“Oh Really??? sungguh kalian keterlaluan sekali kalau begitu” itulah reaksi yang saya dapatkan saat mengobrol beberapa waktu lampau. Oh ya really nya itu benar-benar ditekankan dengan mimik muka berkerut, bibir sedikit mengerucut dan kepala maju dengan ekspresi wajah yang tidak percaya, wis pokoknya ndak banget, wong kawan saya yang ayu ini jadi aneh mukanya pas ngomong gitu.
Saya ingat saat itu sedang sedikit mengkritik ke-lebay-an orang Australia dalam menanggapi sesuatu hal, kebetulan mbak ayu yang jadi kawan bicara itu juga wong Aussie. Mungkin diantara anda banyak yang sudah paham dengan lebay yang saya maksud, iya ini semua terkait dengan yang namanya melontarkan pujian. Entahlah menurut saya para priyayi Ostrali ini koq gampang banget melontarkan kalimat seperti good, excellent , incredible, fantastic, tremendous, great, wonderful dalam setiap obrolan, entah itu sedang membahas hal penting atau remeh temeh belaka.
Saya yang lahir prucut dan dibesarkan di bumi Nusantara menjadi agak sedikit gimana gitu saat awal-awal kami mengobrol dan mereka dengan borosnya melontarkan kalimat-kalimat pujian dengan kesungguhan hati. Usut punya usut ternyata semua ini adalah salah satu bentuk respect yang mereka junjung tinggi, saya koq malah jadi geli, lha gimana tidak, wong Indonesia yang masyarakatnya terkenal memiliki budaya adiluhung, tepa selira, ramah dan sopan malah jarang memberi penghargaan dengan kawan bicara seperti ini, memuji kadang memang dilakukan, tapi memujinya dengan sarkastis. Bener kan saya hehehe ironis memang.
Budaya memberikan pujian sebagai bentuk penghargaan bagi priyayi Aussie memang sudah dibiasakan sejak mereka masih kanak-kanak. Tatkala para orang tua meminta anak-anak bercerita, mereka akan mendengarkan dengan seksama dan pasti memberi pujian untuk semua hal yang sudah mereka lakukan walaupun sebenarnya tidak hebat-hebat amat “you’re great, that’s excellent, how amazing that” dan lain sebagainya dengan gesture dan mimic yang nyata, tidak ada penjatuhan mental seperti jamak terjadi disini ketika anak-anak bercerita, orang tua malah sibuk dengan gadget nya, dan kalaupun merespon, komennya juga datar saja seperti, “oke, oh gitu, iya lumayan bagus” tapi tidak disertai dengan kesungguhan memberikan pujian karena mereka menganggap hal itu wajar-wajar saja.
Terus terang saya tidak begitu mengerti dengan psikologi anak, namun mungkin hal ini lah yang menjadi salah satu factor yang memupuk rasa percaya diri orang luar negeri. Semua tentu memiliki kenangan kanak-kanak dimana ketika sebuah pertanyaan terlontar dari bapak ibu guru maka seluruh kelas riuh rendah menjawabnya, namun ketika bapak ibu guru mengulanginya dengan menyuruh unjuk tangan bagi yang bisa menjawab, acapkali semua murid menunduk tak ada yang berani menatap seakan pertanyaan ulangan itu adalah bisikan hantu dari negeri tak bertuan.
Para kanak-kanak ini takut salah dan menuai kalimat negative jika hal ini terjadi, dan tanpa disadari sifat clingus ini dibawa sampai usia dewasa, sehingga mengemukakan pendapat di depan khalayak menjadi momok menakutkan yang tidak gampang hilang dengan ajian panglimunan.
Tapi mungkin pendidikan di era sekarang sudah banyak berubah, para pengajar, orang tua, kawan sepermainan sudah tidak lagi pelit pujian sehingga rasa percaya diri mulai tumbuh dan keberanian untuk berbicara dan tidak takut disalahkan jika berbeda pendapat. Semua memang butuh waktu, tapi tak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini, tentunya kita tidak ingin kan gara-gara di masa kecil jarang mendapat pujian, pas sudah dewasa malah jadi haus akan pujian seperti yang sering kita temui pada….ah sudahlah :p
Ikuti tulisan menarik indri permatasari lainnya di sini.