x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sebagai Manajer, Mengapa Sukar Meminta Maaf

Berbuat kekeliruan adalah manusiawi, tapi meminta maaf mengapa begitu sukar?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

In truth, a leader should either apologize, mean it and do something about it - or not apologize at all.

--Andrew Ross Sorkin (Jurnalis, 1977-...)

                                                                                

Sebagai manajer, berapa kali Anda meminta maaf kepada bawahan untuk sejumlah kesalahan yang Anda lakukan? Atau pertanyaannya barangkali diubah menjadi seperti ini: pernahkah Anda meminta maaf kepada anak buah?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika tidak pernah, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Anda manajer hebat sehingga tak pernah berbuat salah sekalipun, atau Anda menyimpan gengsi etinggi langit sehingga enggan meminta maaf. Jangankan meminta maaf secara terbuka di hadapan banyak anak buah lainnya, bahkan berdua di ruang kerja Anda pun mungkin tidak.

Pengakuan bersalah disertai permintaan maaf seringkali dilakukan oleh karyawan dengan jenjang lebih bawah. Banyak perusahaan yang meminta pengakuan itu tanpa disertai niat untuk mengambil pelajaran dari kekeliruan karyawannya, melainkan sekedar memberi hukuman.

Sebagian manajer yang lebih visioner menganggap kesalahan karyawan sebagai momen untuk berkaca diri, barangkali ada lubang-lubang di dalam mekanisme kerja atau standar kerja perusahaan yang berlaku. Karena itu, perbaikan mesti segera dilakukan agar kesalahan serupa tidak lagi terjadi. Tentu saja, pandangan positif seperti ini patut diapresiasi dan berkontribusi positif bagi perusahaan.

Di sisi lain, permintaan maaf atas suatu kesalahan kerap tidak terlontar dari para manajer maupun direksi. Permintaan maaf yang tulus sangat sukar keluar dari bibir mereka. Ada unsur kemanusiaan yang terlupakan dari hubungan antara jajaran manajemen dan karyawan, yakni bahwa jajaran manajemen pun dapat berbuat kesalahan atau kekeliruan; bahwa mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah tindakan yang manusiawi.

Sebuah keputusan bisa keliru, sebuah kebijakan bisa saja salah; dan ini manusiawi belaka. Namun ternyata untuk mengakui hal ini dibutuhkan kebesaran jiwa. Jenjang jabatan yang tinggi kerap menghalangi langkah manajer untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada bawahan. 

Permintaan maaf semestinya diletakkan sebagai pengakuan atas kemungkinan semacam itu, pengakuan atas ketidaksempurnaan manusia di dalam pengambilan keputusan. Gengsi yang berlebihan hanya akan membuat hubungan jajaran manajemen dan karyawan menjadi timpang.

Dalam konteks hubungan antara perusahaan dan pelanggan, permintaan maaf yang terlambat disampaikan dapat berakibat merosotnya persepsi-baik pelanggan terhadap produk dan layanan yang diberikan perusahaan. Banyak perusahaan baru menyampaikan permintaan maaf setelah muncul tekanan bertubi-tubi atau bila masalahnya diungkap di media massa.

Manajer perusahaan kerap tidak menyadari bahwa keterlambatan semacam ini dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap produk mereka yang memang memiliki kekurangan, maupun produk-produk lain yang mereka hasilkan—inilah yang kerap disebut sebagai “spillover effect”.

Di tingkat manajemen, keengganan untuk mengakui kekeliruan dan meminta maaf juga dapat menimbulkan persepsi negatif karyawan terhadap keputusan-keputusan yang dibuat kemudian. Spillover effect dapat mendorong lahirnya ketidakpercayaan karyawan kepada manajemen, bahkan mungkin pembangkangan diam-diam dengan tidak mematuhi aturan yang dibuat manajemen. Bila ini terjadi, keputusan yang sudah dibuat manajemen berpotensi menjadi tidak efektif.

Bagi para manajer, meminta maaf seyogyanya diletakkan sebagai pengakuan atas ketidaksempurnaan mereka dalam mengambil keputusan. Dan ini wajar saja sebagai bagian dari ikhtiar menegakkan nilai-nilai budaya perusahaan. Kata guru manajemen mendiang Peter Drucker, manajer efektif memimpin dengan memberikan suri teladan dan memastikan bahwa mereka melakukan “apa yang benar”, dan mereka tidak peduli tentang “siapa yang benar”. Mungkin saja tindakan yang benar justru dilakukan oleh bawahan. (sbr foto: expertbusinessadvice.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB