Absurditas Intelektual
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSeteru politis dikalangan akademisi menciptakan bias intelektual. Mulanya intelektual disebut sebagai penawar kepentingan, terbebas dari asumsi elitis semata. Kini, intelektual taklagi sejalan dengan nilai agung netralitas, intelektual kini berpihak.
Mahkamah Konstistusi (MK) telah mengetuk palu tanda drama Pemilihan Presiden (Pilpres) telah berakhir. Hanya saja, sebagian kecil aktor politik tidak mendengar jelas ketukan dan memahami makna disebalik ketukan tersebut. Delusi kemenangan menghinggap begitu kuat sehingga mencipta kekacauan pola pikir mereka. Kekacauan pikir –jika tidak boleh menyebut kedangkalan—menghinggapi para intelektual.
Ranah politik Indonesia selalu ramai dengan dinamika, perbincangan demokrasi sebagai sistem politik Indonesia turut serta menyemarak. Demokrasi sebagai ruang kebebasan justru melahirkan polarisasi di hampir banyak bidang, hukum, ekonomi bahkan ranah intelektual. Meskipun tidak secara faktual adanya pemisah intelektual dengan sebutan intelektual kanan atau kiri.
Pengamat politik, komentator politik, pakar politik dan berbagai pengakuan lainnya. Memang, tidak semuanya berlaku demikian. Tetapi, secara umum bagi intelektual yang memaksakan diri menjadi tameng bagi kelompk delusi kemenangan, yang kemudian berargumentasi bahwa drama pilpres belum usai adalah kedukaan bagi akademisi lainnya yang mash bertahan sebagai intelektual sejati.
Semua memahami, bahwa MK merupakan lembaga tertinggi, tidak ada yang lebih tinggi maupun setara dalam kewenangan memutuskan sengketa pilpres. Jika tawaran para intelektual barisan delusi kemenangan, mengusulkan untuk terus berjuang hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), itu adalah tawaran banal, di mana dalam perundangan PTUN tidak berwewenang mengurusi pilpres.
Memang, tidak mudah menerima kekalahan, terlebih kalah dari sebuah pertempuran yang memang tidak disiapkan untuk kalah. Barangkali, cukuplah aktor politik yang mengumbar kata dan meliukan fakta. Para intelektual, cukup berdiri tegak di atas lingkar kejujuran seorang intelektual. Menggenggam kuat pedoman bahwa “intelektual boleh salah tidak boleh berbohong”.
Integritas, tidak mudah membangun satu keyakinan menjaga kebenaran. Setidaknya, tidak menjerumuskan diri bersama dalil akademik untuk membela kepentingan kekuasaan. Terlebih jika kekuasaan tersebut disiapkan untuk menjadi sebuah tirani. Menggelitik ketika kemudian adanya keinginan menggugat hasil putusan MK ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dengan alasan hak atas jalur politik. Padahal kita sadar, ini negara hukum. Semua keputusan berdasarkan hukum, bukan politik.
Kita harus mahfum, absurditas cara berpikir memang seringkali berimajinasi tingkat tinggi. Tentu aktor politik, pengacara, juga akademisi, bukan orang-orang bodoh. Mereka tahu hukum dan melek atas apa yang mereka jalani. Hanya saja kondisi sehat berpikir seringkali menemui titik lelah.
Banalitas Intelektual
Intelektual juga biasa disebut cendekiawan ialah orang yang menggunakan dayapikir untuk bekerja, belajar, membangun ide. Intelektual seyogyanya menjadi pemangku solusi bagi persoalan bangsa yang pelik. Bukan sebaliknya, dengan ego intelektualitas kemudian memanfaatkan kecerdasan tersebut sesuai dengan kepentingan kelompok maupun individu. Intelektualitas model demikianlah yang disebut sebagai kedangkalan intelektual (banalitas intelektual).
Jika merujuk pada kosakata yang benar, cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah "cendekiawan", yaitu: Pertama, mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku. Kedua, mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Ketiga, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.
Menarik memperhatikan fenomena intelektual dalam riuhnya politik. Politik bukan lagi persoalan krusial dalam menentukan kebijakan (policy), politik kini menjadi komoditas yang bernilai ekonomis. Wajar saja kemudian lahir para pakar, pengamat, dan komentator politik. Bahkan pengacara yang tergolong intelektual hukum juga turut larut dalam dinamika komoditas. Kepentingan yang dibangun sekali lagi bukan kepentingan publik, tapi kepentingan ekonomis individualistis.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Telkom University Gelar Kompetisi Film Internasional
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBDemokrasi: Memahami Masyarakat Multikultural
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler