x

Seorang ibu membayar getuk yang dibelinya dari Ninih (19) di bawah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) kawasan Kuningan, Jakarta, 11 Agustus 2015. Ninih, sempat menjadi bintang di media sosial dan kesibukannya untuk mengisi acara disejumlah stasiun te

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bisnis Sosial Versus Neoliberalisme

Bisnis sosial kerap difitnah sebagai perwujudan neoliberalisme karena membuat pemerintah tidak hadir di masyarakatnya. Benarkah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Mas, ada yang bilang social enterprise itu neolib.  Gimana pendapat elo?” Begitu pesan Whatsapp yang saya terima di pagi hari beberapa hari yang lalu.  Saya sangat tergoda untuk membalasnya dengan pertanyaan lagi: “Memangnya neolib itu apa?”  Alasannya, ada terlalu banyak orang yang bicara soal neoliberalisme tanpa betul-betul pernah membaca apapun penjelasan yang memadai soal isme yang satu itu.

Tapi saya tidak jadi balik bertanya.  Saya memilih untuk menjawab dengan janji untuk membalasnya ketika sudah tak sibuk.  Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, tampaknya sulit juga menjelaskan soal ini lewat pesan Whatsapp lagi.  Jadilah saya memutuskan untuk menuliskan saja artikel untuk menjawabnya.  Siapa tahu juga ada pihak-pihak lain yang ternyata punya pertanyaan yang sama.

Setelah mengaduk-ngaduk puluhan atau bahkan lebih dari seratus pustaka terkait dengan bisnis sosial, perusahaan sosial, wirausaha sosial dan yang terkait dengannya, saya tiba pada kesimpulan bahwa bisnis sosial itu memiliki lima karakter inti dan dua karakter sekunder.  Karakter inti tersebut adalah didirikan untuk memecahkan masalah tertentu yang dihadapi masyarakat, menggunakan mekanisme pasar untuk memecahkan masalah (-masalah) tersebut, memanfaatkan inovasi sosial, memiliki proses produksi dan produk yang ramah ekonomi-sosial-lingkungan, serta melakukan reinvestasi atas majoritas keuntungan yang diperolehnya.  Karakter sekundernya adalah ‘obsesi’ pada pengukuran manfaat sosial dan finansial, serta akuntabilitas kepada seluruh pemangku kepentingan.  Begitu yang saya percaya hingga sekarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemudian, apa yang dimaksud dengan neoliberalisme?  Terlampau sering saya mendengar pemanfaatan kata ini sebagai ‘tempat sampah’, untuk melabel—atau bahkan memaki—segala hal yang dianggap buruk di ranah ekonomi.  Neoliberalisme adalah kambing hitam segala kekisruhan ekonomi yang kita hadapi.  Dan, sebagai kambing hitam, tak banyak orang yang kemudian mau menelusuri apa makna dan pengertian yang sesungguhnya.  Saya sendiri sangat setuju dengan pernyataan Peter Evans dan William Sewell dalam tulisan mereka The Neoliberal Era: Ideology, Policy, and Social Effects—termuat dalam kitab Social Resilience in the Neo-Liberal Era, yang disunting oleh Peter Hall dan Michele Lamont, Cambridge University Press, 2013—bahwa “Neoliberalism has a wide range of meanings in current discourse and a strong left-leaning political inflection. It is used far more by those who criticize the current economic order than by those who favor it. Indeed, neoliberalism all too often serves more as an epithet than as an analytically productive concept.

Tentu Evans dan Sewell tak berhenti di situ.  Mereka kemudian melanjutkan: “We make no pretense to laying down some neutral and “scientific” definition of a concept that is essentially contested and will certainly remain so. But we consider it useful to distinguish four facets of the neoliberal phenomenon: neoliberalism as economic theory, neoliberalism as political ideology, neoliberalism as policy paradigm and neoliberalism as social imaginary.” Dengan begitu, kita kemudian bisa membedakan wacana soal neoliberalisme sebagai teori ekonomi, ideologi politik, paradigma kebijakan, serta gambaran sosial. 

Keempatnya punya penjelasan yang berbeda.  Sebagai teori ekonomi, neoliberalisme menekankan pada kecanggihan teknis untuk mendapatkan manfaat finansial yang maksimal dari pertukaran barang dan jasa di pasar.  Neoliberalisme sebagai ideologi politik berangkat dari keyakinan bahwa pasar adalah mekanisme terbaik untuk mengalokasikan barang dan jasa, yang berkonsekuensi pada anjuran untuk meminimumkan pengaturan oleh pemerintah, penurunan belanja pemerintah untuk masyarakat, penurunan pajak, serta pelemahan serikat pekerja.  Dalam ideologi politik ini, segala penyelenggaraan pelayanan yang tadinya dilakukan oleh pemerintah bagi masyarakat—termasuk sekolah, rumah sakit dan penjara!—kemudian diswastakan.

Sebagai paradigma kebijakan, neoliberalisme mewujud dalam segala kebijakan yang secara umum ditujukan untuk meningkatkan peran pasar dalam semakin kehidupan masyarakat.  Kebijakan-kebijakan seperti privatisasi, pengurangan kontrol terhadap pergerakan modal, perjanjian pasar-bebas multilateral, deregulasi pasar kredit dan tenaga kerja, serta regim intellectual property adalah hasil dari neoliberalisme sebagai paradigma kebijakan.  Tetapi, yang paling terkenal dari neoliberalisasi adalah Washington Consensus di akhir 1980an hingga awal 1990an.  Perwujudan neoliberalisme dalam gambaran sosial terkait dengan kewirausahaan, kemandirian ekonomi, kebebasan dan individualisme.  Termasuk di dalamnya adalah glorifikasi atas kekayaan individu, dan cara pandang bahwa berbagai masalah sosial itu bisa dipecahkan sendiri oleh masyarakat.  Sementara, pemerintah dipandang sebagai sumber inefisiensi, korupsi dan inkompetensi. 

Nah, setelah bisnis sosial dan neoliberalisme dijelaskan, apakah kita bisa menyimpulkan tentang hubungan di antara keduanya? Bisnis sosial jelas telah banyak ‘mengambil alih’ tugas-tugas pemerintah.  Banyak bisnis sosial yang didirikan di sekitar isu pertanian yang membantu petani memecahkan masalah harga jual produk mereka yang rendah, dengan menggunakan pendekatan perdagangan yang adil.  Itu karena Pemerintah (Indonesia) tampaknya kerap tidak hadir mengurusi masalah yang sudah mendera petani selama beberapa dekade. Banyak bisnis sosial yang membantu menyediakan akses modal kepada para pengusaha mikro dan kecil, seperti yang banyak diilhami oleh Muhammad Yunus.  Lagi-lagi, ini karena Pemerintah tampaknya kerepotan untuk menyediakan akses modal kepada para pengusaha itu.  Tetapi, apakah itu cukup untuk menyatakan bahwa bisnis sosial itu neolib?

Pemecahan masalah yang dilakukan oleh masyarakat—dalam hal ini para wirausahawan sosial—bisa saja dianggap sebagai upaya menggusur Pemerintah dari kehidupan masyarakat, sebagaimana yang selama ini banyak dituduhkan oleh pengamat yang melancarkan kritik atas ide bisnis sosial.  Tetapi benarkah ada ide tersebut di benak para wirausahawan sosial?  Mungkin saja ada.  Tetapi, yang selama ini saya saksikan, kehendak untuk membangun bisnis sosial pertama-tama muncul karena belas kasihan kepada masyarakat yang tak mendapatkan pelayanan memadai dari Pemerintah (dan perusahaan komersial).  Lalu, agar masyarakat itu bisa segera terbantu, maka didirikanlah bisnis sosial yang banyak di antara pemiliknya sama sekali tak memikirkan keuntungan finansial untuk dirinya sendiri.  Banyak di antara mereka yang ketika saya wawancarai malahan menyatakan apa yang mereka lakukan adalah sekadar membantu pemerintah yang “mungkin belum punya kesempatan.”

Apa yang kemudian mereka lakukan juga membuktikan tak adanya motivasi menggusur atau menggantikan Pemerintah.  Ada banyak wirausahawan sosial yang dengan sukacita berbagi pengetahuan dan keterampilan kepada siapapun yang ingin mengetahui apa yang mereka lakukan, termasuk kepada aparat Pemerintah.  Mereka berharap keberhasilan pendekatannya itu bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. Bukan replikasi oleh diri sendiri untuk meningkatkan kekayaan, melainkan replikasi sedemikian hingga makin banyak orang yang tertolong.  Para wirausahawan sosial tidak mengenal apa yang namanya ‘rahasia dagang’ yang menjadi logika para pengusaha komersial yang berlogika neolib.  Para wirausahawan sosial juga menginginkan para penerima manfaatnya menjadi mandiri, namun bukan dalam pengertian ‘tak membutuhkan Pemerintah’ melainkan ‘bisa menolong diri sendiri dan orang lain’. Jadi, gambaran kemandirian sosial seperti dalam neoliberalisme mungkin saja muncul di permukaan, tetapi substansinya sungguh sangat berbeda.     

Apakah glorifikasi kekayaan pribadi bisa dideteksi di antara para wirausahawan sosial?  Berbeda dari kebanyakan pengusaha komersial, para wirausahawan sosial cenderung tampil sederhana.  Setidaknya mereka tampil jauh di bawah gaya hidup yang biasa ditunjukkan oleh orang-orang yang punya kekayaan yang setara dengan mereka.  Para wirausahawan sosial paling sukses sekalipun, dengan kekayaan berlimpah, kerap tampil seperti orang kebanyakan.  Dan, banyak di antara mereka yang sudah memeluk ideologi economics of enough, sehingga tanpa ragu-ragu mengembalikan sebagian besar keuntungan yang diperoleh perusahaannya untuk direinvestasikan lagi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.  Alih-alih glorifikasi kekayaan, para wirausahawan sosial malah cenderung pada anggapan bahwa kekayaan yang sesungguhnya adalah manfaat terbesar yang bisa mereka hasilkan untuk masyarakat.    

Selain bahwa para wirausahawan sosial itu tak kompatibel dengan neoliberalisme sebagai gambaran sosial, jelas pula bahwa mereka tak menempel pada neoliberalisme sebagai teori ekonomi, ideologi politik maupun paradigma kebijakan.  Para wirausahawan yang saya temui selama ini sangat jelas sikapnya pro terhadap pengaturan terhadap perusahaan yang lebih ketat dan lebih komprehensif dari Pemerintah.  Mereka menganut nilai-nilai progresif yang sangat kerap melampaui apa yang sudah diatur oleh regulasi.  Para wirausahawan sosial bidang sampah, misalnya, jelas-jelas melampaui apa yang tertera sebagai kewajiban perseorangan dan perusahaan dalam UU Sampah.  Itu semua karena para wirausahawan sosial memiliki kecenderungan yang jauh lebih tinggi pada keberlanjutan, sehingga hubungan antara fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan selalu dilihat secara lebih komprehensif.  Tak selalu mereka menguasai teori-teori keberlanjutan yang canggih, tapi setidaknya secara instingtif mereka cenderung pada praktik keberlanjutan hingga tingkatan tertinggi.  

 

Demikianlah pendapat saya soal bisnis sosial yang bukan saja tidak berasal dari logika neoliberalisme, melainkan berbeda bahkan berada pada posisi yang diametrikal terhadap isme tersebut.  Dalam tataran gambaran sosial keduanya berbeda, sementara nilai-nilai keberlanjutan, reinvestasi keuntungan, serta akuntabilitas kepada seluruh pemangku kepentingan yang dianut oleh bisnis sosial pasti menjadikannya diametrikal terhadap neoliberalisme.   

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler