x

Iklan

Fadly Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Remehkan Tempe

Ketika harga daging masih tinggi, tempe dapat menjadi alternatif terbaik sebagai sumber protein. Tulisan ini membahas arti penting tempe secara historis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bulan Juli 2015 lalu, Pergizi Pangan Indonesia melayangkan petisi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I dan UNESCO Indonesia. Isinya, mengajak masyarakat supaya mendukung tempe menjadi warisan budaya Indonesia. Dengan tercantum dalam daftar ”Intangible Cultural Heritage of Humanity”-nya UNESCO, maka diharapkan martabat tempe akan meningkat, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Ajuan petisi Pergizi itu menjadi menarik jika dikaitkan dengan kondisi krisis pangan dan melonjaknya harga bahan-bahan makanan pokok di Indonesia yang terjadi sekarang ini. Dengan kata lain, tempe diharapkan bisa menjadi bahan alternatif pengganti daging yang harganya hingga kini masih tinggi dan sulit terjangkau oleh kalangan masyarakat.      

Secara kultural, petisi ini ikhtiar yang baik dan perlu didukung. Namun perlu dipikirkan pula, bahwa tempe bukan cuma urusan budaya. Di baliknya ada masalah pelik mulai dari ketahanan, keamanan, dan swasembada kedelai hingga menyangkut bagaimana mental bangsa Indonesia memandang tempe sebagai sekedar ”makanan kelas rakyat”.              

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pandangan itu ternyata telah mengakar sejak lama ketika mulanya tempe dipakai oleh Bung Karno untuk mengibaratkan watak lemah. Simak saja ucapannya ketika menyemangati bangsa Indonesia agar sedianya menjadi: ”...bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli." Tapi, kenapa pula si bung harus melemahkan tempe dan menyandingkannya dengan kuli? Padahal ia sendiri adalah penggemar makanan dari bahan kedelai yang mengandung nilai protein tinggi ini.  

Karena kadung direndahkan begitu, bangsa Indonesia seakan ditimpa karma. Buktinya pada 2012 silam, tempe sempat melangka di pasaran dalam negeri. Melonjaknya harga kedelai dunia akibat petaka kekeringan lahan di Amerika Serikat (A.S) menjadi induk masalahnya. Negara Paman Sam itu sendiri adalah negara eksportir kedelai terbesar di dunia. Ironisnya, Indonesia adalah salah satu negara importirnya. Maka, menjadi terang, betapa bergantungnya Indonesia dalam memenuhi kebutuhan kedelainya terhadap A.S.

Mengapa dikatakan ironis? Pasalnya, pada masa silam, kedelai sudah dibudidayakan secara luas di Nusantara sebagai bahan pangan. Sejak sekitar abad ke-10 M, dalam pelayaran niaganya, para pedagang Tionghoa telah mengenalkan kedelai kepada masyarakat Nusantara. Laporan rinci mengenai kedelai sebagai bahan makanan penting, terekam dalam salah satu bagian riset naturalis Jerman, Rumphius (1672 – 1702) tentang Cadelium alias kedelai. Rumphius mencatat bahwa pada abad ke-17, kedelai tumbuh subur di Jawa, Bali, dan wilayah lainnya di kepulauan Melayu.

Budidaya kedelai yang diamati Rumphius juga berkait dengan masifnya produksi dan konsumsi tempe. Produk fermentasi kedelai ini diduga diciptakan tanpa sengaja oleh orang-orang Pribumi di Jawa Tengah melalui proses adaptasi dengan iklim tropis Nusantara. Tempe lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kuliner Jawa. Bukti itu terekam dalam kitab pusaka Jawa, Serat Centini yangdisusun pada awal abad ke-19 di bawah pimpinan Pakubuwana V. Dalam salah satu jilid serat ini, didapati kata tempe yang menandakan makanan ini merupakan menu pilihan di lingkungan keraton.      

Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, penelitian terhadap kandungan nutrisi dalam kedelai digarap serius oleh para sarjana Belanda seperti Geerling, Heyne, dan Osche. Hasilnya, kandungan protein dan lemak nabati dalam tempe ternyata memiliki fungsi setara dengan protein dan lemak hewani yang berkhasiat bagi kesehatan.

Khasiatnya teruji pada masa Perang Dunia II ketika para tawanan perang Jepang –mayoritas orang Eropa– yang kekurangan protein hewani bisa teratasi berkat konsumsi tempe. Sesudah masa perang, perhatian dunia Barat terhadap tempe kian besar. Amerika Serikat lalu mulai muncul sebagai negara produsen kedelai. Dari dekade ke dekade, A.S. terus mengembangkan diri, hingga pada 1992 menjadi negara penghasil 51% kedelai dunia. Beratus ribu hektar lahan dibebaskan untuk ditanami kedelai. Kedelai pun lantas menjadi salah satu komoditas pangan yang memberi laba besar bagi A.S.

Besarnya angka produksi kedelai menjadi pemikiran pemerintah A.S. untuk mengembangkannya sebagai bahan konsumsi massa. Pada 1977, Presiden Jimmy Carter mengundang Michio Kushi, seorang ahli makanan nabati dari Jepang untuk berpidato di hadapan Komite Eksekutif Kebijakan Pangan A.S. Kushi menganjurkan agar masyarakat A.S. memproduksi dan mengkonsumsi tempe sebagai alternatif pangannya.

Dua tahun setelah kedatangan Kushi, dua peneliti bernama William Shurtleff dan Akiko Aoyagi mempublikasikan buku The Book of Tempeh  (1979 ) lalu Tempeh Production (1980). Penerbitan kedua buku itu kian menjadikan tempe menjadi makanan yang digemari di negara-negara Barat. Buktinya, pada Juli 1979 berdiri 19 perusahaan produsen tempe di Barat. Pada awal 1984 jumlahnya melonjak menjadi 82, mencakup 53 di Amerika Serikat, 18 di Eropa Barat, 5 di Australia, dan 4 di Kanada. Sejak tahun 1981 hingga 1983, produksi tempe melonjak menjadi 33% per tahun. Menariknya, kebanyakan bisnis tempe justru dijalankan bukan oleh orang-orang Indonesia.  

Sejak saat itu, tempe dikomersialisasi dan dinikmati di Barat. Ribuan orang di sana bahkan dapat membuat tempenya sendiri di rumah. Dikatakan Shurtleff dan Aoyagi, ini adalah sebuah perkembangan penting, khususnya bagi dunia kuliner di Amerika.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Justru kebalikannya. Ketika dekade 1970-an A.S. gencar menggenjot produksi dan konsumsi tempe, dalam catatan FAO, Indonesia justru berada pada urutan negara terbawah dalam skala harian konsumsi protein (38, 4 gram/kapita). Berdasarkan data BPS, pada 2012 sebelum hingga ketika terjadi krisis kedelai, 71% pemenuhan kedelai Indonesia diperoleh dari impor (A.S. merupakan importir terbesarnya). Swasembada kedelai yang ditargetkan pemerintah tiga tahun silam, nyatanya belum terealisasi tahun 2015 ini. Kementrian Perdagangan menaksir, tampaknya 2 hingga 3 tahun ke depan, Indonesia masih akan mengimpor kedelai.     

Kini semua serba terbalik. Di A.S., tempe sebagai tradisi kuliner timur sudah jadi pilihan makanan sehat. Di Indonesia, tempe malah kalah gengsi ketimbang fast food (baca: junk food) yang juga diimpor negara Paman Sam itu. Di A.S. ratusan ribu hektar lahan dibebaskan untuk budidaya kedelai. Di Indonesia, lahan-lahan pangan malah terus menyusut ditanduri berbagai proyek konversi lahan-lahan non-pangan.

Semoga, tempe bisa kembali naik martabatnya sebagai makanan bangsa Indonesia. Meski tentu, itu perlu diimbangi dengan swasembada kedelai secara maksimal agar tidak menjadi ”bangsa tempe, bangsa kuli” yang melulu bergantung pada kedelai impor.

*Sejarawan, pegiat food studies

(Sumber foto: dokumentasi pribadi)

 

Ikuti tulisan menarik Fadly Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB