x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenang Lévi-Strauss

Tatkala para ahli memandang suku-suku primitif sebagai kelompok manusia yang aneh, Claude Lévi-Strauss menunjukkan bahwa mereka memiliki budaya yang tak kalah canggih dibandingkan manusia modern.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"The scientist is not a person who gives the right answers, he is one who asks the right questions."

-- Claude Lévi-Strauss (Antropolog, 1908-2009)

Bagaikan juru kamera yang percaya diri, Claude Lévi-Strauss senang memilih sudut penglihatan yang tak lazim. Ketika sejawatnya melihat budaya dengan angle yang biasa, Lévi-Strauss memandang perkembangan budaya melalui lensa kuliner. Cara memandang itu ia tuangkan dalam esainya yang terbit pada pertengahan 1960an, "Le Triangle Culinaire" atau "The Culinary Triangle".

Dalam esai itu, ia mencontohkan bagaimana orang-orang suku Amazon membedakan antara memanggang dan merebus. “Merebus menyediakan sarana konservasi yang utuh atas daging dan cairannya, sedangkan memanggang diikuti oleh kerusakan dan kehilangan,” tulisnya. “Jadi, yang satu menunjukkan watak ekonomis, yang lain pemborosan; yang terakhir aristokratis, yang terdahulu udik.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cara pandang yang berbeda itu pula yang membuat nama Lévi-Strauss menjulang. Tatkala para ahli memandang suku-suku primitif sebagai kelompok manusia yang aneh, Lévi-Strauss menunjukkan bahwa mereka memiliki budaya yang tak kalah canggih dibandingkan kelompok manusia modern. Ia menunjukkan betapa pikiran-pikiran primitif sesungguhnya kompleks dan memiliki pola tertentu.

Publikasi Lévi-Strauss sekembalinya dari Amerika ke Prancis, yakni La Vie familiale et sociale des Indiens Nambikwara (1948), dan Les Structures Elémentaires de la parenté (1949), memperlihatkan kekuatannya itu. Berseberangan dengan antropolog ‘fungsionalis’ yang berpendapat bahwa sistem-sistem kekerabatan adalah respons terhadap pola-pola organisasi sosial yang berbeda-beda, Lévi-Strauss mengatakan bahwa sistem-sistem kekerabatan mencerminkan prinsip-prinsip yang mendasari pikiran manusia.

Ia menunjukkan, salah satu prinsip dasarnya ialah keengganan di bawah sadar—dan karena itu fundamental—untuk inses (tabu inses). Prinsip ini berada dalam satu mata rantai dengan sistem pertukaran dan pemberian-hadiah yang berlangsung berabad-abad. Ini merupakan gestur simbolis yang meliputi keseluruhan jaringan hubungan yang menjadi basis masyarakat manusia.

Penafsirannya atas mitos-mitos Amerika Utara dan Selatan begitu menantang pemikiran Barat tentang ‘masyarakat primitif’ tidak lama setelah ia memulai riset antropologisnya pada 1930an—pengalaman yang menjadi basis bagi bukunya yang terbit pada 1955, Tristes Tropique. Pandangan yang diterima pada waktu itu menyatakan bahwa masyarakat primitif secara intelektual unimaginative dan secara temperamental irasional.

Lévi-Strauss menyelamatkan subyeknya dari perspektif yang terbatas ini. Dimulai dengan suku Caduveo dan Bororo  ia kemudian mempelajari suku Nambikwara dan Kawahib di kawasan Mato Grosso, Brazil. Di sinilah ia melakukan kerja lapangannya yang pertama dan utama, dan menemukan bahwa mereka bukan hanya memuaskan kebutuhan material semata, tapi juga memahami logika canggih yang mengatur mitos dan memiliki kepekaan akan keteraturan dan desain.

Tristes Tropiques (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai A World on the Wane) dipuji oleh antropolog Amerika Clifford Geertz sebagai “salah satu buku paling bagus yang pernah ditulis oleh seorang antropolog.” Perbedaan antara masyarakat ‘beradab’ dan masyarakat ‘primitif’, menurut Lévi-Strauss, hanya sedikit. Lantaran itulah, antropolog ini lebih suka menyebut yang kedua sebagai ‘masyarakat tanpa tulisan’.

Lévi-Strauss menulis Tristes tanpa beban. “Saya menulis tanpa beban ilmiah, tanpa cemas apakah hasilnya terdengar ilmiah. Dan, hasilnya adalah sejenis fantasi liar,” ujarnya. “Saya menulis sangat bebas mengenai apapun yang melintas di kepala saya.” Dalam bukunya, yang dianggap sebagai hasil meditasi antropologis ini, Lévi-Strauss merumuskan perbedaan antara nature dan culture berdasarkan bahasa dan kemampuan unik manusia dalam melihat suatu obyek bukan semata-mata sebagai obyek itu sendiri, melainkan sebagai simbol.

Betapapun primitifnya suatu suku, menurut antropolog kelahiran Brussels, Belgia, 28 November 1908 ini, mereka memiliki kemampuan simbolisasi—suatu karakteristik yang dimiliki-bersama oleh seluruh manusia. Lantaran itulah, alih-alih mencari perbedaan antara satu budaya dan budaya lain, Lévi-Strauss justru mencari apa yang ia sebut unconscious similarities  (keserupaan yang tanpa disadari ada) dalam pikiran manusia. Ia berusaha menunjukkan adanya hukum berpikir mistis sebagaimana ditemukan dalam ilmu-ilmu alamiah.

Philippe Descola, ketua antropologi di Collège de France, mengatakan kepada New York Times bahwa Lévi-Strauss adalah “salah seorang pahlawan intelektual terhebat di abad ke-20… Ia memberikan obyek yang tepat pada antropologi: bukan sekedar studi mengenai watak manusia, tetapi suatu studi sistematis tentang bagaimana praktek-praktek budaya bervariasi, bagaimana perbedaan kultural diorganisasi secara sistematis.”

Dengan cara pandangnya yang tak lazim, interpretasinya terhadap fakta menjadi orisinal, puitis dalam asosiasinya. Ia dianggap mampu menerangi cahaya baru atas fakta-fakta yang sudah ada, sekalipun kesimpulannya kadang-kadang dianggap meragukan. Kapasitasnya untuk menciptakan sejenis intellectual jigsaw yang kompleks tak pernah diragukan, namun sebagian orang menganggap ia tidak selalu gamblang dalam menjelaskan relasi antara hipotesisnya dengan realitas.

Antropolog berayah seorang pelukis dan berbuyut seorang komposer ini, Isaac Strauss, mengakui keterbatasan metodenya. “Gagasan di balik strukturalisme,” ujarnya, ”ialah adanya hal-hal yang mungkin kita tidak tahu, tapi kita dapat belajar bagaimana hal itu berhubungan satu sama lain. (Metode) ini telah digunakan oleh sains sejak kemunculannya dan dapat diperluas ke beberapa studi lain—linguistik dan mitologi—tetapi tidak untuk setiap studi.”

Ya, strukturalisme akhirnya memang dilekatkan pada gagasan-gagasan Lévi-Strauss—yang menguat setelah Les Mythologiques, karya empat jilidnya, terbit. Jilid pertama, Le Cru et le Cuit (The Raw and the Cooked, 1964), menyajikan asal-usul keahlian memasak sebagai paradigma transisi dari alam ke budaya yang melintasi sejumlah mitos. Jilid kedua, Du Miel aux Cendres (From Honey to Ashes, 1966), membahas madu dan tembakau sebagai penjelmaan ritual dari antitesis fundamental yang ada di dalam otak. Jilid ketiga, L’Origine des manières de table (The Origin of Table Manners, 1968), dan keempat, L’Homme Nu (The Naked Man, 1971), berkonsentrasi pada masyarakat Indian di Amerika Utara.

Apa yang hendak ditunjukkan dalam penelitiannya yang berjilid-jilid tentang totemisme, ritus primitif, pola kekerabatan, dan terutama mitos adalah adanya kesejajaran antara artefak-artefak kebudayaan kuno tersebut dengan fenomena kebahasaan. Kesalahan antropologi tradisional—sebagaimana linguistik tradisional, menurut Lévi-Strauss, adalah perhatiannya pada arti sebuah terma dan bukan pada relasi antarterma. Perspektif ini sangat Saussurian. Pertama, Lévi-Strauss melihat setiap ekspresi kebudayaan sebagai bagian dari sistem yang lebih luas. Kedua, dan ini lebih penting, dia meyakini bahwa item-item dalam kebudayaan tidak memiliki nilai intrisik, namun menjadi penting karena kedudukannya dalam suatu struktur.

Bagi Lévi-Strauss, fenomena antropologis—seperti sistem kekerabatan—baru dapat dipelajari maknanya jika diletakkan dalam kerangka relasi-relasi struktural. Oleh Lévi-Strauss, struktur mitos—seperti kisah Oedipus—dibongkar dengan memilah-milahnya menjadi satuan-satuan kisah terkecil, yang dinamai mitem (serupa dengan “fonem” dalam kajian linguistik). Dalam analisisnya, Lévi-Strauss memilah mitem-mitem berdasarkan tipe relasinya. Misalnya, “Cadmos membunuh naga” serupa dengan bagian “Oedipus membunuh Sphinx”. Kedua bundel kumpulan kisah itu dapat disatukan dalam kelompok yang sama.

Perjalanannya ke New York, saat ia diundang menjadi profesor tamu di New School for Social Research, 1941, merupakan “periode paling menyenangkan dalam kehidupan saya.” Di kota dunia itu, ia menghabiskan waktu di ruang baca New York Public Library. Ia berkenalan dengan antropolog Amerika kelahiran-Jerman, Franz Boas, dan linguis kelahiran Rusia, Roman Jakobson, yang teorinya tentang struktur bahasa memengaruhi prinsip-prinsip strukturalis Lévi-Strauss. Ia senang mengunjungi toko barang antik di Manhattan yang menjual berbagai artifak dari masa Pacific Northwest. Ia begitu terkesan sehingga mengatakan, “hal-hal yang esensial dari kekayaan artistik kemanusiaan dapat ditemukan di New York.”

Selama periode empat tahun di Amerika Serikat itulah “antropologi struktural” dikonstruksi. Selagi di New York, Lévi-Strauss menenggelamkan diri dalam catatan-catatan antropologis Amerika Utara dan Selatan yang dihimpun oleh para antropolog dan linguis selama lebih dari seabad. Data itu membuatnya menentang penjelasan reduksionis terhadap budaya, yang secara implisit menampik pencapaian intelektual yang direpresentasikan oleh mitologi dan pemikiran sosial pribumi. “Rasa haus akan pengetahuan obyektif,” tulis Lévi-Strauss, “adalah salah satu aspek yang paling diabaikan dari pikiran orang-orang yang kita sebut ‘primitif’.” Kontaknya dengan linguis struktural membuatnya meyakini betapa kaya material ini.

Kendati usianya terus menanjak, Lévi-Strauss tetap berkarya. Pada 1958 ia menerbitkan kumpulan esainya di bawah judul Anthropologie Structurale (1958, terjemahan Inggrisnya 1964). Dua tahun kemudian ia menempati kursi Chair of Social Anthropology di Collège de France; pidato pengukuhannya diterbitkan di Inggris sebagai The Scope of Anthropology (1967). La Pensée Sauvage — terjemahan Inggrisnya, The Savage Mind, muncul 1966 — adalah salah satu dari bukunya yang terpenting. Karya ini menyadikan tetemisme kompleks yang berlaku di antara orang-orang Aborigin Australia sebagai ekspresi pandangan-dunia yang mengatur dan menjelaskah hidup mereka sehari-hari. Anthropologie Structurale Deux (1967), La Voie des Masques (1975, terjemahan Inggris 1983), Le Regard Eloigné (1983), Paroles Données (1984), La Potière Jalouse (1985) and Histoire de Lynx (1991) adalah sejumlah karya terakhir Lévi-Strauss.

Seperti intelektual Prancis lainnya, Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir—keduanya ia kenal sejak muda, Michel Foucault, Roland Barthes, Jacques Derrida, dan Paul Ricoeur, pengaruh Lévi-Strauss meluas ke disiplin-disiplin lain. Bagi orang-orang di luar antropologi, dia adalah antropolog yang paling mashur dan dianggap sebagai pendiri gerakan intelektual yang dikenal sebagai strukturalisme.

Namun, pada 1980an strukturalisme seperti yang dibayangkan oleh Lévi-Strauss digusur oleh pemikir Prancis yang dikenal sebagai postrukturalis: Michel Foucault, Roland Barthes, dan Jacques Derrida. Mereka menolak gagasan universal yang tak lekang waktu dan berpendapat bahwa sejarah dan pengalaman jauh lebih penting dalam membentuk kesadaran manusia dibandingkan hukum universal.

Sejak mula, Lévi-Strauss menyadari suatu saat buah pikirnya mungkin bakal ‘tergusur’. “Masyarakat Prancis, dan khususnya masyarakat Paris, adalah pelahap,” ujarnya menanggapi. “Setiap lima tahun atau sekitar itu, mereka membutuhkan sesuatu yang baru di mulut mereka. Dan begitulah, lima tahun yang lampau adalah strukturalisme, dan kini sesuatu yang lain. Saya, secara praktis, tidak berani menggunakan kata ‘strukturalis’ lagi, sebab ia sudah sedemikian dideformasi. Tentu saja, saya bukan bapak strukturalisme.” (dian basuki) (sbr foto: radicalphilosophy.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler