x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pak Jokowi, Jangan Biarkan Momentum Perubahan Lenyap

Dari peristiwa Petral, kebakaran hutan, dan Freeport kita memperoleh momentum perubahan yang luar biasa. Soalnya: bagaimana kita memanfaatkan momentum ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Terkadang, berpikir terlalu lama dapat menghancurkan momentummu.”
--Tom Watson (Atlet, 1949-...)

 

Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah peristiwa penting menjadi sorotan publik dan sangat patut memperoleh aksi lanjutan karena menyangkut nasib bangsa. Sebutlah misalnya pembubaran Petral, kebakaran hutan yang amat merusak alam, dan yang lagi ramai soal Freeport. Sayangnya, begitu satu isu baru muncul, isu terdahulu seakan-akan terbawa angin lalu—apa tindak lanjut dari kebakaran hutan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbagai peristiwa ini bukanlah kejadian biasa, melainkan peristiwa yang ‘disediakan’ oleh alam untuk menyadarkan kita agar mau berubah. Tapi kita berlaku tak ubahnya orang bengong: kaget sebentar untuk kemudian membiarkan peristiwa itu berlalu dan selanjutnya kembali ke rutinitas biasa.

Dalam ketiga contoh peristiwa tadi, kita memperoleh momentum perubahan yang luar biasa. Kita mendapat peluang untuk melakukan perubahan mendasar dalam tata kelola migas maupun sumber energi lain, dalam cara memperlakukan hutan beserta ekosistemnya, hingga bagaimana agar bangsa dapat menikmati hasil tambang di buminya sendiri.

Namun, kenyataannya, begitu kebakaran hutan yang demikian hebat ‘diselesaikan’ oleh alam melalui hujan, kita merasa seakan-akan persoalan sudah selesai. Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi pada peristiwa lainnya. Kita tidak sanggup atau mungkin enggan memanfaatkan momentum untuk mengubah praktik-praktik yang selama ini sudah terbukti mereduksi manfaat bagi bangsa.

Sungguh sayang bahwa beragam peristiwa yang mengagetkan itu belum sanggup membunyikan alarm dari diri kita bahwa krisis telah terjadi. Ini bukan perkara kepentingan bisnis semata, melainkan persoalan keadilan terhadap keserakahan. Ini perkara orang yang sedikit menguasai yang sangat banyak.

Dalam setiap krisis sesungguhnya tercipta momentum besar bagi perubahan; terdapat peluang untuk keluar dari situasi buruk ke situasi yang lebih baik. Sayangnya, sense of crisis yang rendah membatasi kita atau pemimpin kita untuk segera menangkap kehadiran momentum tersebut. Kita melihat peristiwa genting itu tanpa kepekaan bahwa diperlukan perubahan mendasar agar peristiwa serupa tidak berulang atau menjalar. Tindakan yang diambil cenderung bersifat parsial, instan, dan sporadis. Bahkan, sebagian di antaranya dibiarkan berlalu dan orang banyak lupa.

Sebagian pemimpin mungkin memiliki bukan hanya sense of crisis, melainkan sudah melangkah kepada sense of urgency—“Ini dia saat yang tepat untuk bertindak!” Pemimpin seperti ini mampu menangkap kehadiran momentum yang dapat ia gunakan untuk mendorong perubahan yang lebih mendasar. Ia melihat krisis sebagai bukti bahwa cara-cara lama tidak bisa lagi digunakan. Harus ada titik balik.

Meminjam hasil studi John Kotter, ahli manajemen perubahan, orang yang memiliki rasa urgensi yang sebenarnya akan berpikir bahwa penanganan masalah yang bersifat genting perlu dilakukan sekarang, bukan dalam waktu dekat dan bukan pula sesuai dengan jadwal (andaikan bila sudah ada perencanaan). Rasa urgensi ini sangat positif dan merupakan kekuatan fokus yang sangat besar untuk menggerakkan perubahan yang bersifat mendasar dan strategis.

Sekedar contoh, ketika banjir menenggelamkan Jakarta, maka itulah saat yang tepat untuk memutuskan langkah-langkah strategis pembenahan yang melibatkan banyak pihak. Penataan wilayah Jabar, Banten, dan Jakarta mesti melibatkan jenjang pemerintahan yang lebih tinggi. Tapi banyak pihak malah berdiam diri atau gengsi untuk bekerja sama.

Banjir besar yang berulang tidak menggerakkan para pemimpin untuk mengambil tindakan perubahan yang mendasar. Gubernur Jakarta masih dianggap sebagai satu-satunya orang yang bertanggungjawab untuk mengatasi persoalan yang lebih besar dari lingkup tugasnya. Bisakah persoalan banjir diisolasi dari persoalan di wilayah sekitar Jakarta dan persoalan nasional?

Menyedihkan bahwa momentum-momentum perubahan semacam itu sering kali lewat. Rakyat banyak niscaya tidak berharap pembiaran terhadap momentum perubahan itu terjadi lagi terkait kasus-kasus Petral, kebakaran hutan, maupun Freeport. Inilah momentum yang tepat bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meletakkan fondasi baru dalam pengelolaan sumberdaya alam (migas, mineral, hutan, laut, dan sebagainya). Inilah kesempatan bersejarah yang tidak mudah berulang untuk mengembalikan kemakmuran dari segelintir orang kepada rakyat banyak.

Kegagalan para pemimpin dalam menggerakkan perubahan mendasar lazimnya disebabkan oleh ketidaksigapan dalam menangkap momentum yang tercipta oleh peristiwa-peristiwa. Atau, bisa jadi, mereka juga tidak menghendaki perubahan. (sumber ilustrasi: timemanajemenninja.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler