x

MUI Tegaskan Tak Ada Fatwa BPJS Haram

Iklan

Thamrin Dahlan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menunggu BPJS Kesehatan Syariah Sampai Kapan?

Majelis Ulama Indonesia menetapkan bahwa BPJS Kesehatan belum sesuai dengan syariah. Sementara warga tetap memerlukan palayanan kesehatan tanpa bisa menui

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

BPJS Kesehatan  

Health not everything but without health everything is nothing(Kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak berarti). Jargon kesehatan ini bukan milik orang kaya saja, tetapi bagi orang tak berpunya jargon ini tetap relevan. Apalah artinya kekayaan segunung emas seandainya kesehatan terganggu. Apalah artinya istri nan cantik apabila kesehatan tak ada pada tubuh. Ketika jatuh sakit semua harta kekayaan tidak bisa dinikmati. Bahkan prosesi ibadah pun menjadi terganggu ketika jatuh sakit.

Harta itu hanya bisa dipandang dari jauh. Menikmati kuliner pun tak berselera karena lidah terasa pahit. Semua kegiatan terhenti, tubuh tergolek lemas di pembaringan. Kenikmatan kesehatan itu baru terasa ketika melihat orang lain berjalan riang gembira, ketika melihat saudara lahap menikmati sajian hidangan di meja makan. Sementara si sakit hanya menyesali dirinya kenapa tidak menjaga kesehatan di masa lalu.   Penyesalan selalu datang belakangan, padahal Ibu Menteri Kesehatan Nila Moeloek dan jajarannya acap sekali berujar: “pencegahan lebih baik dari pengobatan”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang kaya dan orang miskin sama saja perilakunya ketika penyakit menggerogoti tubuh. Semua orang secara psikologis menjadi takut, cemas, dan gemas kuatir penyakit yang diderita akan berlarut-larut menjadi kronis. Satu hal lagi yang persis sama antara si kaya dan si miskin, si tua dan muda, lelaki atau perempuan adalah munculnya perasaan takut ketika mengingat penyakit berujung pada sesuatu yang tak dikehendaki seperti cacat atau berakhirnya kehidupan di dunia.

Rasa kuatir itu bertambah-tambah lagi ketika tagihan biaya pengobatan semakin melonjak. Orang kaya bolehlah berbangga punya dana tak terhingga untuk mengongkosi pengobatan bahkan sampai ke luar negeri. Orang miskin pun kini di negeri ini boleh juga berlega hati karena Pemerintah Republik Indonesia sejak beberapa tahun lalu telah menugaskan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk meng-cover permasalahan pembiayaan pengobatan bagi orang tak berpunya.

BPJS Membantu Orang Miskin

Manajemen BPJS Kesehatan memang belum begitu sempurna, bisa dimaklumi karena masih dalam tahapan permulaan aksi. Namun di luar itu semua, paling tidak kehadiran BPJS telah menurunkan angka penolakan pasien (miskin) di rumah sakit secara kualitatif karena tidak ada lagi persyaratan uang muka. Uang muka perawatan itulah yang tadinya menjadi momok bagi kaum dhuafa. Mereka dahulu sering ditolak karena tidak memiliki jaminan uang pengobatan, akibatnya nyawa meregang di jalan.

Kehadiran BPJS sejujurnya menghilangkan kendala berobat bagi orang miskin. Apabila tadinya pemerintah hanya meng-cover PNS dan TNI/Polri serta Pensiunan dalam jaringan pelayanan asuransi kesehatan maka kini BPJS memperluas pelayanan kepada khalayak ramai. Secara filosofis asuransi itu akan semakin kuat pendanaanya ketika jumlah peserta asuransi semakin banyak. Logika ini mengalir dari pemikiran bahwa angka kesakitan (morbiditas) hanya berkisar antara 7-9%. Artinya sifat gotong-royong yang sehat (90%) membiayai saudaranya yang jatuh sakit. Jadi masalah pendanaan bukan menjadi kendala bagi BPJS Kesehatan selama seluruh peserta disiplin membayar iuran bulanan.

Berdasarkan data yang dikutip dari web BPJS saat ini telah terdaftar 130 juta peserta Asuransi Kesehatan Pemerintah (askes). Jumlah kepersertaan ini menunjukkan peningkatan signifikan seiring dengan gencarnya sosialisasi BPJS kepada masyarakat. Selain itu promosi dari mulut ke mulut di antara rakyat terjadi ketika mereka merasakan betapa mudahnya mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas ketika sudah terdaftar menjadi anggota BPJS. Kata pelayanan kesehatan gratisbergaung di mana-mana, orang tak berpunya kini merasa diperhatikan pemerintah terlepas apakah dia dirawat di kelas 3, yang penting cuma-cuma.

Data empiris dari mulut ke mulut itulah yang menggiring para pihak swasta mendaftarkan diri menjadi peserta BPJS. Apakah dia pedagang pasar induk, entah dia sopir, entah dia buruh, satpam, entah dia dari kalangan swasta entah dia pengangguran semua kini berlomba menjadi peserta BPJS. Permasalahan pelik gangguan kesehatan bisa diatasi dengan hanya membayar iuran bulan sebatas kemampuan. Tidak diperlukan lagi dana jutaan rupiah untuk membayar pengobatan karena semua sudah dijamin oleh BPJS. Sekali lagi filosofi asuransi itu berlaku di sini, semakin banyak peserta maka semakin kuat bangsa Indonesia bertubuh sehat yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas nasional.

Keadaan Darurat  Versi  MUI

Seorang sobat berceloteh terkait fatwa MUI yang mengharamkan BPJS, begini, ”Yok kita berobat ke Poliklinik MUI di sana pasti halal.” Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Majelis Ulama Indonesia yang telah mengawal Tauhid dan Fikih umat Islam Tanah Air, ada baiknya permasalahan haram dan halal BPJS dilihat dari prespektif darurat. Masalah penyakit yang diderita umat selalu berujung pada dua hal saja, pertama dia sembuh sehat walafiat kedua dia wafat. Berobat tidak bisa ditunda-tunda menunggu fatwa halal, mengingat kuman dan bakteri dalam tubuh manusia tidak bisa toleransi dengan persoalan yang bukan urusan mereka.

Sunatullah mengajarkan umat agar wajib berusaha berobat kepada ahlinya. Kemudian setelah itu berserah diri atau tawakal kepada Allah SWT, karena sesungguhnya yang menyembuhkan itu adalah hak preogratif Tuhan yang Maha Esa. Ketika peserta BPJS jatuh sakit dan kemudian terhadang dengan fatwa haram maka apa yang akan dilakukan umat. Di sinilah mungkin MUI menetapkan Fatwa Haram itu dibolehkan ketika  dalam keadaan darurat. Artinya umat dipersilakan menggunakan BPJS sembari menunggu kebijakan pemerintah membentuk BPJS Syariah.

Semoga niat baik dari MUI menjaga akidah umat dan perbaikan terus-menerus manajemen BPJS dapat bertemu di satu titik pemahaman. Satu kesamaan pemahaman, di mana peserta asuransi kesehatan pemerintah diberi satu kejelasan agar yakin bahwa tidak ada lagi keraguan terkait halal atau haram ketika menggunakan haknya sebagai peserta BPJS. Apakah nanti ada BPJS Syariah atau kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Syariah, Apotik dan segala macam falilitas kesehatan semua berkembang sesuai perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat. 

MUI dan BPJS berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan permasalahan umat. Sesungguhnya orang-orang yang menghargai waktu untuk tidak berlama-lama memutuskan persoalan ini bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa karena menyangkut kepentingan dan kemaslahatan jutaan umat. Baik, mari sekali lagi kita simak dan renungkan jargon berikut ini "Kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan semuanya menjadi tidak berarti". Warga bingung menghadapi pilihan sulit terkait Fatwa MUI, tetap menderita sakit atau mencari alternatif....

Salam-salaman

Ikuti tulisan menarik Thamrin Dahlan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan