x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berebut Karyawan Berbakat

Permintaan terhadap talent di masa depan bakal meningkat, sedangkan pasokan justru menurun, sehingga perusahaan berusaha memperebutkan talent terbaik dan paling cemerlang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apakah talent? Manajer-manajer hebat, begitu Marcus Buckingham menyimpulkan dari wawancara dengan ratusan manajer dan menuliskannya dalam buku First, Break All the Rules, mendefinisikan talent sebagai ‘a recurring pattern of thought, feeling or behavior that can be productively applied.’ Pola pikiran, perasaan, atau perilaku yang berulang-ulang yang dapat diterapkan secara produktif.

Penekanannya, tulis Buckingham, terletak pada kata ‘recurring’ (berulang-ulang). Talent Anda adalah cara berpikir yang paling sering Anda gunakan, perilaku yang berulang-ulang Anda tunjukkan. Kemampuan instinktif Anda untuk mengingat nama-nama dibandingkan wajah-wajah adalah sejenis talent. Ketertarikan Anda yang sangat kuat pada risiko, dan karena itu Anda berulang-ulang berani mengambil risiko, adalah talent Anda. Apapun pola perilaku berulang yang dapat diterapkan secara produktif, itu adalah talent.

Memang tidak ada definisi baku mengenai istilah ‘talent’. Perusahaan konsultan global McKinsey & Company, misalnya, mengartikan talent sebagai ‘the sum of a person’s abilities... his or her intrinsic gifts, skills, knowledge, experience, intelligence, judgement, attitude, character and drive. It also includes his or her ability to learn and grow..’ (Michaels et al, 2001: xii). Bagi McKinsey, talent merujuk kepada ‘yang terbaik dan paling cemerlang’. Pendeknya, dalam bahasa yang relatif lebih mudah, ‘berbakat’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi itu bukan satu-satunya definisi. Dave Urlich, guru besar sumber daya manusia di Michigan University, AS, menawarkan pandangan yang lebih menyeluruh mengenai talent. Ia menyodorkan suatu formula bahwa talent = competence * commitment * contribution (Ulrich, 2006). Jadi, talent adalah hasil perkalian di antara kompetensi dan komitmen dan kontribusi.

Dalam formulasinya, competence bermakna individu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk hari ini dan mendatang. Commitment berarti bahwa karyawan bekerja keras, mencurahkan waktu terhadap apa yang harus mereka kerjakan, mengerahkan energi bagi keberhasilan perusahaan. Contribution mempunyai makna bahwa mereka memberi kontribusi nyata melalui pekerjaan mereka—sekaligus menemukan makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka. Mereka bekerja bukan untuk mengumpulkan uang semata, melainkan ada tujuan yang lebih bernilai. Menurut Ulrich, competence berkaitan dengan ‘kepala’ (being able), komitmen berkenaan dengan tangan dan kaki (being there), dan kontribusi berurusan dengan hati (simply being).

Kendati sumber daya manusia (kini istilah human capital lebih populer ketimbang human resources) telah lama menjadi perhatian para manajer, namun istilah ‘the war for talent’ yang dilontarkan oleh Steven Hankin dari McKinsey & Company pada 1997 telah menyita perhatian para manajer dan pemimpin bisnis. Istilah the war for talent merujuk kepada lanskap yang kian kompetitif dalam upaya perusahaan merekrut talent workers (maupun talent managers) dan mempertahankan mereka.

McKinsey ketika itu memprediksi bahwa permintaan terhadap talent di masa depan bakal meningkat, sedangkan pasokan justru menurun, sehingga perusahaan berusaha memperebutkan talent terbaik dan paling cemerlang. Karyawan yang cemerlang kinerjanya diperebutkan, diiming-imingi gaji dan fasilitas bagus agar mau pindah perusahaan, dan seterusnya. Namun, sesungguhnya, yang dicari talent lebih dari sekedar uang. Mereka menginginkan tantangan yang sanggup menguji hingga seberapa hebat bakat mereka.

Laporan Hankin tersebut didasarkan atas studi terhadap 77 perusahaan dari berbagai jenis industri dan melibatkan hampir 6.000 orang manajer dan eksekutif, serta dilengkapi dengan studi kasus mengenai 20 perusahaan yang dianggap luas sebagai ‘rich in talent’. Dari studinya tersebut, Hankin menyimpulkan sejumlah hal:

Pertama, the war for talent dapat dimenangkan jika—dan hanya jika—perusahaan mengangkat ‘manajemen talen’ sebagai prioritas perusahaan;

Kedua, perusahaan menciptakan employee value propotition yang kuat;

Ketiga, seluruh talent sangat peduli terhadap kultur, nilai-nilai, dan otonomi; serta

Keempat, pelatihan dan umpan balik berjalan dengan baik (dalam arti selaras dengan tujuan strategis perusahaan maupun individu talent).

Meminjam definisi Dave Ulrich, ‘the talent war’ merepresentasikan dorongan untuk menemukan, mengembangkan, dan mempertahankan individu-individu yang memiliki kompetensi dan komitmen yang diperlukan pekerjaan mereka dan yang mampu menemukan makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka. (sbr ilustrasi: ibtimes.co.uk) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler