x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bung Hatta, Pak Hoegeng, dan Komisaris

Setelah mundur dari jabatan wakil presiden, Bung Hatta dilamar banyak perusahaan untuk jadi komisaris, tapi Bung Hatta menolak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo dan mantan Walikota Surabaya Tri Rismaharini baru saja terpilih untuk menerima Bung Hatta Anti-Corruption Award. Nama proklamator kemerdekaan Indonesia ini dipilih lantaran identik dengan hidup bersih dari korupsi.

Bung Hatta, bahkan, tidak mau membocorkan informasi mengenai keputusan pemerintah untuk memotong nilai rupiah (sanering) kepada istrinya, Bu Rahmi, sebelum pengumuman resmi. Uang yang ditabung Bu Rahmi untuk membeli mesin jahitpun turun nilainya. “Kalau saya beri tahu lebih dulu, namanya bukan rahasia negara,” begitu kira-kira jawaban Bung Hatta ketika Bu Rahmi protes karena tidak diberi bocoran informasi.

Lain lagi Pak Hoegeng Iman Santoso. Sebagai polisi, meski berpangkat perwira, hidup Pak Hoegeng dan keluarga tergolong pas-pasan. Merry Roselina, isteri Hoegeng, membuka toko bunga untuk mencari penghasilan tambahan. Tokonya lumayan laku dan berkembang. Tapi Merry kaget ketika sehari menjelang Hoegeng dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini setingkat Dirjen) pada 1960, suaminya meminta Merry untuk menutup toko bunganya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merry bertanya-tanya, apa hubungan pelantikan suaminya dengan penutupan toko bunga? “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang ke toko Ibu, kan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” kata Hoegeng menjelaskan. Merry, yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih, mengerti maksud permintaan Hoegeng. Ia rela menutup tokonya yang sudah cukup maju. “Bapak tidak ingin orang-orang beli bunga ke toko kami karena jabatan Bapak,” ujar Merry.

Di saat-saat negeri ini dilanda kekisruhan karena kekuasaan berjalin-berkelindan dengan kepentingan ekonomi dan kemakmuran individual, kita kerap menengok kembali sosok inspiratif seperti Bung Hatta dan Pak Hoegeng walaupun keduanya sudah lama berpulang. Lebih dari bernostalgia bahwa kita pernah punya pemimpin yang sederhana kendati tengah berkuasa, kita memerlukannya kini agar semangat kita tidak patah melihat apa yang terjadi di negeri ini.

Ketika masih menjabat wakil presiden, Bung Hatta juga pernah menolak naik gaji. Ia terpaksa menyetujui kenaikan gajinya setelah diberitahu bahwa jika gajinya tidak naik, gaji para pegawai tidak akan bisa dinaikkan. “Kasihan juga para pegawai,” mungkin itu yang tersirat dalam benak Bung Hatta. Ia tidak pernah meminta kenaikan gaji kendati dalam periode tertentu gajinya dipotong untuk mengangsur pinjaman kepada negara.

Menarik pula bahwa setelah mengundurkan diri jadi jabatan wakil presiden (sebuah tindakan yang langka dilakukan di zaman sekarang), Bung Hatta menolak semua tawaran untuk menjabat sebagai komisaris perusahaan nasional maupun internasional. Sebagai orang yang berpengaruh dan jaringannya sangat luas, tak mengherankan apabila banyak perusahaan berusaha menggaetnya. Tapi, bagi Hatta, menerima tawaran jadi komisaris perusahaan sama dengan masuk ke dalam sangkar. 

Sebagai orang yang kenyang pengalaman dalam berurusan dengan berbagai jenis orang, bahkan sejak masa pergerakan, Bung Hatta niscaya tahu persis apa yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan itu: pengaruh dan perlindungan, sebab ia mantan wakil presiden--bukan kompetensinya sebagai ekonom. “Apa kata rakyat nanti?” ujar Bung Hatta ketika ditanya mengapa ia menampik banyak tawaran jadi komisaris perusahaan. Bung Hatta niscaya peka bahwa jika ada masalah negatif dengan perusahaan, nama dan hati nuraninya dipertaruhkan. 

Maka, hilanglah peluang Bung Hatta untuk memperoleh gaji besar serta fasilitas mewah. Ia kembali kepada habitat lamanya: menulis di berbagai media—kegiatan yang semasa pergerakan aktif dilakukannya. Penghasilan yang ia peroleh dari menulis ditambah uang pensiun digunakan Bung Hatta untuk menghidupi keluarga, membayar tagihan listrik, air, dan membeli buku. Hingga kemudian tersiar kabar bahwa Bung Hatta tak sanggup membayar listrik, air, dan Pajak Bumi dan Bangunan.

Mendengar kabar itu, Gubernur DKI Jakarta waktu itu Ali Sadikin terkejut. Bang Ali lalu melobi DPRD DKI agar Bung Hatta ditetapkan sebagai “warga kota utama” Jakarta sehingga Bung Hatta terbebas dari kewajiban membayar air, listrik, maupun PBB. DPRD setuju, sehingga beban hidup Bung Hatta pun berkurang walaupun sedikit.

Kesederhanaan Bung Hatta itulah yang membuat Pak Hoegeng selalu malu untuk korupsi. Dalam memoarnya, Pak Hoegeng bercerita: “Ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, diberitakan dia hanya memiliki uang tabungan Rp 200. Uang pensiunnya pun tak cukup untuk membayar biaya listrik.”

Kendati ikut sedih mengetahui kehidupan Bung Hatta, kehidupan Pak Hoegeng setelah dicopot dari jabatan Kapolri karena membongkar kasus penyelundupan besar juga tak kalah sederhananya (Ketika Pak Hoegeng memberitahu ihwal pencopotannya kepada ibunya, sang ibu hanya berkomentar: “Selesaikan tugas dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam.”). Pak Hoegeng pensiun dari kepolisian pada usia 49 tahun tanpa memiliki rumah, mobil, maupun barang mewah. Ia menolak jadi duta besar (“Saya polisi, bukan politisi,” ujar Pak Hoegeng). Setahu saya, seperti Bung Hatta, Pak Hoegeng juga tak pernah jadi komisaris perusahaan hingga meninggalnya. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler