x

Iklan

Arimbi Bimoseno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Laut Ombak dan Badai [Sebuah Novel-5]

"Jangan bilang kau memahami laut, jika masih mengeluh karena badainya." - Dananjaya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah sebelumnya: Laut Ombak dan Badai-4

Anak-anak balita berkumpul di rumah Ana, ditemani ibu mereka masing-masing. Mereka duduk di tikar. Sebagian anak bermain-main di bagian bawah rumah panggung. Lima anak muda yang terdiri dari dokter dan perawat berbagi tugas, ada yang menimbang, mencatat dan melayani konsultasi warga seputar keluhan kesehatan yang sedang mereka alami. Nani dengan cekatan menyuguhkan bubur kacang ijo dalam mangkuk-mangkuk kecil. Kemudian Anggia dan Sebastian membagikan itu semua pada anak-anak.

“Hari ini banyak yang datang, seneng deh,” Rasmi ibunda Ana berkata pada Nani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Memang biasanya gimana?” maklum baru pertama kali ini Nani ikut menangani Posyandu di Dusun Sikaute.

“Kadang sepi, kadang sepi banget. Apalagi kalau lagi musim panen cokelat. Pada lebih berat sama cokelatnya daripada anaknya. Kadang harus dijemput dan diingatkan, baru deh mereka ke Posyandu.”

“Dimana-mana sama ya. Di Muntai juga gitu.”

Anggia dan Sebastian memperhatikan seorang dokter muda yang sedang memeriksa bayi.

“Dokternya masih muda ya,” Anggia melirik sekilas pada Ana di sebelahnya.

“Iya. Dia datang dari Jakarta,” jawab Ana sambil melihat seorang anak yang menangis waktu mau ditimbang.

“Oh ya?” Sebastian tampak antusias.

Ana mengangguk.

“Asyik ya jadi dokter. Bisa membantu menyembuhkan orang yang sakit. Kalau ibu kita sakit, nggak usah jauh-jauh ke Puskesmas,” sambung Anggia.

“Aku mau jadi dokter,” kata Sebastian.

“Aku juga,” kata Ana, “kamu mau jadi apa, Gia?”

Anggia berpikir sejenak, “Belum tahu.”

Mereka melihat aktivitas Posyandu sampai selesai.

Di dapur, Rasmi dan Nani menyiapkan makanan untuk dokter dan perawat yang masih muda-muda itu. Hidangannya berupa nasi, ikan tongkol bakar dan sambel dabu-dabu.

“Cukup nggak? Kalau kurang, masih ada ikan di belakang,” kata Pandu, suami Rasmi, sembari melihat ikan bakar di atas meja.

“Cukup,” kata Rasmi.

Pandu adalah Kepala Dusun Sikaute. Setahun belakangan ini dia sangat senang dengan kehadiran sekelompok petugas kesehatan dari Jakarta yang mengadakan Posyandu keliling dari dusun ke dusun.

Saat para dokter muda sedang makan, Anggia, Ana dan Sebastian memperhatikan mereka. Begitu salah satu dari mereka - seorang pemuda - selesai makan dan keluar rumah untuk mencari angin, Anggia, Ana dan Sebastian mendekatinya.

Mereka memperkenalkan diri dan bertanya tentang aktivitas dokter muda itu di dusun ini.

“Saya ingin jadi dokter seperti Kak Ade,” Sebastian berkata pada pemuda itu.

“Saya bukan dokter. Saya pemerhati kesehatan. Itu dokternya, namanya dokter Gusniar” Ade menunjuk seorang perempuan muda berkerudung yang masih makan.

“Kalau teman-teman Kak Ade yang lain itu?”

“Sebelah dokter Gusniar itu Tika, dia seorang bidan. Terus yang di depannya itu Reni, dia perawat. Di sebelah Reni itu Yuli, dia perawat juga.”

“Tapi Kak Ade seperti dokter, memeriksa tensi darah anak-anak tadi.”

“Hehehe… di sini sebagai petugas kesehatan, kita harus serba bisa.”

“Apa yang Kak Ade lakukan di sini?”

“Melakukan penelitian kesehatan masyarakat. Mencari tahu bagaimana sih gaya hidup masyarakat sini. Seperti apa pola makannya. Sudah masuk kategori sehat atau belum. Melakukan penyuluhan tentang kesehatan pada masyarakat umum dan juga ke sekolah-sekolah.”

“Kok Kak Ade nggak ke Muntai?”

“Muntai. Oh ya nanti bulan depan ada teman-teman lain yang akan ke Muntai.”

“Apa kalian semua dari Jakarta?”

“Enggak. Saya dari Buntok, Kalimantan Tengah. Teman-teman yang lain ada yang dari Makassar, Bandung, Jogja. Dokter Gusniar aja yang dari Jakarta.”

*bersambung

Ikuti tulisan menarik Arimbi Bimoseno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler