x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Urgensi untuk Bertindak

Banyak pemimpin tidak memiliki sense of urgency sehingga situasi bertambah buruk. Pembenahan dunia penerbangan menyusul musibah AirAsia jadi contoh pentingnya sense of urgency.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Without a sense of urgency, desire loses its value.”
--Jim Rohn (Wirausahawan dan penulis, 1930-2009)

  

Pengambilan keputusan dan tindakan berlangsung sangat lambat, padahal keadaan berubah amat cepat. Sebagian orang merasa sudah puas dengan capaian mereka, sehingga enggan berubah. Sebagian lainnya gamang mengambil keputusan, sehingga jalan di tempat, atau malah mundur. Apa yang keliru? John Kotter, ahli manajemen perubahan, menyebut satu kunci penting untuk menjelaskan hal itu: tidak ada perubahan tanpa ada rasa urgensi (sense of urgency)—bahwa sebuah situasi mendesak untuk ditangani.

Dalam bukunya yang inspiratif, A Sense of Urgency, Kotter menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang tahu bahwa mereka harus berubah tapi tak tahu mesti mulai dari mana. Kekurangan itu, kata Kotter, terletak pada tidak adanya rasa urgensi yang sebenarnya. Yang ia maksud adalah sikap yang jelas dan perasaan berani yang memampukan (enabling) orang untuk mewujudkan sesuatu yang penting saat ini juga dan secara berangsur-angsur menghilangkan aktivitas yang kurang penting sehingga mampu bergerak lebih cepat dan cerdas, sekarang juga!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menciptakan rasa urgensi merupakan tanggung jawab pemimpin. Ketika volume penjualan turun sebesar 5% dibandingkan bulan sebelumnya, manajer yang tanggap akan mewaspadai situasi ini sebagai tidak normal. Ia akan segera memperingatkan jajarannya tentang situasi ini, mengevaluasi apa yang sebenarnya terjadi, apakah pesaing tertentu merebut sebagian pangsa pasarnya. Jika ya, tindakan apa yang harus diambil. Jika tidak, apa yang salah? Rasa urgensinya telah mendorong manajer ini untuk bertindak sebelum situasi bertambah buruk, misalnya volume penjualan turun hingga 7%.

Mutu kepemimpinan manajer dan leader (termasuk menteri dan presiden) dapat dilihat antara lain dari cara orang itu bersikap dan bertindak dalam situasi mendesak (urgent). Ada yang bertindak sangat cepat tanpa memahami arah mana yang tepat untuk dituju. Ini menandai ia panik. Ada yang bertindak demikian lamban, hingga situasi bergerak ke arah yang sama sekali sulit dikendalikan. Ini menandai ia lembam dan gamang mengambil keputusan.

Pemimpin yang sigap mengerti bahwa situasi mendesak merupakan peluang besar untuk menciptakan perubahan mendasar. Situasi yang menekan ini dipandang sebagai dorongan untuk berubah. Ini kesempatan baik guna mendongkrak motivasi tim yang ia pimpin, mewujudkan visi yang baru, dan menerapkan strategi baru. “Inilah saatnya untuk berubah!” teriak si pemimpin. Dalam konteks dunia penerbangan kita saat ini, musibah Air Asia menjadi momentum bagi menteri perhubungan untuk membenahi industri ini. Menteri Jonan sudah menunjukkan sense of urgency, meskipun masih harus dinanti arah mana yang akan ia tuju dan bagaimana ia membenahi dunia penerbangan.

Karakter tanggap akan situasi urgen diperlukan bukan hanya dalam mengurus perusahaan, tapi juga dalam manajemen pemerintahan dan kenegaraan. Sayangnya, banyak orang yang menempati posisi memimpin dalam organisasi tidak menyadari bahwa situasi tertentu telah mendesak atau malah sudah genting. Banyak manajer, pemimpin lembaga pemerintahan, maupun pemimpin sosial yang bersikap lamban atau tak tahu arah. Respons yang diharapkan muncul darinya tidak memadai untuk mengatasi situasi yang mendesak.

Lantaran tidak memiliki sense of urgency, orang yang diberi amanah duduk di posisi memimpin ini tidak sigap mengambil sikap dan tindakan yang selayaknya. Kelambanan dan ketidaktegasan dalam situasi mendesak menyebabkan momentum bagi perubahan terus menurun dan akhirnya menghilang. Orang jadi lupa dan malas membicarakannya. Motivasi merosot. Bahkan, menurut John Kotter, guru manajemen perubahan, urgensi yang terus menurun dapat menimbulkan kekacauan. Dalam lingkup tim, misalnya, para anggota tim menjadi sukar dikendalikan karena bertindak menurut pikiran dan kehendak masing-masing.

Di saat-saat yang urgen seperti itu, jiwa seorang pemimpin semestinya ‘hadir’. Ketika keadaan terasa sulit bagi bawahan (dan bagi masyarakat dalam konteks negara), seorang pemimpin ada di sana. Ia bukan hanya ada secara fisik, tapi ‘hadir’ dalam pengertian kepemimpinannya, kharismanya, lecutan semangatnya dirasakan oleh banyak orang lantaran ia menangkap urgensi untuk bertindak dan berubah. Lebih penting lagi, ia menunjukkan dengan jelas jalan yang mesti ditempuh dan memimpin langsung di depan. (sbr foto: stevecurtindotcom) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB