para perdana menteri untuk menjabat menteri luar negeri. Ia pernah duduk dalam Kabinet Sjahrir II dan III, Kabinet Amir Sjarifudin, maupun Kabinet Hatta.

Menguasai berbagai bahasa asing, mudah bergaul, dan luwes dalam berdiplomasi menjadikan Haji Agus Salim orang yang tepat menjembatani Indonesia yang tengah berusaha keras menegakkan kakinya tatkala berhubungan dengan dunia internasional tanpa rasa rendah diri. Haji Agus Salim diakui sebagai lobbyist yang hebat oleh ‘lawan-lawan diplomasinya’.

Meski sudah menjadi menlu, ia masih tinggal di rumah kontrakan—bahkan hingga akhirnya hayatnya. Tokoh yang berkali-kali diasingkan oleh penguasa kolonial ini tetap hidup sederhana. Haji Agus Salim adalah pejuang yang ‘terlalu’ konsekuen dengan sikap hidupnya sendiri. Secara ekonomis hidupnya menderita. “Ia miskin, jika kata miskin harus diartikan dari sudut materi,” tulis sejarawan Taufik Abdullah, “Tetapi hidupnya kaya.” Ia senang bisa menyaksikan negeri yang ia perjuangkan sudah merdeka.

Haji Agus Salim pada akhirnya meninggal 60 tahun yang silam sebagai The Grand Old Man yang dihormati. Saya membayangkan, ia tidak akan peduli dengan tanda-tanda kehormatan, bahkan ia niscaya tidak peduli bahwa orang lebih mengenal sepotong jalan di Ibukota Republik ini sebagai Jalan Sabang, bukan Jalan H. Agus Salim. (foto: H Agus Salim (berpeci) di barisan depan berdekatan dengan Bung Karno dan Bung Hatta) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB