x

Iklan

dewi kanti setianingsih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Surasa, Generasi Muda Sunda Wiwitan Meneguhkan Jati Diri

Pembukaan kegiatan Surasa, di Pendopo Pagelaran Paseban Tri Panca Tunggal diawali dengan pembekalan sejarah komunitas pada generasi muda

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi yang cerah,di semilir udara lereng gunung Ciremai, terlihat puluhan remaja putra dan putri memakai pakaian adat. Para Perempuan menggunakan baju khas Toro,berbalut kain batik. Para laki-laki menggunakan pangsi dan kampret serta ikat kepala khas sunda wiwitan. Mereka terlihat begitu ceria, saling bercengkrama menikmati suasana asri di Taman Sari Paseban, menunggu waktu pembukaan acara Surasa. Ada yang berkumpul di Saung  Pancaniti, Saung Panutuan, Saung Batik bahkan ada juga yang memberi pakan ikan di kolam.

Ada yang berbeda di penghujung  liburan anak sekolah Juli 2015 itu. Ya, terutama bagi anak-anak komunitas adat karuhun Sunda Wiwitan yang berpusat di Cigugur Kuningan Jawa Barat. Setiap liburan sekolah, setidaknya dalam tiap semester, mereka mengadakan kegiatan SURASA. Berlangsung dari tanggal 21-23 Juli 2015. ”Surasa, merupakan kegiatan rutin mengisi liburan sekolah,bagian pendidkan kerohanian para generasi muda komunitas dari berbagai kota di Jawa Barat. Tujuannya untuk mengasah kepekaan sebagai manusia dapat menyadari rasa diri sebagai manusia,  menyadari sejarah diri sebagai ciptaan HYang Maha Kersa  dan menerima kesadaran atas hukum kepastian dan ketentuan Yang Maha Kuasa”jelas Djuwita Djati  (45) salah satu Pangaping adat (pendamping). “Juga sebagai media para generasi muda Sunda Wiwitan saling berbagi pengalaman, saling mengenal dan mempelajari sejarah komunitas”, tambahnya.

Saatnya pembukaan acara Surasa, mereka berkumpul di Ruang Pendopo Pagelaran, salah satu ruang di Paseban Tri Panca Tunggal, pusat kegiatan komunitas adat Sunda Wiwitan. Terlihat beberapa kursi di bagian depan diduduki oleh Para Sesepuh Adat dan Ais pangampih ( pembimbing warga adat dari beberapa daerah). Pangeran Djatikusumah (83) membuka secara resmi kegiatan Surasa. “Sebagai generasi muda penerus bangsa, janganlah lelah untuk mengasah diri, menemukan tugas sejati yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa, tetaplah teguh dalam kesadaran diri selaku manusia dan mempertahankan karaketer bangsa”,paparnya. “awali dengan mengenal sejarah diri, untuk menemukan jati diri, baik selaku manusia maupun selaku bangsa” pesannya lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terlihat dalam daftar hadir yang tertata rapi ,kegiatan ini  dihadiri oleh 53 putra putri sunda wiwitan yang hadir dari Kabupaten Garut, Tasik, Banjar, Ciamis, Bandung, dan Kuningan. Salah satunya Wiwin Kurniasih (16) remaja putri berasal dari Ciamis. “Saya ikut Surasa karena ingin bertemu dengan teman-teman dari kota lain,”ungkapnya dengan dialek khas Sunda yang kental.

Yang istimewa di hari pertama, hadirnya sepuh-sepuh adat memberikan kisah pengalamannya sejak muda sebagai penganut Sunda Wiwitan. Abah Gamus (92),”Saya bahagia melihat semangat anak-anak muda sekarang, masih mau belajar dari kami yang sudah tua ini” ungkapnya dengan mata  berkaca-kaca. Kesan yang sama juga terlontar dari  Sudarna (79). Dari pagi hingga siang, diisi dengan pemaparan sejarah komunitas dan jatuh bangun tiap periode politik bangsa ini, berbagai upaya mempertahankan eksistensi masyarakat adat Sunda Wiwitan. Antusias para peserta sungguh luar biasa  menyimak setiap pengalaman yang disampaikan para ais pangampih, meski mereka berjam-jam duduk beralas karpet semata, bahkan ketika waktu makan siang, mereka masih ingin menambah penjelasan dari para sepuh-sepuh itu.

Sesi pertama kegiatan Surasa tersebut, diisi dengan pembekalan sejarah komunitas, mengingatkan pada pesan Sang Proklamator kita, Bung Karno tentang JASMERAH, jangan sekali kali melupakan sejarah. Dalam pesan leluhur Sunda dikatakan; Hana Nguni Hana Mangke, Tan Hana Nguni tan hana mangke, Ada dahulu maka ada masa kini, tidak ada dahulu maka tiada ada masa kini.

Pada penutup hari pertama itu, para peserta Surasa disuguhi Film The Last Samurai. Okki Satrio (50) Pengaping Nonoman (Pendamping) mengatakan “harapannya lewat pemutaran film The Last Samurai, anak-anak adat bisa merefleksikan pengalaman Bangsa Jepang dengan keberhasilan restorasi meiji.  memadukan nilai-nilai modernitas tanpa meninggalkan tradisi,sehingga bangsa jepang hingga kini menjadi bangsa yang maju” Sebagai Komunitas Adat, mereka menyadari benar pentingnya belajar pada sejarah. Generasi Muda Sunda Wiwitan, tengah menata dirinya,untuk menghadapi tantangan zaman. Bagaimana upaya lanjutan mereka meneguhkan jati diri mereka? (nantikan pada tulisan Kedua).

 

Ikuti tulisan menarik dewi kanti setianingsih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler