x

Iklan

Syiqqil Arofat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mempertanyakan Demokrasi: Belajar dari Venezuela

Judul : The Democratization of Democracy and Social Organizations of the Opposition; Penulis : María Pilar García-Guadilla; Publikasi : Latin American Perspectives, Issue 141, Vol. 32 No. 2, March, 2005

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak pengkaji sosial menganggap Venezuela sebagai negara yang paling matang dalam menerapkan pemerintahan demokratis di Amerika Latin, sebab negara ini memiliki berbagai organisasi sosial yang aktif memobilisasi anggota-anggotanya dan terlibat dalam pembentukan sistem pemerintahan. Sejak tahun 1980, berbagai reformasi pemerintahan dilakukan dengan melibatkan organisasi-organisasi sosial untuk mengatasi terjadinya krisis ekonomi dan politik. Bahkan, pada tahun 1999, di bawah pemerintahan Hugo Chaves, sebuah konstiitusi baru dibentuk untuk merepresentasikan demokrasi partisipatoris yang merangkul berbagai tuntutan dan usulan dari beragam organisasi sosial. Karena itulah para pengkaji sosial menyimpulkan bahwa civil society telah menguatkan dan berkonstribusi positif terhadap pembangunan demokrasi di Venezuela.

Namun, kesalahan analisis dilakukan oleh banyak pengkaji sosial saat mengabaikan adanya berbagai kekuatan yang bersaing dalam civil society yang justru lebih banyak dikuasai oleh kelas menengah ke atas dan tidak selalu bersifat demokratis. Seperti disadari oleh Restrepo (1998), bahwa kekuatan yang dibangun oleh organisasi sosial cenderung hanya mempromosikan sebuah nilai atau kepentingan tertentu, rentan menciptakan ketimpangan sosial, serta memperuncing eksklusi sosial. Karenanya, civil society perlu ditinjau lebih jauh berdasarkan polarisasi sosial, ekonomi, politik dan ideologi, dengan mengidentifikasi berbagai nilai yang melatari terbentuknya organisasi sosial. Beragam nilai berkontestasi dalam civil society berdasarkan kepentingan kelas-kelas sosial. Sehingga, demi mempertahankan kepentingan anggota dari kelas tertentu, berbagai organisasi cenderung membangun aliansi yang akhirnya mengancam demokrasi itu sendiri. Hal inilah yang terjadi di Venezuela.

Polarisasi dan Eksklusi Sosial

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Roberts (2003), seperti dikutip García-Guadilla, mengungkapkan bahwa mobilisasi yang dilakukan berbagai organisasi sosial tak lepas dari polarisasi sosial, ekonomi dan politik. Hal itu dapat dilihat dari konfigurasi teritorial yang dilatari oleh konflik sosio-politis. Bahkan berbagai organisasi sosial berkonstribusi dalam menetapkan polarisasi ini dengan memosisikan dirinya secara ideologis pada kelas sosial tertentu, serta membangun praktik-praktik tertentu yang mengeksklusi kelas sosial “lainnya”. Misalnya, sebagian organisasi sosial memperjuangkan hak-hak kaum miskin untuk memperoleh kesejahteraan sosial dan keadilan; sementara beberapa organisasi lainnya berasosiasi dengan kelas menengah ke atas dalam menyukseskan demokrasi liberal terkait kebebasan ekonomi dan mempertahankan kekayaan pribadi.

Pada tahun 1989, krisis ekonomi dan politik berakibat pada meletusnya kekacauan dan kekerasan sosial, yang dikenal dengan kasus Caracazo. Fenomena sosial ini terus dikenang sebagai serangan kaum miskin yang mentuntut hak-haknya. Penduduk kelas menengah ke atas terus mengingatnya sebagai “Ketika penduduk Caracas turun dari bukit, lalu kekacauan terjadi”. Fenomena ini akhirya tertanam dalam diri penduduk kelas menengah ke atas, sehingga mendorong mereka untuk batas-batas teritorial dari penduduk “yang lain”, yang berbahaya dan mengancam. Kemudian, kelas menangah ke atas memproteksi wilayahnya dengan pagar, gardu dan sistem keamanan yang ketat.

Presiden Hogu Chávez berupaya mengatasi persoalan kemiskinan dengan mengesahkan konstitusi baru pada tahun 1999, yang didasarkan pada kedaulan penduduk miskin, dalam rangka menggantikan proyek liberal yang dikuasai oleh kelas menengah ke atas. Meski secara konstitusional sistem pemerintah berhasil menerapkan sistem demokrasi dan partisipasi sosial, namun berbagai organisasi sosial gagal mengembangkan nilai-nilai demokratis dan justru semakin memperuncing perbedaan dengan membangun aliansi untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing. Dua bentuk aliansi organisasi sosial terbangun: (1) pendukung presiden yang berasosiasi dengan penduduk miskin dengan ideologi demokrasi radikal, (2) kelompok oposisi yang berasosiasi dengan penduduk kelas menengah ke atas dengan ideologi demokrasi liberal. Sehingga polarisasi sosial pun semakin meruncing. Bahkan, polarisasi itu terlihat jelas dalam konfigurasi batas-batas wilayah yang dibentuk oleh kelas-kelas sosial yang berbeda.

Polarisasi sosial, ekonomi dan politik tersebut terbangun berdasarkan relasi sosial yang saling mengeksklusi. Kelas menengah ke atas, dengan dibantu beberapa pensiunan militer, membangun sistem keamanan dalam “Rancangan Pertahanan Komunitas Aktif” untuk menjaga wilayahnya dari ancaman kelompok “lain”, mempertahankan hak atas kekayaan, keluarga dan kebebasan, bahkan dengan mencurigai para pembantu rumah tangga. Sementara kelas bawah selalu menuduh kelas menengah ke atas sebagai kelompok oligarki yang korup dan eksploitatif. Karenanya, pola pandang tersebut dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap “yang lain”, yang dianggap mengancam kepentingan kelasnya. Akhirnya, demokrasi pun tenggelam dalam kepentingan kelas.

Sumber foto: www.aljazeera.com

Ikuti tulisan menarik Syiqqil Arofat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan