Di Kota Bandung, akun Twitter jadi pintu masuk bagi warga untuk memberi usulan, menyampaikan keluhan, mau berbagi ide dengan Pemerintah Kota. Kang Emil, walikotanya, cukup responsif menanggapi cuitan warga. Lewat akun media sosial ini, Kang Emil berharap aparat pemerintah dapat segera mengetahui apa yang disuarakan oleh warganya terhadap kualitas pelayanan publik di Bandung.
Pemkot Bandung juga membikin Bandung Command Center—sejenis ‘pusat komando’ yang dihubungkan dengan CCTV yang dipasang di berbagai sudut kota maupun dengan peranti GPS yang dipasang di kendaraan dinas Pemkot. Lewat sejumlah monitor di ruang BCC, Walikota bisa memantau kondisi kota, khususnya lalu lintas.
Pemkot Bandung juga berangan-angan punya kawasan pusat inovasi semacam Lembah Silikon di California, AS. Dinamai Bandung Technopolis, kawasan ini diharapkan menjadi motor inovasi bagi masyarakat kota Bandung. Walikota Surabaya juga membayangkan punya Lembah Silikon serupa yang dapat menjadi penggerak ekonomi Surabaya. Sayangnya, masa jabatan Bu Rusmi sudah mau habis, jadi belum jelas bagaimana nasib gagasan ini.
Di Banda Aceh, Walikota Illiza Sa’aduddin Djamal berupaya mengadopsi peranti digital untuk mendukung kelancaran dan transparansi jalannya pemerintahan, termasuk memantu kinerja PNS. Sebagai wilayah yang beberapa kali terkena bencana alam, Pemkot juga mengadopsi sistem peringatan dini.
Banyuwangi tak mau tertinggal. Bupati Abdullah Azwar Anaz berusaha menjawab tantangan geografis wilayahnya yang luas dan tersebar. Ia mengadopsi teknologi informasi untuk mengatasi persoalan jarak di wilayah kabupatennya untuk mempercepat pelayanan publik. Pengurusan KTP kini bisa jauh lebih cepat.
Kabarnya Bupati Abdullah juga tengah mengembangkan konsep Smart Kampung (sedikit beda istilah dengan Bandung dan Surabaya yang memakai sebutan Smart City), yakni pemanfaatan teknologi informasi untuk pengelolaan aktivitas warga, ekonomi umumnya, lingkungan, tempat tinggal, maupun pertanian. Salah satu gagasannya yang menarik ialah Smart Environment: Pemkab mewajibkan warga menanam pohon—aksi tanam pohon ini dinamai Sedekah Oksigen.
Ide inovatif para walikota dan bupati ini layak didukung sebagai langkah menuju Smart City atau Smart Kampung ala Banyuwangi. Pemanfaatan teknologi informasi memang dapat mengintegrasikan pengelolaan berbagai hal yang menjadi tanggungjawab Pemkot dan Pemkab. Misalnya, dalam hal transportasi—memadukan antarmoda transportasi sehingga lalu lintas lebih lancar dan mobilitas warga tidak terhambat.
Pemanfaatan teknologi informasi digital seyogyanya memang dilandasi oleh perubahan mindset pemerintah dan warganya dalam melihat dan mengelola persoalan wilayahnya. Yang disebut Smart City bukan penggunaan teknologi maju sekedar untuk mempermudah komunikasi warga dan aparat. Teknologi adalah sarana agar keputusan yang tepat dapat diambil dengan cepat terkait pengelolaan perkotaan.
Dalam Smart City atau Smart Kampung, adopsi teknologi ini semestinya mendorong efisiensi penggunaan berbagai sumber daya, seperti air, listrik, bahan bakar minyak dan gas, sekaligus mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, penataan kota, permukiman dan kepadatan penduduk, kesehatan, pendidikan, banjir, penanganan bencana, hingga limbah dan sampah perkotaan.
Data yang terhimpun dari lapangan lewat teknologi (CCTV, GPS, sensor-sensor, media sosial) dianalisis dan menjadi basis bagi pengambilan keputusan Pemkot dan Pemkab. Bagaimana pengaturan lalu lintas agar lancar, bagaimana pasokan air bersih tidak tersendat-sendat, bagaimana limbah dan sampah tertampung dan terolah, bagaimana banjir dapat dicegah adalah sebagian tantangan yang mestinya dapat ditangani dengan konsep Smart City.
Pendeknya, jika semua masalah perkotaan dapat ditangani melalui manajemen terintegrasi yang berbasis teknologi dan data, layaklah kota ini disebut Smart City. (sbr ilustrasi: clout-project.eu) **
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.