Kemana Perginya Suara Kita?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah kita berbicara, kemanakah perginya suara? Menghilang di alam semesta, atau terekam dan suatu ketika menggema kembali?

Ketika kita berbicara, suara terdengar oleh orang lain—yang kita ajak berbicara maupun yang tidak kita ajak berbicara. Tatkala kita berteriak di dalam ruang tertutup, suara memantul dan menggema. Saat kita berteriak di lapangan terbuka, suara terdengar keras lalu perlahan menghilang. Udara yang mula-mula bergetar keras perlahan meredup. Lalu, kemana perginya suara?

Kemana berlalunya gelombang suara di tengah semesta yang amat luas ini?Apakah suara kita hilang selamanya setelah tercipta karena mekanisme dalam diri kita. Ataukah suara menjadi sesuatu yang lain—energi dalam bentuk berbeda yang tak lagi sanggup kita dengar, kita lihat, maupun kita rasa?

Kita mungkin mampu mengetahui arah sumber suara tatkala dari jauh mendengar sayup-sayup seseorang bermain seruling. Getaran suara itu menjalar di udara, semakin jauh semakin sayup.

Suara dihasilkan oleh mekanisme yang rumit: pikiran yang memerintah, saraf yang menyalurkan perintah, lidah yang tergerakkan, mulut yang membuka dan menutup, dan seterusnya, maka ‘terciptalah’ suara—udara bergetar, mengusung energi, dan menyalurkan pesan. Suara gerimis malam mengirim kesejukan dan kedamaian.

Ya, udara yang bergetar itu menyalurkan pesan kita: perintah, permintaan, keinginan, hasrat. Suara dan udara yang bergetar itu menyalurkan pula emosi kita: rasa senang melalui tawa, sedih lewat tangisan, amarah melalui teriakan—dan kita yang mendengarnya sanggup merasakan emosi itu. Suara juga mengirim pesan bahwa kita tengah tidur nyenyak: dengkur dengan aneka rupa intonasi, nada, dan vibranya.

Dengan bernyanyi—bersuara dengan nada, intonasi, pengucapan, pitch, panjang-pendek, penekanan, improvisasi, dst, kita memperoleh kesenangan dari bersuara. Lewat aksen yang beraneka, kita memperoleh kegembiraan lantaran mendengar pengucapan yang lucu, tapi kita bisa pula mendapatkan kecurigaan karena pengucapan yang asing. “Anda berasal dari mana?”

Lewat suara kita menikmati desir angin, dicekam ketakutan oleh lecutan petir di angkasa, merasakan hempasan saat mendengar deru ombak, merasakan kesunyian ketika denting gelas beradu, juga kekagetan ketika mendegar ban meletus. Suara berbisik membangkitkan sensasi: ketakutan, kecemasan, sensualitas, kegelapan, mungkin pula kematian yang segera menjemput.

Suara mengalami proses fisik—udara bergetar lalu mengalir dalam gelombang. Tatkala gelombang suara mengenai gendang telinga dan memantik saraf untuk bekerja, mulailah proses psikologis: menciptakan sensasi ketakutan, kegembiraan, kesedihan, kengerian, juga ketenangan. Derau angin, kicau burung, petikan dawai, hingga lenguhan lembu.

Suara—nyaris mustahil membayangkan dunia tanpa suara. Mereka yang didekap dalam bilik kesunyian tak mudah membayangkan hal sebaliknya. Seperti kita pula yang sanggup menikmati suara.

Setelah kita bersuara, kemanakah perginya suara? Ke ujung semesta yang tak terbayangkan, berubah menjadi zat bentuk lain, atau menghilang ditelan kevakuman? Akankah suara-suara yang mengirim pesan kecemasan, kemarahan, kegembiraan, kebencian, suka cita, pujian, terima kasih, maaf, maupun syukur menghilang begitu saja? Ataukah suara kita terekam di alam semesta ini, entah di koordinat mana, dengan begitu alamiah dan suatu ketika akan bergema kembali justru ketika kita mengingkarinya? (sumber ilustrasi: innersonic.org)***

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Bila Jatuh, Melentinglah

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua