x

Iklan

Amri Mahbub

Jurnalis | Filolog | Penyunting Cerita Pendek
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Svetlana Alexievich: Kemenangan Jurnalisme dan Politik Nobel

Svetlana Alexievich adalah orang pertama yang mendapat nobel atas karya jurnalistik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemenangan Svetlana Alexievich dalam Nobel Sastra 2015 menandakan satu hal: semakin diakuinya karya jurnalistik sebagai (genre baru) karya sastra.

Namanya dikenal dari reportase yang ia tulis dengan amat memukau tentang “suara-suara utopia tersembunyi”, korban kerasnya pemerintahan Uni Soviet. Sebut saja, Voices from Chernobyl (1999) tentang korban nuklir di Chernobyl, Ukraina, dan War’s Unwomanly Face (1988), yang dengan amat lugas nan rinci menceritakan kengerian Perang Dunia II dari kacamata perempuan.

Jauh sebelum Svetlana, banyak pengarang peraih nobel yang bukan penulis sastra. Theodor Mommsen, misalnya, yang diganjar atas A History of Rome, tulisan sejarah monumental tentang Roma. Atau Bertrand Russel, atas pemikiran filsafatnya yang menyuarakan cita-cita kemanusiaan yang adi luhung dan kebebasan berpikir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahwa ia adalah seorang jurnalis cemerlang adalah hal yang tak diragukan lagi. Tinta jurnalistik Svetlana tak pernah kering menuliskan citra kemanusiaan yang tak terungkap.

Ia lahir di sekarang Ivano-Frankivsk, pada 31 Mei 1948, dari pasangan ibu Ukraina dan ayah Belarus. Pada 1967, ia mengambil jurusan jurnalistik di Universitas Minsk. Dari situ karya-karyanya, yang memuat kolase penderitaan manusia, mulai mengalir.

“The poetics of tragedy are important for me,” kata Svetlana. Kemanusiaan dan tragedi yang meliputinya, menurut dia, adalah semesta tersembunyi. Melalui teleskop jurnalistik, Svetlana temukan semesta tersembunyi itu dan dibaginya ke khalayak luas.

Dampak yang ia harus tanggung atas pekerjaannya adalah terusir dari Belarus pada 2000, setelah dikucilkan oleh rezim Lukashenko. Meski begitu, tintanya tak pernah habis, sampai akhirnya karya terakhirnya berjudul Vremja second chènd (Second-hand Time) terbit pada 2013.

Pengucilan Svetlana mengingatkan pada Boris Pasternak kala diganjar Nobel Sastra tahun 1958. Boris, yang mengkritik Soviet melalui puisi dan novelnya, ditekan pemerintah negara adidaya itu untuk menolak penghargan tersebut. Dan, mengingatkan saya kepada Anna Politkovkaya—jurnalis yang diduga mati dibunuh KGB, intel Rusia, pada 2005. Anna pun kerap mengkritik Vladimir Putin dan “Rusia-nya”. Benang merah ketiganya: kritik terhadap Rusia.

Ini menimbulkan pertanyaan, “Svetlana dipilih untuk menekan Rusia?” Rusia, seperti yang diberitakan banyak media massa, turut campur dalam perang saudara di Suriah. Koalisi negara Barat dan Arab menengarai negara tersebut menggunakan alasan ISIS untuk menyasar kelompok penentang Bashar al-Assad.

Benedict Anderson pernah menulis, “Kepentingan nobel memang kental dengan unsur politik negara dan ideologi zaman ini-itu”. Pernyataan ini ia lontarkan pada 2013, beberapa bulan pasca-kemenangan Mo Yan dalam Nobel Sastra 2012. Tahun yang sama memang Tiongkok sedang naik daun. Pemerintahnya berinvestasi besar-besaran di banyak negara di seluruh dunia.

Di akhir tulisan berjudul “The Unrewarded: Notes on the Nobel Prize for Literature” itu Ben menyinggung posisi negara-negara Asia Tenggara dalam khazanah kesusasateraan dunia, yang kerap dipandang sebelah mata karena tak punya daya tarik untuk negara aliansi negara Barat. Sampai sini saya sepakat dengan Ben.

Hanya, bukan berarti karya Mo Yan tak mengandung kebenaran. Red Sorghum atau Life and Death are Wearing Me Out memang laik diganjar nobel: gabungan cerita rakyat dan sejarah yang digambarkan secara kontemporer.

Saya memang bukan orang yang mengerti sastra dan (politik) nobel. Tapi setidaknya, bagi saya, Svetlana orang yang beruntung. Komite memilihnya setelah sejak 2009 nama Svetlana banyak dibicarakan di media massa internasional sebagai kandidat kuat penerima nobel, bersandingan dengan Haruki Murakami, Ngugi wa Thiong'o asal Kenya, dan Philip Roth penulis Amerika.

Haruki mengeksplorasi absurditas, Ngugi mengkritik ketidakdilan pemerintah Kenya, dan Roth menceritakan kehidupan orang-orang Yahudi di Amerika. Tapi estetika realisme milik Svetlana-lah yang menang: “I am not a cool chronicler. My heart is always there.”

Tak berlebihan rasanya kalau menyebut Nobel Sastra tahun ini sebagai kemenangan jurnalisme. (sumber foto: independenet.co.uk)

AMRI MAHBUB

Jurnalis

Ikuti tulisan menarik Amri Mahbub lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

18 jam lalu

Terpopuler