x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Desa di Mata Jokowi dan Mao Zedong

Kontadiksi pandangan Jokowi dan Mao Zedong tentang desa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Joko Widodo, atawa biasa dipanggil Jokowi, Presiden terpilih pada Pilpres 9 Juli lalu, dan akan dilantik sebagai Presiden ke-7 RI pada Senin (20/10/2014) mendatang, ketika ditelisik ternyata sedikit memiliki kesamaan dengan pendiri Republik Rakyat Tiongkok, Mao Zedong (1893 – 1976).

Akan tetapi bukan masalah etnis – sebagaimana black campaign yang berkembang kemarin jelang Pilpres, atawa faham politiknya. Bukan. Bukan itu. Melainkan pemikiran keduanya yang berkaitan dengan desa.

Ya, kata ‘desa’-nya tok. Karena sebetulnya kalau ditelaah lebih dalam, pemikiran Jokowi dengan Mao Zedong tentang desa itu jelas sekali bertolak belakang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, dalam buku Surat Dari Palmerah (Penerbit KPG), kata ‘desa’ yang dimaksud, adalah taktik, atawa strategi perang Mao Zedong yang terkenal itu: Desa mengepung kota. Jelas sifatnya adalah destruktif.

Sedangkan buah pikiran Jokowi terkait desa terdapat dalam poin ke-3 program prioritas yang bakal mendukung visi misi ketika menjadi Presiden RI 2014 – 2019, yang dituangkan di dalam sembilan agenda prioritas dengan nama Nawa Cita.

Adapun poin tersebut berbunyi: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Bisa jadi, desa, baik di mata Jokowi, maupun Mao Zedong memiliki ‘sesuatu’ yang mahapenting di dalam berdiri tegaknya sebuah negara. Terlepas dari pandangan sebagian orang yang ‘sok kekota-kotaan’ acapkali memandang sinis terhadap desa itu. Bahkan dengan nada mengejek disebutnya pula orang desa itu dengan idiom yang diambil dari bahasa Jawa:  ‘ndeso’, atau yang lebih nylekit di hati orang desa kalau sudah disebut: Kampungan!

Meskipun memang betul selama ini masyarakat desa seakan termarjinalkan, seperti disebut Mao Zedong sebagai: wu-chan chieh-chi (lapiasan sosial yang hanya memiliki sedikit harta), dan di mata Jokowi dianggap masih tertinggal jauh dari mereka yang tinggal di wilayah perkotaan, akan tetapi desa, sebagaimana disebutkan tadi, masih memiliki sesuatu yang mahapenting, dan bisa menjadi modal untuk tumbuh-kembangnya negara agar lebih maju lagi.

Sesuatu itu antara lain kearifan lokal, budaya gotong royong  yang masih hidup. Seberat apapun suatu beban, kalau dipikul bersama-sama, sudah tentu akan terasa ringan. Begitulah yang terdapat di dalam falsafah gotong royong tersebut. Apalagi jika diterapkan di dalam kegiatan pembangunan. Sementara di perkotaan sepertinya sudah terkubur oleh sifat individualistis.

Bahkan sebagai negara agraris, kebutuhan pangan juragan-juragan yang tinggal di kota, kenyataannya tokh dipasok dari wong ndeso.

Sehingga desa oleh Jokowi dijadikan prioritas, atawa target penting dalam agenda kerjanya ke depan.

Dan rakyat di desa menantikan dengan HHC (Harap-harap cemas), dan tanpa sabar lagi bukti nyata janji Sang Presiden tersebut. ***

 

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler