x

Sejumlah siswa sekolah mengunjungi lokasi kuburan massal eks anggota PKI di dusun Plumbon, Ngalian, Semarang, 6 Juni 2015. Kuburan ini mengubur 24 orang anggota PKI dalam 2 lubang besar. TEMPO/Budi Purwanto

Iklan

pour71

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perawan Kasep: Drama Pilu Seorang Guru

Penghancuran gerakan yang brutal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tanah subur yang terbentang dari Yogyakarta sampai Solo memang cocok untuk menanam padi, tebu dan tembakau. Apakah tumpahnya darah akibat kekerasan yang berderak senyap dengan menangkap, menyiksa  sampai membunuh yang membuat tanah-tanah itu subur?

Dengan dalih menyelamatkan Presiden Soekarno, beberapa perwira mencoba mengambil alih kepemimpinan nasional di Jakarta. Dari aksi sepihak yang berawal dari persaingan para perwira dalam TNI AD(1) itulah malapateka mewujud. Tiba-tiba saja seluruh aparat kekuasaan, militer dan polisi dibantu intelijen, mulai mencari sasaran. Sebuah badan koordinasi dibentuk untuk memulihkan keamanan. Namanya Komando Operasi Pemulihan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). Wewenangnya sangat besar. Seluruh pimpinan militer di tiap tingkatan jadi pimpinannya. Kopkamtib juga mengajak institusi-institusi sipil untuk menyumbangkan tenaganya supaya tugasnya selesai . Tugas yang dimaksud adalah untuk menumpas PKI. Semua anggota dan simpatisan partai berlambang palu arit itu dilacak dan ditangkap dengan embel-embel KONDISI DARURAT.

Tanggal 11 Oktober 1965, 10 hari sesudah para jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya sebuah editorial di koran Angkatan Bersendjata menuliskan keterlibatan Gerwani dan Pemuda Rakyat dalam peristiwa Lubang Buaya itu. Lalu fitnah secara massif dipropagandakan oleh AD melalui koran, surat kabar dan televisi. Ironisnya pada tanggal 2 Oktober 1965, Panglima Kopkamtib, Suharto, sudah mendeklarasikan bahwa kondisi ibukota telah aman terkendali. Tari Harum Bunga dituliskan oleh koran AB dilakukan oleh Gerwani sebelum membunuh para jenderal. Dalam analisanya, koran AB menyebutkan bahwa aksi itu berakar dari tradisi paganisme. Analisa yang absurd. Sebab, tradisi menguliti manusia tak ada pernah dijumpai akarnya dalam sejarah Indonesia. Bahkan dalam era animisme sekalipun(2).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin buku karya Emil Zola yang judulnya Tambang jadi referensi untuk menyebarkan berita bohong itu. Di buku itu, ada seorang rentenir yang menghisap darah buruh-buruh tambang dengan memberi pinjaman dengan bunga tinggi. Rentenir itu juga suka memperkosa anak gadis buruh-buruh tambang itu. Suatu waktu para istri buruh tambang itu berhasil membekuk rentenir celaka itu dan seorang perempuan dengan tangannya menarik kemaluan si rentenir sampai putus.

Absurd atau tidak, analisa yang menggambarkan perempuan yang tidak bermoral itu membuat kemarahan rakyat tersulut. Lalu seluruh elemen Kopkamtib di seluruh pulau Jawa tiba-tiba berderak lebih keras. Mereka sekarang punya sasaran baru, anggota Gerwani. Siapa saja diculik dan ditangkap. Sebagian besar ditahan selama belasan tahun tanpa pernah diadili. Disiksa secara fisik dan mental dalam penjara. Ada juga yang mengalami kekerasan seksual. Para penangkap dengan dalih KONDISI DARURAT dibantu kelicikan birahi mulai memilah siapa saja para anggota Gerwani yang tubuhnya berwarna kuning kemerah-merahan dan tubuhnya penuh. Di mata para penangkap, martabat perempuan tak lebih hanya seonggok daging pemuas birahi yang siap disantap. Jadi rebutan para pemangsa dengan cara digilir tanpa ampun.

Seorang penyintas yang berprofesi sebagai seorang guru TK di Klaten dan ditahan karena suatu alasan yang sama sekali tak masuk akal untuk sebuah kejahatan yang definisinya ditentukan secara semena-mena oleh pihak penguasa tetap memelihara semangatnya. Di penjara dia menghibur teman-teman satu selnya dengan sebuah drama satu babak. Kisahnya tentang seorang perempuan yang ditangkap tentara saat usia muda. Mengalami siksaan fisik dan psikis luar biasa sehingga harapan untuk punya anak harus dibuang jauh-jauh. Perempuan yang jadi tokoh utamanya tak tahu kapan ia akan keluar dari penjara. Dia membuang jauh impian masa remajanya tentang rumah yang akan diramaikan oleh celoteh anak-anak yang keluar dari rahimnya dan seorang suami yang setia mendampingi.

Drama itu judulnya Perawan Kasep. Inspirasinya datang dari pengalaman ibu guru TK itu sendiri ketika mengalami aneka kebrutalan penyiksaan. Dilecehkan secara seksual dan diiterogerasi tanpa henti sampai dirinya pingsan. Dia mengalami pendarahan selama 4 bulan tanpa henti. Dia ditahan hanya karena dia mengajar di sebuah TK yang dimiliki oleh Gerwani. Alasan lainnya karena punya kekasih yang jadi aktifis CGMI. Kekasihnya diambil paksa dari kamar kostnya, dinaikkan ke atas truk. Dan nasibnya tak jelas sampai sekarang.

Dalam menghancurkan sebuah gerakan, penghancuran citra terhadap kaum perempuannya adalah hal yang pertama. Apalagi dalam masyarakat yang legalis normatif agama seperti di Indonesia(2). Di Indonesia, apabila suatu hal dikaitkan dengan moralitas dan seksualitas, para moralis dapat bergidik. Nah, saat itulah keberhasilan menarik atensi massa mudah dicapai. Ada 2 alasan kenapa skenario itu berjalan lancar. Adanya kebencian pada Gerwani karena konsistensi gerakan yang dilakukannya. Kampanye anti poligami, anti perkawinan dini, anti perdagangan perempuan dan anti penjualan keperawanan adalah aksi-aksi yang membuat para tuan tanah dan pamong praja tak nyaman karena mereka sering melakukan praktek-praktek itu. Kedua karena kedekatan Gerwani secara organisatoris dengan PKI yang punya stereotip ateis. Jadi ada dua stempel stereotip yang didapat Gerwani: pelacur dan ateis.

Sesudah 50 tahun, banyak para korban dan penyintas yang sudah meninggal. Sisanya tinggal menunggu hari yang tersisa. Maka tak ada alasan lain untuk mengajukan permohonan maaf. Permohonan maaf bersifat anumerta gaungnya tak nyaring. Tapi sebuah langkah politik dari Presiden sudah ditentukan. Dia tak akan meminta maaf pada para korban dan penyintas. Jalan panjang dan berliku masih harus ditempuh bangsa ini untuk melakukan rekonsiliasi atas peristiwa September 1965 itu. Mungkin dibutuhkan 50 tahun lagi.(pour)

(1)    The Army And Politics In Indonesia, Harold Crouch, hal 102.

(2)    Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, Saskia E. Wieringa

Ikuti tulisan menarik pour71 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu