Mengapa Partai Islam Mengusung Mantan Napi di Pilkada?
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBeberapa mantan napi politik bertarung kembali dalam Pilkada karena ada dukungan partai.
Beberapa partai islam mengusung mantan narapidana korupsi menjadi balon kepala daerah dalam pilkada serentak yang akan digelar 9 Desember mendatang. Ini cukup memprihatinkan karena seyogyanya partai-partai tersebut mencari kandidat yang terbaik. Mantan napi sama sekali bukan kandidat terbaik dalam kacamata orang awam. Apalagi dalam kacamata ajaran agama yang jelas-jelas menegaskan bahwa korupsi adalah perbuatan haram.
Misalnya balon walikota Semarang, Soemarmo HS yang didukung PKB dan PKS. Kemudian ada Jimmy Rinba Rogi yang diusung PAN dan akan bertarung dalam pilkada di Menado. Partai-partai ini mengajukan alasan bahwa sebagai mantan napi, mereka telah menyelesaikan masa hukuman dan bertobat. Bahkan Jimmy memasang spanduk dan baliho yang menyatakan dirinya telah bebas dan siap bertarung dalam pilkada.
Agak aneh mengapa partai-partai islam mau mengusung mantan narapidana korupsi. Ini semata-mata bukan karena MK memberi peluang kepada mereka. Tetapi mengacu pada kepentingan partai-partai yang bertemu dengan ambisi para napi tersebut. Keputusan MK dan kesempatan yang diberikan parpol telah menjadikan mantan napi merasa pe-de untuk menjadi calon kepala daerah. Tak ada rasa malu atau bersalah yang tersirat dari wajah mereka.
Ini beberapa alasan mengapa partai-partai tersebut mau mengusung mantan napi:
1. Mahar politik
Orang-orang yang berani menjadi calon kepala daerah adalah orang-orang yang memiliki modal financial yang besar. Artinya mereka sanggup membayar mahar politik yang yang diajukan partai-partai pengusung. Besaran mahar politik berbeda di setiap partai, tergantung berapa kursi yang ada di DPRD. Meski akhir-akhir ini ada larangan soal mahar politik, tetapi tidak bisa dihapuskan karena sudah menjadi rahasia umum antar partai. Mahar politik memberikan pemasukan yang berarti bagi partai untuk operasional dan modal dalam pileg nanti. Selain itu ada deal-deal khusus antara calon kepala daerah dengan partai.
2. Tidak ada calon lain
Ada daerah-daerah yang minim tokoh yang menonjol dalam bidang politik, sedangkan tokoh-tokoh masyarakat biasanya tidak memiliki modal keuangan sehingga tidak dilirik oleh partai. Sebaliknya justru mantan napi yang telah mempersiapkan diri secara materi. jadi, mereka yang diusung partai menjadi calon kepala daerah.
3. Hutang budi
Bisa jadi partai-partai ini mempunyai hutang budi pada mantan napi itu di masa lalu. Misalnya, diam-diam partai-partai ini kecipratan rejeki ketika mantan napi itu masih menjadi pejabat. Ketika mantan napi kembali, mereka menagih balas jasa kepada setiap partai-partai tersebut.
Apa untungnya mengusung mantan napi? kalau berhasil menang, jelas merupakan proyek bagi mereka. Hal ini cukup mencemaskan. Walau mereka sudah bilang bertobat, tidak ada yang tahu pasti apakah tobat itu benar-benar dilakoninya atau hanya sekedar 'pemanis bibir'. Sebab kalau ternyata mereka kembali korupsi, bukan partai yang dirugikan, melainkan rakyat.
Maka patut kita sosialisasikan anjuran ICW untuk memberi sanksi sosial kepada partai-partai pengusung napi. Pertama, mengajak masyarakat jangan memilih kandidat yang mantan napi. Kedua, jangan memilih partai tersebut pada pileg dan pilpres di masa mendatang. Partai pengusung mantan napi dianggap mempunyai rekam jejak yang buruk, yang tak pantas dipilih oleh masyarakat.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Muhammad Hafidz, Gen Z Penggerak Pariwisata Kepulauan Seribu
Rabu, 14 Agustus 2024 18:46 WIBNarkoba Untuk Biaya Politik
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler