Anna L. Tsing: Ilusi Era Baru
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBRefleksi tulisan Anna L. Tsing, The Global Situation, dalam Jurnal Cultural Anthropology (American Anthropological Association, 2000), h. 327-360.
Globalisasi, yang banyak dimaknai sebagai “era baru” transnasional tanpa sekat geografis, diwarnai oleh kompleksitas proses sosial yang saling bersinggungan. Layaknya arus air yang mampu memkonfigurasi salurannya, seperti mengikis batu dan menggeser kerikil, dinamika global juga rentan berubah setiap saat dalam pergesekan tersebut. Karenanya, globalisasi tak lebih merupakan persaingan beragam proyek sosial dalam menggalang dukungan untuk menciptakan kondisi tertentu (scale-making), bukan sebuah keniscayaan menuju kebaruan. Dalam kondisi inilah beragam kemungkinan dapat mewujud dalam dinamika sosial.
Berdasarkan pandangan itulah Anna Tsing, profesor antropologi di Universitas California, mengkritisi berbagai pendekatan yang digunakan para ilmuwan dalam mengkaji fenomena globalisasi.[1] Menurutnya, banyak pengamat sosial hanya mengembangkan pandangan berdasarkan asumsi-asumsi yang kurang realistis. Cara pandang para pengkaji globalisasi justru mengaburkan pola kesalingterhubungan antaraktor sosial, meski asumsi-asumsi yang dikembangkan itu secara partikular juga turut mendorong pembentukan tatanan sosial tertentu; asumsi-asumsi itu menginspirasi aktor-aktor sosial untuk merelisasikannya dan tak luput dari kontestasi kultural, politik, ekonomi, dan sosial. Karenanya, Tsing menganjurkan para pengkaji globalisasi untuk berjarak sekaligus terlibat, tanpa kehilangan pandangan kritis untuk memahami berbagai proses dalam dinamika global.
Konfigurasi Ruang
Modernisasi merupakan sebuah contoh proyek konfigurasi ruang yang secara serentak dilakukan oleh para sarjana, pembuat kebijakan, politisi, dan aktivis sosial dalam upaya membangun kehidupan yang dianggap lebih baik. Seperti halnya modernisasi, isu globalisasi juga memikat berbagai pemikir sosial untuk membayangkan terbentuknya dunia yang sepenuhnya baru. Tidak hanya sebagai proyek, globalisasi juga merupakan proses pengembangan jaringan tanpa akhir dalam menghimpun dukungan, terutama dalam membangun hubungan transnasional secara kultural dan politis.
Terdapat tiga ilusi global yang membujuk seseorang untuk membayangkan kehidupan imajinatif dan mengaburkan pandangan yang lebih realistis. Pertama, janji masa depan (futurism). Globalisasi menjanjikan adanya kebaruan sebagai masa yang lebih baik ketimbang masa sebelumnya, seperti sistem informasi yang lebih canggih, kemudahan transportasi, dan sebagainya. Seolah manusia akan tertinggal bila tak mengikuti tren global. Janji kebaruan masa depan itu mengabaikan beragam proses secara lebih spesifik, bahwa beragam aktor sedang bersaing untuk menyukseskan agenda kultural dan politis yang berpihak pada kepentingannya. Seperti halnya modernisasi, gobalisasi tak lebih sebagai proyek konfigurasi ruang yang berekspansi lebih luas.
Kedua, penyatuan imajinasi (conflations). Para pengamat sosial sering memandang kehidupan sosial secara garis besar. Berbagai proyek sosial sering terjalin dalam sebuah proses terpadu melalui aliansi dan kolaborasi, seolah perpaduan berbagai aktor yang berbeda tersebut mengusung sebuah misi yang sama. Padahal jaringan sosial yang dibangun tersebut selalu diwarnai oleh pergesekan, pergeseran, dan bahkan ketegangan-ketegangan dalam mengkonfigurasi ruang bersama. Berbagai perubahan pun rentan terjadi dan tak pernah mengarah pada kondisi tertentu secara niscaya.
Ketiga, retorika sirkulasi (circulation). Proses kesalingterhubungan antaraktor sering dianggap sebagai fleksibelitas interaksi sosial yang dinamis. Kondisi ini pun sering dipandang positif sebagai dinamika sosial yang menguatkan proses pertukaran kepentingan dan kesempatan yang setara. Sebagai elemen modernisasi atau globalisasi, sirkulasi lebih tepat dipandang sebagai proyek pembentukan agensi yang tak selalu berjalan mulus, namun selalu berada dalam arena negosiasi dan kontestasi sesuai dengan konfigurasi ruang yang diimpikan.
Berdasarkan kajian Tsing tersebut, proses kesalingterhubungan individu atau kelompok sosial tidak bergerak secara linear menuju kondisi yang sepenuhnya baru, sebagaimana yang dibayangkan oleh banyak pemikir modernisasi dan globalisasi. Dalam proses ini para aktor saling bersaing, mengembangkan aliansi atau membangun relasi kuasa, serta mengkonfigurasi ruang kultural dan politis. Karenanya, kerangka global seharusnya dijadikan acuan bagi pengamat sosial untuk menyadari proses terbentuknya agensi dalam interaksi sosial, pergeseran, dan kontestasi tentang bagaimana seharusnya komunitas, budaya dan ruang sosial dibentuk.
Konteks Indonesia
Setelah Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan kubu Prabowo-Hatta, kemenangan Jokowi-JK secara otomatis tidak lagi dipermasalahkan. Namun, koalisi yang terbentuk dalam kubu Prabowo-Hatta tidak mudah menyerah; partai-partai dalam koalisi ini meneguhkan sikap untuk menjadi oposisi selama masa pemerintahan Jokowi-JK, apalagi mereka memiliki posisi kuat di DPR. Imajinasi tentang dua kubu yang saling bersaing pun tersebar di berbagai media, seolah masyarakat digiring untuk membayangkan kondisi homogen dalam sistem pemerintahan: menjadi pendukung pemerintah Jokowi-JK atau sebaliknya mengambil posisi yang berseberangan.
Melalui analisis yang ditawarkan oleh Anna Tsing, pemberitaan media tersebut tanpa disadari telah menebarkan ilusi tentang dinamika sosial serta mengubur tinjauan realistis. Setidaknya terdapat tiga ilusi yang terbentuk tentang era pemerintahan baru. Pertama, janji tentang masa depan yang lebih baik. Pemerintahan Jokowi-JK sering dijastifikasi akan membawa banyak perubahan untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Sepak terjang Jokowi dalam upaya menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi masyarakat memang perlu diapresiasi. Namun, dinamika sosial terlalu kompleks; Jokowi, meski sebagai presiden, bukanlah satu-satunya aktor yang berperan besar dan mampu menyulap kondisi masyarakat. Sebesar apa pun aspirasi yang terserap, tetap saja aktor-aktor lama yang menjalankan roda pemerintahan dalam relasi kuasa yang cenderung dipertahankan. Aktor-aktor sosial yang diuntungkan atau pun yang dirugikan cenderung masih tetap sama. Pemerintahan baru tidak niscaya merombak relasi kuasa lama.
Kedua, imajinasi kesatuan. Aliansi yang dibangun saat pemilihan presiden sering dianggap pendukung yang memiliki visi dan misi yang sama tentang bagaimana menjalankan pemerintahan baru. Padahal keberagaman kelompok sosial, dengan aktor-aktor yang membawa kepentingannya masing-masing, sangat mungkin saling bersitegang untuk memuluskan kepentingannya dan menyudutkan kepentingan aktor lain, meski berada dalam satu aliansi. Kesatuan aliansi hanya dapat dipahami sebagai pemosisian strategis untuk mengambil peran dalam pemerintahan baru, namun tidak serta merta bersikap mendukung setiap program pemerintahan, bahkan sangat mungkin terjalin relasi antara aktor pendukung kubu Jokowi-JK dan aktor pendukung Prabowo-Hatta bila dianggap menguntungkan. Karenanya, koalisi yang terbangun, baik di kubu Jokowi-JK maupun di kubu Prabowo-Hatta, hanya bersifat semu. Relasi kuasa dapat terjalin secara informal dan jauh lebih kompleks.
Ketiga, sirkulasi pembangunan. Pemerintah selalu digambarkan sebagai aktor utama dalam melaksanakan pembangunan sosial; kondisi masyarakat seolah tergantung pada kebaikan pemerintah. Imajinasi itu telah memuluskan peran besar pemerintah untuk mengkonfigurasi ruang sosial; masyarakat cukup menerima secara pasif; aktor-aktor yang dekat dengan kekuasaan, baik penguasa maupun pengusaha, memiliki kesempatan luas untuk mengeruk lebih banyak keuntungan. Konfigurasi ruang pun hanya dikendalikan segelintir aktor sosial. James C. Scott, dalam bukunya Domination and The Arts of Resistance, menyumbangkan analisis tentang bagaimana kelas peguasa mempertahankan dominasinya melalui Public Transcripts.[2]Masyarakat yang selalu dirugikan tak seharusnya berpangku tangan, tapi perlu juga membangun kekuatan tersendiri untuk menegosiasikan kepentingannya, menggugat arah sirkulasi kuasa, dan terlibat aktif dalam mengkonfigurasi ruang bersama.
Dengan begitu, ilusi-ilusi tentang kebaruan, kesatuan, kebaikan, kesetaraan atau pun keadilan, perlu ditinjau ulang dan seharusnya diletakkan pada konteks yang lebih realistis dan spesifik, tidak hanya mengacu pada gambaran-gambaran besar yang bertebaran di berbagai media. Indonesia baru, kalau pun istilah ini mungkin masih berguna, tidak niscaya berjalan mulus menuju kondisi yang sepenuhnya baru. Banyak hal yang harus dikerjakan bagi para aktivis sosial, mulai menelusuri sirkulasi kuasa dalam konfigurasi ruang tertentu, hingga merancang dan melakukan kerja strategis dalam merekonfigurasi relasi kuasa.
[1] Anna L. Tsing. The Global Situation, dalam Jurnal Cultural Anthropology (American Anthropological Association, 2000), h. 327-360.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Definisi Optimisme: Seri Motivasi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSejarah Uang
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler