x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Suporter Sepakbola, Untuk Apa Bermusuhan?

Pendukung klub sepakbola habis-habisan membela identitas sempitnya, padahal anak-anak muda 1920-an berjuang keras mempersatukan diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kecintaan kepada klub sepakbola sebenarnya wajar-wajar saja, tapi jika kemudian menorehkan dendam kesumat yang tak kunjung sirna, kita patut berpikir jernih: Untuk apa? Sepakbola adalah salah satu cabang olahraga, dan olahraga sejak awal mulanya mengedepankan sportivitas.

Di dalam sportivitas terkandung nilai-nilai jiwa besar dalam menerima kekalahan, tidak sombong ketika menang, bermain secara jujur dan adil. Pendeknya, sportivitas dalam olahraga dimaksudkan untuk menyemaikan nilai-nilai positif bagi manusia—bukan hanya pemain dan wasitnya, tapi juga penonton dan penggemar.

Jadi, persaingan di antara kesebelasan semestinya berlangsung di lapangan hijau saja, tidak terbawa keluar lapangan dan diwarnai dengan aksi kekerasan. Kekalahan maupun kemenangan bukanlah segala-galanya. Yang patut dijunjung tinggi bukanlah kebesaran klub, melainkan sportivitas sepakbola. Jika sebuah pertandingan berlangsung sportif, jujur, adil, maka kemenangan maupun kekalahan bukanlah hal terpenting. Inilah yang membedakan pertandingan olahraga dengan peperangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi kita memang kerap terlena dan malah mabuk oleh kemenangan klub yang kita puja-puja. Kita tidak mau menerima kenyataan apabila klub kita kalah, apa lagi jika pertandingan berlangsung tidak fair—dari kacamata kita yang merasa klubnya dirugikan. Maka kita mengamuk: melempari wasit, menimpuk pemain, menyerang pendukung klub lain, di dalam maupun di luar stadion.

Untuk apa semua itu?

Identitas memang kerap menyesatkan kita, mendorong kita agar membabi-buta dalam mendukung klub. Kesetiaan yang membabi buta terhadap identitas klub telah menciptakan garis pemisah yang tajam: “Ini klub saya”, “Itu klub kamu”. Dan selebihnya, banyak hal bisa terjadi karena garis pemisah yang tajam itu.

Kesetiaan yang sempit ini sungguh mengherankan masih kita jumpai di usia Republik yang sudah mencapai 70 tahun. Ketika anak-anak muda di zaman kolonial bersusah payah mempersatukan diri lewat Sumpah Pemuda, kita yang hidup di zaman serba nyaman sekarang ini malah memperkuat identitas sempit. Anak-anak muda di tahun 1920-an itu menghadapi risiko dipenjara dan disiksa oleh penguasa kolonial, tapi bagi mereka persatuan di antara anak bangsa yang beragam suku, agama, bahasa, adat jauh lebih penting daripada ketakutan bakal dipenjara.

Tapi kini, kita malah sibuk menegakkan identitas sempit: mendukung klub sepakbola dengan membabi buta. Padahal, di dalam masing-masing kelompok pendukung ini boleh jadi banyak fans yang bertalian darah, bersaudara, dan berteman: ada ipar, sepupu, om, keponakan, sahabat waktu kecil, atau teman kuliah. Lebih dari itu, sama-sama orang Indonesia dan sama-sama manusia. Jadi, untuk apa bermusuhan dan memendam dendam? (Padahal, sekedar mengingatkan saja, para pemain klub sepakbola itu pun dengan leluasa berpindah klub asalkan ditawari gaji, fasilitas, maupun prospek ke depan yang lebih baik. Para pemain ini akan pindah klub tanpa beban berlebihan.)

Sungguh mengherankan bahwa nilai-nilai persatuan yang diperjuangnkan oleh anak-anak muda di zaman kolonial itu kini disubordinasikan di bawah identitas klub. Menjelang peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober mendatang, saya mencoba membayangkan respons anak-anak muda dari tahun 1920-an itu ketika menyaksikan sepak terjang para pendukung klub sepakbola. Mereka mungkin geleng-geleng kepala, atau menangis!

(Foto Tempo: akibat kerusuhan antar pendukung klub dalam final Piala Kapolda, Juli 2015, di Semarang) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB