x

Iklan

Syiqqil Arofat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mempersoalkan Legitimasi NGO

Penulis : Sarah Lister Judul : NGO Legitimacy: Technical Issue or Social Construct? Publikasi : Critique of Anthropology. Vol 23. London: SAGE Publications, 2003. h. 175-192

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam kajian pembangunan, teori tentang legitimasi NGO masih belum banyak dikembangkan. Meski NGO selalu dinilai positif berkaitan dengan peningkatan efisiensi layanan, advokasi atau perluasan praktik partisipatif, dan pembangunan berbasis komunitas, namun legitimasi NGO jarang dipertanyakan. Dalam berbagai literatur, legitimasi NGO selalu dikaitkan dengan pertanggungjawaban (accountability), keterwakilan (representativeness), dan kinerja (performance). (Sarah Lister, 2003)

“Pertanggungjawaban” dikaitkan dengan ketidakberjarakan antara lembaga donor di Utara dan kelompok sasaran di Selatan. Lembaga donor seharusnya memilki kedekatan dengan aktor-aktor kunci di kelompok yang dibantunya. Dalam kondisi inilah “keterwakilan” kelompok sasaran beserta segala kebutuhannya mampu dirangkul, sehingga aktor-aktor yang merepresentasikan kelompok yang dibantu dapat membangun organisasi yang efektif. Selain dua aspek tersebut, “kinerja” atau capaian-capaian yang dilakukan NGO juga menjadi aspek penting dalam memperoleh legitimasi. 

Meski begitu, ketiga aspek legitmasi tersebut masih mengandung banyak persoalan. Pendekatan ini masih bersifat teknis, dan belum mengeksplorasi terjadinya berbagai kontestasi dalam perkembangan NGO. Suchman (1995) berpendapat bahwa legitimasi bersumber dari persepsi atau asumsi yang digeneralisasi sehingga sebuah tindakan sosial dianggap layak dan diperlukan dalam sistem nilai, norma, kepercayaan, yang dikonstruksi secara sosial. Karenanya, seperti ditunjukkan dalam teori institusional, pendekatan ini gagal menelusuri (1) lingkungan organisasi yang menetapkan legitimasi,  (2) karakteristik legitimasi yang berlapis, dan (3) penguatan legitimasi melalui identifikasi simbol. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, lingkungan NGO yang melegitimasi. NGO berada dalam konteks dan konstruksi sosial tertentu. Lingkungan tersebut, yang berkaitan dengan nilai-nilai, aturan-aturan dan klasifikasi sosial, memengaruhi bagaimana NGO dibentuk. Lingkungan yang disebut Scott (1994) sebagai “kerangka kognitif dominan” memiliki peran penting dalam menetapkan legitimasi organisasi. Meski begitu, lingkungan organisasi tidaklah homogen, namun terdiri dari berbagai kalangan, stakeholders, pendukung, baik internal maupun eksternal. Begitu pula NGO berada di tengah keberagaman sosial, seperti berbagai organisasi donor, para pendukung, patner kerja sama, dan kelompok yang dibantu.

Kedua, legitimasi dengan karakteristik berlapis. Scott (1995) mengungkapkan tiga jenis legitimasi dalam lingkungan organisasi: pengaturan (regulatory), kognitif dan normatif. Legitimasi pengaturan berkaitan dengan aturan-aturan institusional yang diterapkan untuk menjaga kestabilan dan keteraturan organisasi. Legitimasi normatif memerlukan kecocokan antara nilai-nilai yang diusung organisasi dan nilai-nilai masyarakat secara luas. Sedangkan legitimasi kognitif berkaitan dengan penyesuaian dengan struktur kognitif yang terbentuk dalam masyarakat, yang biasanya sudah diterima apa adanya. Selain itu, Suchman (1995) menambahkan jenis legitimasi pragmatis sebagai kepentingan otonom berbagai kalangan sosial. Dengan memahami perbedaan karakteristik legitimasi tersebut, kompleksitas dinamika NGO dapat ditelusuri lebih lengkap, seperti bagaimana legitimasi NGO dapat menguat dan melemah. Selain itu, keragaman aktor sangat memungkinkan terjadinya ketegangan-ketegangan di antara aktor-aktor tersebut.

Ketiga, legitimasi melalui identifikasi simbol. Simbol-simbol tertentu mampu meningkatkan legitimasi. Dalam penelitian terhadap tujuh organisasi di Guetemala, Sarah Lister (2003) menemukan setidaknya terdapat tiga simbol yang menguatkan legitimasi:  selatan, lokal dan partner.

Istilah “selatan” menunjukkan lokasi penduduk di belahan dunia selatan yang perlu dibantu oleh lembaga donor di negara-negara belahan “utara” yang kaya. Namun, yang dimaksud dengan penduduk selatan tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Hanya terdapat kecenderungan homogenisasi atau generalisasi dengan pembedaaan mencolok antara “utara” sebagai negara kaya dan “selatan” sebagai negara miskin. Dalam hal inilah NGO terjebak pada anggapan-anggapan yang salah, misalnya penduduk selatan memiliki pemahaman lebih baik tentang kemiskinan daripada penduduk utara. Padahal tidak semua penduduk selatan memiliki pengalaman yang sama tentang kemiskinan, begitu pula penduduk utara. Kecenderungan generalisasi simbol ini justru menghambat penelusuran yang lebih realistis tentang siapa dan bagaimana keterlibatan aktor-aktor dalam organisasi.

Seperti halnya istilah penduduk selatan, istilah “lokal” juga cenderung digeneralisasi. Siapa penduduk lokal? Dan apa yang membuatnya menjadi lokal? Persoalan ini tidak dapat dijawab secara pasti, meski istilah penduduk lokal menjadi unsur penting bagi NGO dalam membentuk legitimasi. Begitu pula identifikasi terhadap partner sering menjadi landasan untuk menguatkan legitimasi. Dengan mengatasnamakan kepentingan partner, NGO menjastifikasi agendanya sendiri tanpa perlu dipersoalkan.

Dengan menyadari beragam pembentukan legitimasi tersebut, kajian terhadap NGO perlu ditelusuri lebih realistis. Penelusuran tersebut terkait tentang siapa aktor-aktor yang menetapkan kerangka kognitif untuk dijalankan dalam lingkungan organisasi, dan bagaimana relasi kuasa terbentuk di antara beragam aktor beserta kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berkontestasi, dalam konteks sosial yang dapat menguatkan atau pun melemahkan legitimasi NGO.

Ikuti tulisan menarik Syiqqil Arofat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler