x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Swasembada Pangan dan Kebiasaan Makan Kita

Swasembada pangan sebaiknya tidak hanya diupayakan dari sisi suplai atau produksi saja, tapi juga dari sisi permintaan atau konsumsi, antara lain, melalui diversifikasi pangan untuk menekan ketergantungan pada satu jenis komoditas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat menyantap makanan dengan begitu lahapnya, pernahkah terbayang dalam benak kita: pada saat yang sama ada ratusan juta bahkan miliaran penduduk dunia yang sedang kelaparan? Itulah kondisi dunia saat ini, ancaman krisis pangan kian nyata.

Indonesia, dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 252 juta orang dan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun dalam satu dekade terakhir, juga tengah dihadapkan pada ancaman yang sama. Memang, kondisi kita belum separah negara-negara di Benua Afrika. Ketersediaan pangan kita boleh dibilang masih aman. Tapi, kian bergantungnya negeri ini pada produk pangan impor (mentah dan olahan) merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan pangan (food security) kita.

Faktual, hari ini neraca perdagangan komoditas pangan kita terus mengalami defisit dengan tren yang kian menganga. Pada tahun 2010 saja, defisit tersebut telah mencapai angka 23 miliar dollar AS. Artinya, selama ini kita lebih banyak mengimpor komoditas pangan dari luar negeri ketimbang mengekspornya. Singkat kata, kita kian bergantung pada produk pangan impor.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebergantungan ini tentu persoalan serius. Pasalnya, tidak selamanya komoditas pangan tersedia secara mencukupi di pasar global. Sewaktu-sewaktu pasokan bisa saja terganggu, dan hari ini intensitas gangguan itu kian meningkat karena adanya pemanasan global yang memengaruhi produksi. Belum lagi kita harus bersaing di pasar internasional dengan negera-negara lain yang juga membutuhkan komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.

Apa yang terjadi pada komoditas kedelai beberapa tahun lalu adalah contohnya. Panganan tahu-tempe yang merupakan produk turunan kedelai sempat hilang dari pasaran tiga hari lamanya. Pemicunya adalah harga kedelai yang tiba-tiba meroket, mengakibatkan pengusaha tahu-tempe mogok produksi.

Harga kedelai di pasar internasional kala itu mengalami kenaikan karena suplainya terganggu. Musababnya, Amerika Serikat sebagai negara utama produsen kedelai dunia tengah dihadapkan pada bencana kekeringan yang menggilas 60 persen wilayah pertaniannya. Kondisi ini mengakibatkan harga kedelai dalam negeri melompat karena sekitar 70 persen kebutuhan kedelai nasional harus diimpor, dan 84 persen dari kedelai impor tersebut diserap oleh industri tahu-tempe.

Sementara itu, pada saat yang sama, kita juga harus bersaing dengan negara-negara seperti China, Uni Eropa, Jepang, dan Mexico untuk mendapat kedelai di pasar internasional. China, misalnya, saat ini adalah importir kedelai terbesar di dunia. Negara “Tirai Bambu” itu harus mengimpor lebih dari 50 juta ton kedelai setiap tahunnya.

Merubah kebiasaan makan

Persoalan serupa kedelai sewaktu-waktu juga bakal terjadi pada komoditas pangan lain yang sebagian besar pemenuhannya harus diimpor. Satu-satunya solusi untuk keluar dari kebergantungan terhadap pangan impor adalah kemandirian pangan. Negeri ini harus swasembada.

Tentu, kita tidak harus swasembada pada semua komoditas pangan, minimal pada komoditas-komoditas pangan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak: dikonsumsi secara masif dalam jumlah besar oleh penduduk negeri ini. Produksi komoditas-komoditas pangan tersebut harus digenjot oleh pemerintah, baik itu melalui perluasan areal tanam secara besar-besaran maupun peningkatan produktivitas (penggunaan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi).

Upaya dari sisi produksi saja tidak cukup. Dari sisi konsumsi, juga harus ada upaya untuk mengendalikan atau mengerem permintaan terhadap komoditas pangan. Dan, ini bertalian erat dengan pola atau kebiasaan makan kita. Terkait hal ini, sedikitnya ada dua hal yang perlu dilakukan: diversifikasi pangan dan menghindari “kemubaziran”.

Dengan diversifikasi (penganekaragaman) pangan, kita seharusnya tidak bertumpu pada satu jenis komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan (intake) protein, karbohidrat, dan lemak. Selain itu, porsi ketiganya harus seimbang, seperti segitiga sama sisi. Saat ini, orang Indonesia lebih dominan ke karbohidrat. Tidak heran kalau menurut catatan WHO, Indonesia termasuk negara dengan penderita diabetes terbesar di dunia.

Celakanya, hari ini sekitar 80 persen pemenuhan kebutuhan karbohidrat tersebut bersumber dari beras. Kini, semua perut orang Indonesia begitu bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi mencapai 100 persen, kecuali untuk Maluku dan Papua (80 persen). Tidak mengherankan kalau setiap tahun, konsumsi beras orang Indonesia secara rata-rata mencapai 139,15 kilogram per kapita, tertinggi di dunia.

Memang, ada kecenderungan kalau saat ini angka konsumsi beras per kapita semakin menurun. Tapi celakanya, penurunan tersebut ternyata lebih disebabkan oleh meningkatnya konsumsi produk olahan gandum seperti mi instan. Padahal, gandumnya harus kita impor. Akibatnya tentu jelas, kita akan semakin bergantung pada komoditas pangan impor.

Galibnya, diversifikasi pangan diarahkan pada pemanfaatan komoditas pangan lokal yang jumlahnya melimpah. Dengan demikian, intake kerbohidrat hendaknya tidak hanya bertumpu pada beras, tetapi juga dikombinasikan dengan komoditas-komoditas pangan lokal, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, talas, sorgum, dan ganyong.

Terkait hal ini, pemerintah sebetulnya telah menggulirkan program “One Day No Rice”. Program ini diperkirakan bakal menghemat konsumsi beras sebesar 1,1 juta ton. Namun nampaknya, program ini hanya sekedar imbauan di tengah rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya diversifikasi pangan.

Salah satu sebab rendahnya kesadaran tersebut adalah persepsi keliru: mengkonsumsi beras sudah terlanjur dianggap sebagai indikator “kesejahteraan”. Jika tidak mengkonsumsi beras, itu artinya sedang kelaparan atau tidak mampu membeli beras. Karena itu, perlu upaya serius dari pemerintah untuk meluruskan persepsi keliru tersebut.

Salah satu caranya adalah melakukan kampanye masif secara terstruktur dengan melibatkan seluruh aparatur negara guna mengangkat citra komoditas pangan lokal, sembari menjamin ketersediaannya mencukupi, harganya murah dan terjangkau, serta tersedia kapan saja. Kampenye masif tersebut sebaiknya diprioritaskan untuk menyesar generasi muda, terutama anak-anak usia sekolah.

Selain diversifikasi pangan, perilaku kemubaziran juga harus dihindari, yakni membiarkan makanan terbuang percuma. Pendek kata, kita harus lebih menghargai makanan. Menurut laporan FAO, setiap tahunnya, sepertiga bahan makanan yang dihasilkan secara global terbuang percuma. Di negara maju, jumlahnya bahkan mencapai 40 persen dari total bahan makanan yang diproduksi dalam setahun. Dan, sadar atau tidak, selama ini kita telah berkontribusi dalam perilaku mubazir tersebut. Mari kita rubah pola/kebiasaan makan kita! (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB