x

Iklan

Mustam Arif

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gagalkan Sawit, Warga Uraso Rintis Pertanian Alami

warga Kampung Liku Dengen sadar pertanian alami adalah pilihan terbaik. Mereka mencoba menolak pupuk kimia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perjuangan memerolah kembali (reclaiming) lahan kelapa sawit dari PT Perkebunan Nusantara, menjadi simpul penyatu warga Kampung Liku Dengen. Kini mereka merenda masa depan dengan kemadirian. Mereka sadar pertanian alami adalah pilihan terbaik. Mereka mencoba menolak pupuk kimia. Bahkan pupuk organik pun tak mau mereka beli.

‘’Kalau bisa dibuat, kenapa harus dibeli dengan harga mahal dan selalu langka di pasaran. Kalau bisa dibikin, kenapa harus tergantung pada penjual pupuk yang sering dipermaikan distributor dan pedagang pupuk,’’ ungkap Hery Niko, salah satu warga dan pendamping masyarakat Kampung Liku Dengen.

Kampung Liku Dengen, berada di Desa Uraso, Kecamatan Mappadeceng, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Warga kampung ini adalah komunitas adat Tabang yang berada di wilayah dataran tinggi. Masa pemerintahan kolonial Belanda berada di bawah onder afdelling (wilayah bawahan) Masamba.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Atas desakan pemerintahan kolonial, mereka terpencar ke wilayah hilir. Warga Liku Dengen kemudian kembali bersepakat membangun kampung tua pasca-berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XXVIII,  perusahaan negara yang kini telah berubah menjadi PTPN XIV.  Mereka kini bertekad mengembangkan pertanian berkelanjutan. Mereka bahkan punya keinginan menjadikan Liku Dengen kampung organik.  

Bagi warga Liku Dengen, bertani bukan semata-mata mengejar produksi yang melimpah, tetapi juga memegang prinsip kehidupan yang lestari. Semua makhluk butuh hidup dan saling memelihara kelangsungan ekosistem.

Warga Kampung Liku Dengen telah menata kampung mereka. Kampung tua ini direstorasi sesuai fungsi-fungsi ruang yakni ada ruang kelola ekonomi untuk penghidupan warga, ruang pemukiman, serta ruang untuk sarana umum. Di dalam lahan pengembangan ekonomi, warga tidak hanya menata lahan-lahan pertanian dan perkebunan, tetapi juga areal hutan. Agar mereka terus menyemai dan menuai hasil hutan yang tersedia dan dinikmati turun-temurun.  

Semangat kemandirian warga Liku Dengen tak lepas dari simpati dan dukungan peran organisasi masyarakat sipil. Perkumpulan Wallacea mengawali pendampingan warga hingga bisa reclaiming lahan kelola masyarakat,  penataan kampung, dan pengembangan ekonomi saat ini.

Tahun 2015 ini, warga Liku Dengen kembali memeroleh dukungan pengembangan komoditi. The Samdhana Institute bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Tokalekaju kembali menguatkan kapasitas warga. Serangkaian capacity building diberikan kepada warga Liku Dengen. Khusus ibu-ibu rumah tangga dilatih membuat pupuk organik. Warga diberi rangkaian pelatihan pengelolaan usaha berbasis komoditi, yakni manajemen pengelolaan usaha, manajemen produksi, manajemen pemasaran serta teknik pengemasan produk.  

Ditempa Konflik

Cerita di Uraso adalah potret konflik lahan berkepanjangan antara penduduk lokal dengan perusahaan kelapa sawit, yang bisa diselesaikan. Lewat perjalanan panjang hingga reclaiming, menempa warga jadi sadar. Investasi yang diiming-imingi oleh perusahaan sawit dan pemerintah, tak selamanya membawa kemakmuran.

Warga Liku Dengen kini menyadari bahwa mereka lolos dari jebakan investasi yang hadir dengan berselimutkan janji kesejahteraan. Sekiranya tidak menuai konflik ketika itu pun, mereka sadar, saat ini belum tentu sejahtra. Mengapa? Selain wilayah kelola yang menjadi sumber penghidupan mungkin masih menjadi milik perkebunan, ruang kelola itu bisa saja telah menjadi lahan kritis yang terlantar. Jika tidak diremajakan lagi oleh peruasahaan, lahan itu butuh puluhan tahun lagi untuk pulih kembali agar bisa menjadi lahan pertanian.

Menurut Basri Andang, Direktur Eksekutif Perkumpulan Wallacea, kisah masuknya perkebunan sawit di Liku Dengen dimulai 1981, sebelum pemekaran kabupaten. Lewat SK Bupati Luwu No. 119/II/KDL/1981 menunjuk areal Mappadeceng, termasuk Kampung Liku Dengen menjadi lahan perkebunan inti dan plasma untuk Proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) PTPN XXVIII.

Tahun 1983–1984, perusahaan BUMN ini mulai menanam sawit untuk perkebunan plasma di Mappadeceng. Padahal, sesuai hasil riset Perkumpulan Wallacea,  PTPN XXVIII baru memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) tahun 1995, setelah mengajukan permohonan 1987.

Seiring bergulirnya waktu, PTPN mulai menuai penolakan masyarakat. Warga selain menilai perusahaan tidak memenuhi aturan, juga mengingkari kesepakatan. Salah satu di antaranya adalah tentang ganti rugi dan pembagian lahan perkebunan plasma. PTPN berjanji memberikan satu hektar lahan plasma untuk setiap kepala keluarga. Tetapi kemudian dengan alasan keterbatasan lahan, perusahaan memberikan satu sertifikat lahan plasma seluas satu hektar untuk  dikelola oleh empat kepala keluarga.

Sesuai hasil riset Wallacea, warga juga merasa tertipu ketika proses pembersihan dalam areal HGU, PTPN XXVIII mengonversi nilai pekerjaan berupa penebangan, pembakaran lahan, pembersihan sampai pada penanaman dan pemeliharaan diakumulasi sebagai kredit bagi petani plasma. Nilai nominalnya mencapai Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per hektar. Warga merasa tertipu karena langusung diminta menandatangani perjanjian, yang tidak dibacakan. Sementara sebagian warga di awal tahun 1980-an itu masih buta huruf.

Karena berkonflik, membuat areal wilayah kelola masyarakat yang sudah disertifikat HGU menjadi terlantar. Melihat kondisi ini, warga kemudian membuat perjanjian dengan perusahaan  agar diizinkan mengambil hasil hutan dan kebun, di antaranya durian, cengkeh, dan madu.

Waktu pun terus berganti, perlawanan masyarakat terus berlanjut. Pihak PTPN mengubah peruntukan lahan dari semula sebagai lahan kelapa sawit menjadi areal perkebunan kakao. Kebun durian dan sarana pengelolaan kebun warga digusur untuk menjadi kebun coklat. Kondisi ini makin menguatkan tekad warga untuk melawan, berbuntut pada reclaiming

Tahun 2010, Bupati Luwu Utara mengeluarkan surat rekomendasi menunda aktivitas perusahaan sebelum persoalan dengan warga bisa diselesaikan. Beranjak dari sini, warga kemudian memperoleh kembali hak kelola mereka.

Sainal Abidin, salah seorang pendiri Wallacea dan inisiator penyelesaian konflik ini memaparkan setelah mendapatkan titik terang konflik ini, warga Liku Dengen kemudian ‘melawan’ HGU kelapa sawit yang ditelantarkan ini dengan menanam tiga jenis komoditi yakni cengkeh, pala dan jengkol. Kini warga bertekad mengembangkan pertanian alami, dan membuahkan hasil.

Pertanian Alami

Pengelolaan pertanian alami ini mulai dirintis warga Kampung Liku Dengen pada 2014 lalu, setelah perwakilan mereka mengiktui sebuah Training of Trainer (ToT) Pertanian Terpadu dan Ramah Lingkungan. Berbekal pelatihan, warga langsung memraktikkan pembuatan pupuk organik dan kompos secara gotong-royong.

Merasa pengetahuannya masih kurang, mereka  melakukan kunjungan belajar ke Kelompok Swabina Pedesaan di Desa Salassae, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.  Di komunitas pertainian organik Salassae, mereka melihat langsung penerapan sistem pertanian alami.

Menurut Basri Andang, kini warga pun sudah merasakan manfaat pupuk organik cair dan kompos, terutama pada tanaman merica yang sudah berbuah. Sementara tanaman jangka panjang masih dalam perkembangan seperti jengkol dan pala. Mereka juga sudah mulai mencoba untuk pertanian sawah.

Hery dan Masmur, dua penggerak pertanian alami di Liku Dengen menyatakan, saat ini warga  bukan hanya membuat pupuk organik cair dengan unsur NPK dan kompos.  Warga juga membuat pestisida dan herbisida herbal yang berasal dari bahan-bahan alami di Uraso.  Misalnya, untuk mengobati serangan jamur pada kakao, dan menghalau walangsangit.

Ne’ Arya, salah seorang petani yang sudah menggunakan pupuk organik cair dan kompos pada tanaman merica. Saat umur mericanya mencapai 11 bulan,  sudah memperlihatkan buah dan tinggi mencapai satu meter. Tanamannya-pun subur. Selain itu, dia tidak mengeluarkan uang sampai ratusan ribu rupiah untuk membeli pupuk kimia. (mustam arif)

Ikuti tulisan menarik Mustam Arif lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu