Kenali Hak Kesehatan Reproduksi (Bagian I)

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meski sudah diakui secara internasional, tak berarti setiap orang mengenali hak kesehatan reproduksinya.

Tak banyak orang tahu hak-hak kesehatan reproduksi yang melekat dalam dirinya, dan harus dipenuhi negara sebagai pemegang kewajiban. Bahkan bagi remaja mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi saja masih terus dilarang-larang.

Kesehatan Reproduksi penting dipenuhi sebab akan menjauhkan seriap orang dari persoalan-persoalan serius terkait dengan kehidupan sosialnya, dalam keluarga dan dalam bermasyarakat. Sebut, misalnya, dengan mengetahui informasi mengenai kesehatan reproduksi, remaja perempuan akan terhindar dari Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Situasi yang menjadikan remaja perempuan mengalami pengucilan, dan tak jaranh terjebak dalam tindakan aborsi tidak aman.

Hak paling pertama yang harus didapatkan setiap orang adalah pendidikan dan informasi mengenai kesehatan reproduksi. Dalam dokumen internasional dan nasional, secara sederhana kesehatan reproduksi dimaknai sebagai keadaan sehat secara fisik, psikis dan sosial, tak hanya terbebas dari segala ragam penyakit.

Pemahaman ini menunjukkan pada situasi kesehatan reproduksi tak hanya sebatas soal terbebasnya seseorang dari penyakit-penyakit fisik. Melainkan juga memuat dimensi psikis dan sosial. Pada dimensi psikis, setiap orang harus terbebas dari tekanan, paksaan dan paksaan terkait dengan fungsi, sistem dan organ reproduksinya.

Pada dimensi sosial, kesehatan reproduksi memberikan perlindungan kepada setiap orang untuk terbebas dari berbagai tindak kekerasan, diskriminasi, pengucilan dan pengabaian berdasarkan organ, fungsi dan sistem reproduksinya, termasuk ketidakadilan gender.

Ketidaktersedian pendidikan dan informasi kesehatan reproduksi menjadikan orang masuk dalam berbagai situasi yang akan merugikan kehidupan di masa depan, terutama bagi perempuan. Misalnya, perlawanan perkawinan anak, bukan semata-semata soal pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak. Lebih dari itu, perkawinan anak akan berdampak buruk bagi kehidupan anak perempuan.

Dalam kesehatan, anak perempuan yang berusi di bawah 20 tahun, organ-organ reproduksinya belum siap benar menjalankan fungsi-fungsinya. Meskipun, karena mereka sudah menstruasi itu berarti menunjukkan sudah produktif dalam konteks sel telur yang siap dibuahi. Para ahli juga menyatakan, perkawinan anak akan memicu tingginya angka kanker mulut rahim, dan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) dalam proses persalinan.

Secara psikis, anak perempuan yang dikawinkan secara dini masih bersifat labil dan belum menunjukkan kedewasaan. Akibatnya, mereka belum bisa menjalan peran dalam kehidupan rumah tangga. Situasi ini memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, fisik, psikis dan seksual.

Secara sosial, anak perempuan akan kehilangan kesempatan berkembang secara sosial dan intelektual yang akan menjamin kehidupan di masa depannya. Mereka tak memungkinkan lagi menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan terancam bisa mendapatkan kehidupan secara ekonomi dengan mandiri. Ketergantungan terhadap pasangannya akan menjadi sangat kuat, dan memberi ruang bagi pasangannya melakukan tindakan sewenang-wenang. (Bersambung).

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua