x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jenius Pun Berlatih Keras

Orang-orang yang disebut jenius pun berlatih keras untuk meraih keberhasilan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Jenius itu satu persen inspirasi dan 99 persen keringat.”

--Thomas Alva Edison (1847-1931)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diskusi tentang apakah kejeniusan itu dilahirkan atau diciptakan sudah lama berlangsung. Kecerdasan dan kejeniusan tak ubahnya misteri yang berusaha dibongkar rahasianya. Sampai-sampai otak Albert Einstein pun dikeluarkan dari tempurungnya, diiris-iris, diteliti, dan disimpan sampai kini. Apakah jawaban sudah ditemukan?

Sebagian ilmuwan penasaran apa sebenarnya yang membedakan otak Einstein dari otak orang lain sehingga ia menjadi fisikawan cemerlang yang mampu melahirkan teori relativitas. Benarkah ukuran otaknya lebih besar dari normal dan mengapa IQ-nya tinggi. Lebih dari itu, adakah rahasia lain? Apakah mereka yang punya IQ tinggi akan selalu sukses?

Berbagai percobaan sudah dilakukan untuk menguji orang-orang cerdas. Grand Master Garry Kasparov, mantan juara dunia catur, pernah diadu-tanding melawan komputer IBM Deep Blue. Setelah sempat mengalahkan mesin buatan manusia itu, Kasparov kemudian kalah dalam pertandingan ulangan. Ada pula ilmuwan yang mengujikan kepada anak-anaknya cikal bakal teori bahwa jenius bisa dicetak dan diciptakan.

Sebagian ahli percaya bahwa IQ bukanlah penentu kecerdasan dan keberhasilan. Gen bukan harga mati dan pada dasarnya tidak ada orang yang dilahirkan dalam keadaan bodoh. Otak terbukti memiliki kemampuan beradaptasi dan berubah. Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa otak yang sering digunakan akan membuat seseorang jadi cerdas. Ibarat pisau, makin diasah semakin tajam.

Kita yang hidup di masa kini mengenal Isaac Newton sebagai sosok jenius, sementara teman-temannya lebih mengenal Newton sebagai sosok yang luar biasa gigih. Teman-temannya kerap khawatir kesehatan Newton merosot karena belajar keras. Einstein menghabiskan belasan tahun mempelajari matematika dan fisika sebelum memasuki perguruan tinggi. Dua nama yang mengukir sejarah ini dikenal jenius, tapi mereka bukanlah orang yang ongkang-ongkang kaki dan kemudian tiba-tiba menemukan teori gravitasi.

Amadeus Mozart, sensasi abad ke-18, dikenal sebagai anak ajaib yang mampu memainkan karya klasik di usia enam tahun. Tak heran bila Mozart dijadikan contoh oleh para pendukung teori bakat turunan sebagai contoh. Namun, Michael Howe, dalam karyanya Jenius Explained, menyebutkan bahwa Mozart telah berlatih 3.500 jam sebelum usia enam tahun. Siapa bilang anak ajaib ini berleha-leha dan kemudian begitu saja mampu bermain musik dan menciptakan komposisi yang mengundang decak kagum?

Orang-orang yang dianggap jenius ‘dari sononya’ sebenarnya adalah para pembelajar yang tak kenal letih. Fisikawan Richard Feynman sewaktu kecil tidak terpilih untuk disertakan dalam eksperimen mencetak anak-anak jenius karena IQ-nya waktu itu dianggap tidak superior. Namun belajar kerasnya selama bertahun-tahun kemudian membuktikan bahwa Feynman layak memperoleh Hadiah Nobel bidang fisika.

Karya-karya hebat, pendeknya, lahir dari kerja keras. J.R. Hayes menunjukkan bahwa 10 tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk para pengarang agar menjadi ahli di bidangnya. ‘Aturan 10 tahun’ ini juga berlaku di bidang lain, seperti matematika, tenis, renang, dll.

Malcolm Gladwell, dalam Outliers, menyebutkan ‘kaidah 10.000 jam’. Gladwell mencontohkan bahwa saat Beatles meraih popularitasnya untuk pertama kali, John Lennon dkk. sudah naik panggung sebanyak 1.200 kali, sebagian besar di kelab malam di Hamburg, Jerman. Setiap malam sepanjang pekan, Beatles yang belum mashur menngasah ketrampilan bermain musik dan bernyanyi di hadapan pengunjung kelab malam di kota pelabuhan itu.

Pertanyaannya: kerja keras seperti apa? Psikolog Anders Ericsson, penulis buku The Road to Excellence, menyebut apa yang diistilahkan sebagai deliberate practice atau ‘latihan khusus yang membutuhkan konsentrasi dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan terus-menerus’. Jadi, jika Anda ingin jago bermain biola, mengikuti kursus yang hanya seminggu sekali tidak pernah cukup. Anda harus meluangkan waktu sekian jam setiap hari kali tujuh hari setiap minggu untuk berlatih sendiri dengan konsentrasi penuh.

Di samping dimensi fisik, yakni berlatih terus dengan konsentrasi penuh, diperlukan dimensi lain untuk mencapai kesukesan tinggi. Ini terkait dengan bagaimana kita mengorganisasi pengetahuan di dalam otak, yang tergolong dimensi mental. Manusia yang dikenal cerdas diketahui memiliki kemampuan dalam menata pengetahuannya. Mereka mengenali pola-pola di dalam informasi yang mereka serap dan menatanya, atau diistilahkan sebagai chunking. Mereka berlatih menghubungkan yang kelihatannya tidak terhubung (connecting the unseen)

Sebelum memecahkan suatu masalah, seorang fisikawan akan berpikir tentang prinsip apa yang dapat digunakan dan mengapa prinsip tersebut dapat dipakai. Mereka tidak akan terburu-buru memasukkan angka-angka ke dalam rumus-rumus. Berpikir, bekerja, dan berlatih dengan gigih untuk menambah ‘jam terbang’ hanya dimungkinkan bila seseorang memiliki dimensi emosional yang kuat, yakni motivasi yang terfokus. Berapa banyak di antara kita yang mampu terus-menerus menjaga nyala api dalam diri kita? Boleh jadi, Anda termasuk di antaranya sebab Anda ingin meraih keberhasilan. (sumber ilustrasi: wired.co.uk) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB