x

Iklan

Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja - FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kritik dan Saran untuk Perusahaan 'X'

semoga kritik dan saran ini bermanfaat bagi masyarakat, terutama karyawan Perusahaan 'X'

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bangko, 5 Februari 2016

Perihal: Kritik dan Saran

 

Yth. Bapak Direktur Utama Perusahaan X

 

Dengan Hormat,

 

Kepada Bapak yang luar biasa semangat dan suksesnya, semoga kritik dan saran ini bermanfaat bagi masyarakat, terutama karyawan Perusahaan yang Bapak pimpin. Berikut kritik dan saran saya berdasarkan kajian saya terhadap Peraturan yang berlaku:

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seharusnya Perusahaan X memberikan rangkapan (salinan) surat perjanjian kerja kepada karyawan Perusahaan X, karena pasal 54 ayat 3, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan hal ini di mana kedua surat perjanjian memiliki kekuatan hukum yang sama.

 

Seharusnya Perusahaan X memperbaharui perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya PKWT yang lama, perjanjian kerja ini hanya boleh dilakukan 1 kali dan paling lama 2 tahun. Sebagaimana tercantum dalam pasal 59 ayat 6 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Pembaharuan atau perpanjangan perjanjian kerja wajib memuat tanda tangan para pihak sesuai pasal 21 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, dan yang lebih utama sesuai pasal 1320 KUHP (Kitab Undang Hukum Perdata).

 

Perusahaan X diharapkan tidak ‘menunda’ (lebih dari 30 hari) karyawan yang ingin resign  sebab sesuai pasal 61 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, perjanjian kerja berakhir jika jangka waktu telah habis.

 

Selain itu dalam pasal 1947 Kitab Undang Hukum Perdata, disimpulkan bahwa diperbolehkan seseorang melepaskan suatu daluwarsa (masa kerja habis) yang diperolehnya.

 

Perusahaan X diharapkan tidak menjadikan tata tertib karyawan sebagai perjanjian kerja, karena pasal 1865 KUH Perdata mewajibkan Perusahaan X membuktikannya. Bukti tertulis itu salah satunya adalah tanda tangan kedua pihak. Adapun (bea) materai dalam tata tertib karyawan tidak membuktikan perjanjian. Bea materai dikenakan pada surat tertentu untuk membuktikan perbuatan yang bersifat perdata (sesuai UU No 13 tahun 1985 tentang Bea Materai).

 

Perjanjian tertulis menjadi sah, salah satunya jika memenuhi syarat subjektif, yaitu jika kedua pihak bersepakat (dengan bukti tanda tangan kedua pihak). Sekali lagi, dalam pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian menjadi sah jika kedua pihak bersepakat mengikatkan dirinya. Maka, pasal 54 ayat 1 butir i, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, mewajibkan Perusahaan X atau yang mewakili untuk ikut menandatangani perjanjian kerja.

Berdasarkan pasal 50 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanian kerja antara pengusaha dan pekerja, bukan karena tata tertib karyawan. Oleh karenanya perjanjian kerja yang memuat masa kerja (jangka waktu) tidak boleh diselipkan ke dalam tata tertib karyawan.

Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha sehingga jika seorang karyawan dapat resign maka karyawan lain pun dapat resign setelah masa kerjanya habis sebagaimana tercantum dalam pasal 6, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan

Oleh karena itu sejak awal, agar kontroversi tentang perjanjian kerja dan tata tertib karyawan ini tidak terjadi lagi, Perusahaan X harus memberikan peraturan perusahaannya kepada karyawan setelah peraturan tersebut disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai pasal 108 ayat 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi  RI (2004) tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

Peraturan perusahaan tersebut memuat hak dan kewajiban pengusaha dan karyawan, syarat kerja, tata tertib perusahaan, dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. Ini tercantum dalam pasal 111 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi  RI (2004) tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

Kritikan ini sangat penting karena pasal 134 UU Nomor 13 tahun 2003 membunyikan “Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, telah ada konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO-International Labour Organization) tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. Konvensi tersebut disahkan pada 19 Juli 1947 di Jenewa dan kemudian disahkan di Indonesia melalui UU Nomor 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No 81 pada 25 Juli 2003. Bahwa sistem pengawasan ketenagakerjaan diterapkan berdasarkan perundang-undangan untuk menjamin penegakan hukum. Dalam aturannya dipahami bahwa tempat kerja harus diawasi sesering dan selengkap mungkin untuk menjamin pelaksanaan ketentuan hukum yang efektif.

Menurut UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli  dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pasal 24, maka Perusahaan X dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membatasi pasar. Menurut UU No 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, perdagangan dan industri bertujuan meningkatkan kemakmuran dan pemerataan, (2) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (3) mendorong teknologi tepat guna, dan (4) perluasan kesempatan kerja. Maka Perusahaan X seharusnya memperbolehkan karyawannya untuk resign setelah masa kerja telah habis dan setelah mengajukan surat pengunduran diri pada H-30 (sesuai pasal 163 ayat 3 butir a, UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Tiga hal penting bagi masyarakat, khususnya bagi karyawan Perusahaan X, saya kira adalah sebagai berikut:

 

(1) Perusahaan X sebaiknya memberikan peraturan perusahaannya kepada karyawan setelah peraturan tersebut disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai pasal 108 ayat 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi  RI.

 

(2) Perusahaan tidak boleh memperkerjakan karyawan pada hari libur resmi, ini tercantum dalam pasal 85 ayat 1 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan. Kemudian sesuai pasal 187, jika melanggar pasal ini pidananya kurungan 1-12 bulan atau denda 10 juta - 100 juta rupiah. Oleh karena itu Perusahaan X dalam hal ini, tidak boleh mengurangi (menghapus) hak cuti pada hari libur Idul Adha.

 

(3) Perusahaan X disarankan, mengakomodasi jaminan sosial bagi karyawannya sesuai pasal 2 ayat 3, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaran Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

 

Akhir kata, saya mohon maaf atas semua kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Salam sukses untuk Perusahaan yang Bapak pimpin.

 

Hormat saya,

Mahendra, S.Pd

Ikuti tulisan menarik Mahendra Ibn Muhammad Adam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu