x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Laut Sabang, Catatan-catatan Seorang Urban – Pesta Terakhir

Kalau saja pesta itu bisa selamanya...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Abu-abu menabir angkasa biru, hujan laju menendang bahang dan gersang, kayu-kayu nyiur bungkuk dipaksa angin kencang, monsun bertandang. Enam bulan sekali, ketika Sabang sampai di pergantian musim, kehidupan seperti jeda. Keluarga-keluarga sabar dengan hidangan awetan, syahbandar menunda pelayaran, bapak-bapak menyiapkan dana tambahan karena segera semua menjadi mahal dari terhambatnya pasokan barang kebutuhan, dan ibu-ibu menambah waktu mengurus rumah, keluar masuk berburu sengat matahari untuk mengeringkan kain-kain cucian atau berkali mengusap lantai dan perabot yang segera basah dari tempias hujan. Badai menguji kesabaran.

Ketika kebanyakan orang urung bepergian, bale-bale pasie malah jadi tuan mahkamah-mahkamah. Balai berkumpul nelayan di pinggir-pinggir pantai, segera riuh musyawarah-musyawarah. Puncak badai masa pergantian musim angin adalah waktu kelompok nelayan mengadakan pesta adat berbentuk kenduri. Saya kurang pasti mana sebab mana akibat, tapi saat cuaca tidak memungkinkan nelayan turun melaut, kegiatan adat diadakan, yang toh nanti sekitar pelaksanaan dibarengi hari pantang yang melarang seluruh orang melakukan kegiatan apapun di laut.

Bagi saya, kenduri seperti ajakan menjaga diri atau desain tua menghindarkan masyarakat nelayan dari musibah, sekaligus memuat teladan bersikap menghadapi masa susah. Berbagi makanan dalam kenduri adalah sedekah. Menghadapi badai-badai terdahsyat, adat nelayan mengajarkan tafakur memperbesar dan memperbanyak ibadah, berharap pertolongan hanya dari Tuhan. Ajaran bersandar hanya pada Tuhan dalam jiwa dan nyata dalam perbuatan. Maha keluhuran, yang nilai lama, sejatinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenduri nelayan adalah adat di seluruh pesisir Aceh. Kenduri Laot, demikian orang Aceh biasa menyebut, diadakan oleh lhok-lhok. Lhok menandai wilayah kelola, atau satuan adat nelayan lingkup terkecil. Nelayan Sabang hidup dalam sepuluh lhok, maka dalam setahun atau di dua puncak pergantian musim, sepuluh kali Kenduri Laot akan digelar di Sabang. Pesta besar di sepuluh kesempatan.

Persiapan Kenduri Laot dimotori bapak-bapak nelayan, tapi dalam pelaksanaan, undangan adalah warga luas, termasuk pejabat pemerintah, seperti kepala daerah dan jajarannya. Waktu pelaksanaan biasanya pertama ditentukan, disusul besar kebutuhan belanja. Di soal terakhir, kearifan kembali tampil karena iuran hanya dikenakan kepada tauke boat atau para pemilik perahu yang identik mereka dengan kemampuan keuangan kuat.

Bukan berarti nelayan lain tidak bersedekah, tapi bentuk sedekah disesuaikan kesanggupan yang beragam, karena sedekah bisa apa saja titipan Tuhan, mungkin harta, mungkin tenaga, mungkin pikiran atau ilmu, dan sebagainya. Seperti kenduri Aceh umumnya, Kenduri Laot adalah kerja bersama untuk bersama. Khas Indonesia, ini gotong royong. Banyak warga kampung, yang bukan nelayan sekalipun, termasuk ibu-ibu, terlibat persiapan.

Setelah hari kenduri diketahui, segera kampung berbenah. Warga akan sibuk membersihkan lingkungan. Tempat-tempat publik di ranah kampung dirapikan bersama, mulai lapangan, jalan kampung, balai warga, dermaga, sampai meunasah atau masjid. Malam terakhir menjelang kenduri esok hari, musyawarah terakhir di meunasah yang rapi. Semua wakil hampir pasti ada. Tetua seperti imeum meunasah atau imam masjid, geuchik, sampai kepala-kepala lorong, ketua pemuda, perwakilan ibu-ibu, dan sudah pasti Panglima Laot, pemimpin para nelayan, berembug kembali memastikan segala rencana telah berjalan sesuai kesepakatan.

Hari kenduri dibuka dini. Biasanya sebelum Subuh, ternak bahan utama hidangan disembelih, sampai proses daging-daging bersih terbagi potongan-potongan. Nanti, setelah matahari naik, barulah masak-memasak dimulai.

Dapur besar yang dibangun tidak jauh dari tempat kenduri, bukan monopoli kaum perempuan. Kerja dibagi. Dandang besar dan kuali dengan pengaduk yang sepanjang kaki orang dewasa adalah tugas bapak-bapak untuk menanak nasi dan mengaduk kuah kari. Sementara hal yang perlu ringan tenaga tapi butuh ketelitian tinggi dijalankan para ibu, seperti meracik bumbu sampai menata pinggan berjajar rapi, wadah bermacam hidangan.

Siang dekat waktu sholat Dhuhur, jamuan dimulai, lagi-lagi, tugas dibagi. Tetua siap menerima undangan di kaki teratak, dengan Panglima Laot biasanya paling depan sebagai ‘panglimanya’ tuan rumah. Beberapa perempuan berjajar di pinggiran meja hidangan yang bebas diambil, nanti, oleh tetamu undangan. Ibu-ibu itu akan cekatan menjaga hidangan tetap penuh sehingga tetamu tak perlu sampai kehabisan. Sebagian kaum muda kebagian tanggung jawab menyuci piring bekas makan karena siapa tahu piring bersih seluruhnya terpakai. Sebagian bapak tegak di samping kuali-kuali wadah kari, siaga menjaga api sehingga kuah tetap hangat tak menggumpalkan lemak. Semua demi jamuan lancar agar sedekah tunai dan afdal.

Tradisi mengajarkan harmoni. Kerja bersama bukan tentang unjuk tiap orang bisa mengerjakan sama, melainkan pembagian peran sesuai kesanggupan. Gotong royong adalah suatu tindakan oleh bersama, untuk bersama, dilandasi semangat demi kebaikan bersama, sehingga tiap jiwa yang memang dibekali hal-hal berbeda oleh Tuhan tinggal saling melengkapi menyempurnakan. Ini keluhuran, bagi saya, yang sejatinya akrab dan asli pribadi-pribadi Indonesia. Adat begitu istimewa, mewariskan kebaikan-kebaikan.

Saya beberapa kali terlibat perayaan adat ini, sesekali sejak pagi ikut membantu persiapan menjadi yang didatangi, kali lain duduk di kursi undangan menyangga piring mencicipi hidangan. Satu saja yang selalu sama, yang saya pikirkan, kalau nelayan tidak ada lagi, dari mana anak-anak kami belajar keluhuran-keluhuran ini. Saya selalu khawatir kenduri yang saya datangi adalah pesta terakhir saking menjadi nelayan makin berat, nampaknya, dan kian terpinggir.  

Di Sabang saja, Lhok Iboih nelayannya beralih profesi ke sektor wisata. Jika adat masih berjalan, nilai-nilainyapun kian kikis. Lhok Pasiran jumlah nelayannya tinggal puluhan setelah sebelumnya ratusan, bahkan menunggu waktu untuk dihilangkan. Tahap demi tahap pembangunan Pelabuhan Perdagangan Bebas di Teluk Sabang, mengurangi bahkan memakai semua wilayah laut Lhok Pasiran. Kemungkinannya dua. Satu, nelayan, yang bertahan menjadi nelayan, akan dipindahkan dan menjadi bagian lhok lain. Dua, nelayan, yang tidak tahan setelah sangat kesulitan menjadi nelayan, akan dengan sendirinya beralih menjadi bukan nelayan.

Kehilangan itu nyata. Kita bisa buktikan dengan banyak cara, termasuk mengunjungi sebuah kelas, di suatu sekolah, lalu coba bertanya, “Anak-anakku, siapa bercita-cita menjadi nelayan?”

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu