x

Iklan

Choiril Anwar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Segmen Politik Ridwan Kamil

Harus dikatakan, sosok Ridwan Kamil tak lepas dari kompetensinya sebagai arsitek. Dalam konteks ini, peranan terbesar dia adalah mengurus fisik, bukan mengurus manusia secara langsung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hitungan bursa calon pemimpin Pilkada tak lepas dari segmen. Seperti dagangan, semuanya bisa terjual dengan segmen-segmen yang berbeda. Walikota Bandung Ridwan Kamil punya pangsa pasar.

Memang untuk pencalonan dirinya di DKI Jakarta masih abu-abu karena belum mendapatkan hasil survei yang jelas kecuali sekadar popularitasnya di media massa. Tetapi harus diakui dalam urusan popularitas Ridwan Kamil tetap ciamik di mata orang Jakarta. Sementara Basuki Tjahja Purnama sudah punya market jelas yakni kaum kelas menengah urban yang relatif sadar politik. Demikian juga dengan Yusril Ihsa Mahendra yang punya segmen yang jelas tetapi bisa dibilang kecil, yakni kelompok agama konservatif.

Gimmick dan Akomodatif Budaya Pop

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena segmen market politik Ridwan Kamil masih abu-abu, akan lebih baik Ridwan Kamil mulai memperjelas segmentasinya. Harus dikatakan, sosok Ridwan Kamil tak lepas dari kompetensinya sebagai arsitek. Dalam konteks ini, peranan terbesar dia adalah mengurus fisik, bukan mengurus manusia secara langsung.  Pada urusan fisik/infrastruktur pun sejauh ini belum ada yang berhasil mencapai ke arah fundamental. Jalan-jalan tetap sempit, gorong-gorong hanya kawasan dekat kantor Walikota yang diperbaiki. Pasar-pasar tetap bertampang lusuh, angkot tetap semrawut, jembatan layak tak bertambah, dan banjir merajalela,--untungnya wartawan sering kurang peka meliputnya karena mungkin saat ini para wartawan sibuk meliput di mana walikota berada, bukan bagaimana nasib rakyatnya. Bahkan menurut  seniman Herry Dim, Ridwan Kamil ini tidak memiliki arah pembangunan karena cara pandangnya sangat kolonial dengan mengabaikan daerah-daerah pinggiran dan fokus urusan tengah perkotaan.

Ridwan Kamil, seperti kata Budayawan Tisna Sanjaya, lebih gemar memainkan Gimmick, gebyar mempesona pada awalnya, dan biasa saja pada praktiknya. Kompetensi dalam kepemimpinanya terkubur oleh kompetensi teknokratisnya sehingga wajar kalau orang menilai kebanyakan karya yang dihasilkan Ridwan Kamil bukan soal kemampuannya memajukan manusia-manusia dalam birokrasi atau memajukan manusia warganya, melainkan lebih pada usaha-usaha yang sifatnya fisik.  Wajar pula jika sosok dirinya lebih dominan dalam urusan media massa karena hampir semua berita yang masuk ke media massa perihal program-program pembaharuan tatakota Bandung. Bahkan  ada yang bilang, Ridwan Kamil itu jenis Walikota Dekoratif karena spesialisasi keahliannya mendekorasi tata-rias kota.

Tipikal Ridwan Kamil dalam urusan perkotaan memiliki spirit pembaharuan, tetapi sekali lagi hanya sebatas gimmick yang gemar  mengakomodasi budaya pop yang sarat dengan konsumerisme. Semua hal oleh dirinya selalu ingin diperbaharui. Launching program-program baru selalu ada di Kota Bandung. Soal program yang gagal dalam perjalanan itu sudah biasa terjadi tetapi tidak menarik para jurnalis karena hampir semua jurnalis terpukau untuk memberikan rencana, rencana dan rencana. Sampai-sampai media seperti Kompas, Detik.com, Metronews.com, liputan6.com dan Viva.co seakan-akan jadi juru bicara dalam urusan branding Launchingisme Ridwan Kamil karena berita tentang Ridwan Kamil begitu over. Wajarlah kalau kemudian orang luar kota Bandung banyak yang berdecak-kagum dengan Ridwan Kamil, tetapi alhamdulillah, belakangan mulai sadar kenyataan: “antara kebaikan yang diberitakan tidak berbanding lurus dengan realitas yang ada di Kota Bandung.” Moga-moga para pengelola media dan juga wartawan makin bijaksana dan mengerti bahwa membuat berita-berita instan tanpa pendalaman itu kurang sehat bagi pembaca. Salahsatu langkah bijaksana itu kalau minimal mewancarai narasumber yang independen, syukur-syukur berkenan investigasi sehingga media yang dikelolanya tidak menjadi ajang promo.

Perlu dipertegas, launchingisme itu artinya sukses pada pembukaan tanpa pernah dilihat kesuksesan dalam praktik lapangan dalam jangka panjang. Dalam politik pasar modern, itu sangat menarik.  Ibaratnya sebuah perusahaan, Kalau Ahok itu cenderung mengambil konten-konten fundamental-development dengan inovasi produk jangka panjang, Ridwan Kamil ini cenderung setter-development yang sifatnya instan dan cepat lapuk. Tradisi Gimmick ini selalu hebat di awal dan sifatnya permukaan, atau berprinsip yang penting di masa awal sukses. Karena itulah launchingisme ala Ridwan Kamil itu bisa ditiru oleh kandidat kepala daerah lain yang ingin menaklukkan massa yang dalam era neoliberal ini benar-benar sudah menjadi konsumen.

Mempertegas Konsumen

Di DKI Jakarta nanti Ridwan Kamil akan menghadapi kandidat kuat, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang juga punya spirit pembaharuan. Bahkan Yusril pun pasti akan membawa diri untuk memperbaharui. Mengingat semuanya memiliki semangat pembaharuan, maka branding pembaharuan pasti tidak memiliki nilai lebih karena semua “pedagang” punya spirit itu. Di sini, Ridwan Kamil perlu membuat brand baru untuk meraih segmen yang lebih kuat.

Nilai lebih Ridwan Kamil selama ini hobinya masuk ke setiap golongan. Itu baik. Tetapi sekali lagi, dagangan tetap punya keterbatasan segmen. Tidak bisa dipaksakan dua segmen yang kelewat berseteru untuk bersatu dalam satu dukungan. Sebab pada realitas empiriknya urusan Vote adalah urusan hitam putih, pilih A atau B, tak bisa A dan B.

Pengalaman di Bandung, jika Ridwan Kamil berjejaring sosial dengan kelompok/orang yang berpikir inklusif dan progresif agaknya terlalu repot. Kenapa? Karena orang-orang ini selalu kritis dan cenderung tidak praktis untuk mitra kerja seorang berpikir eksklusif dan teknokratis. Banyak kelompok orang-orang di luar Ridwan Kamil yang dulu mendukung secara kritis yang “cerewet” sehingga lebih merepotkan ketimbang membantu.

Tak jarang Ridwan Kamil ngambek dan anak buahnya menyerang balik para kritikus itu, padahal rata-rata niat kritikus itu sekadar memberi masukan atau mengevaluasi. Kelewat sensitif akibatnya repot sendiri. Untung selalu istrinya setia membantu membentengi serangan dari kelompok lain. Oleh sebagian orang dianggap norak. Tapi dalam situasi kepepet, memang tidak terlalu perlu memperdulikan kenorakan sikap karena urusan dagang perlu survival sehingga gelapmata perlu dilakukan supaya dagangannya tak gulung tikar.

Fundamentalisme agama

Orang-orang dalam lingkaran Ridwan Kamil sudah teruji dengan loyalitas, menjadi marketer yang fanatis dan punya kemampuan menebarkan virus-virus positif melalui duplikasi dan replikasi. Jangan katakan fanatisme itu selalu jelek karena dalam perdagangan hal itu berarti positif. Dalam politik kebeningan akalbudi memang tidak terlalu penting kecuali siap kehilangan kursi. Maka kemampuan mendoktrin, bahkan kemampuan untuk memilitansikan pendukung fanatik itu diperlukan. Dan itu sudah cukup dimiliki Ridwan Kamil dengan ungkapan “apapun kenyataannya, Ridwan Kamil tetap terbaik dan karena itu untuk menjawab para kritikus cukup jawab dengan ungkapan simple: “kalian hanya bisa mengkritik, kami punya solusi.”

Corak paradigma ini sangat simplistis, khas kaum fundamentalisme yang tidak mau melihat dari berbagai sudut pandang. Bahkan ketika Ridwan Kamil mendapatkan suara-suara berbeda yang bersumber dari media konvensional, Ridwan Kamil lebih memilih jalan simple dengan lebih percaya pada media sosial yang dikelolanya sendiri.

Di luat kelompok inklusif dan progresif  itu, Ridwan Kamil tidak perlu merasa terancam pengaruhnya. Karena selain punya penggemar anak-anak muda polos imut-imut, lugu-lugu (tolong jangan sebut bodoh) yang tidak paham substansi kebijakan publik, apalagi urusan budaya,  Ridwan Kamil dengan itu sebenarnya telah memiliki pangsa pasar yang bisa dibangun untuk dukungan politik, yakni kelompok a-politis perkotaan konservatif dari golongan Islam radikal. Ini sangat mungkin dilakukan ketimbang merawat kelompok etnik yang tidak bisa menjadi motor menggarap isu politik dalam situasi modern di dalam konteks masyarakat urban perkotaan. Sementara pada sisi lain, Ridwan Kamil juga bisa memainkan segmen Islam-fundamentalisme sangat agresif dan gemar bermain di level permukaan. Di DKI Jakarta kelompok Islam-fundamentalis itu lumayan punya daya tawar, apalagi jika Rivalnya Ahok. Ridwan Kamil akan mudah mendapatkan dukungan dari kelompok ini.

Dalam kondisi fundamentalisme-Islam yang sedang menguat, Ridwan Kamil bisa menjadikan segmen khusus, apalagi fundamentalisme Islam itu kegemarannya memang politik praktis, pragmatis, dan arahnya adalah merebut anggaran. Kelompok ini dalam urusan pemerintahan memang tidak ambil pusing terkait dengan urusan-urusan pembangunan, bahkan bisa mengabaikan urusan kemiskinan rakyat kecil, nasib pedagang kaki lima, dan lain sebagainya. Mereka agamis, tapi simbolis/formalis dan lebih memilih target finansial untuk alasan dakwahnya. Dalam politik, kelompok “jenggot” ini memang tidak religius-substansial dan gemar impiannya tidak lebih formalisme fikih yang sering diungkapkan dengan klaim perjuangan syariat. Ridwan Kamil bisa mendapatkan segmen fundamentalis Islam ini karena sejauh ini platform politiknya model “Kanan-Kiri Oke-“nya Dono-Kasino-Indro.  

Gagap Budaya

Biasanya kelompok fundamentalisme itu anti budaya, dan karena kebetulan Ridwan Kamil “tidak memperhatikan” masalah kebudayaan secara serius. Budaya yang menjadi perhatian Ridwan Kamil jauh dari urusan etos dan lebih ke arah seni, itupun terbatas pada seni tata kota. Untuk urusan budaya dalam kesenian kesundaan pun Ridwan Kamil tidak serius. Ketidakseriusan itu bisa dibuktikan di satu sisi bahasa Sunda, tetapi pada sisi lain bahasa Inggris bertebaran di kota Bandung. Ini yang menurut Budawayan Ajip Rosidi pemerintahan Kota Bandung kebudayaan Sunda hanya urusan kreatif belaka dan tidak serius urusan kegiatan laboratorium.

Bahkan untuk urusan visual, Ridwan Kamil memang jagoan, banyak program-program Ridwan Kamil bermerek Inggris ketimbang nasional dan lokal/sunda. Kalau menurut Ajip Rosidi, kecenderungan seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah memang tidak memahami tujuan esensial dari bahasa. Bahasa Inggris tentunya untuk orang asing.

Sudahlah dilihat berapa jumlah wisatawan asing di Kota Bandung sehingga harus secara khusus menampilkan program-program berbahasa inggris padahal itu tujuannya untuk orang lokal, seperti Bandung Emerging Creative City, Car Free Day, Bandung Smart City, misalnya? Apakah orang di Bandung ini sudah tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga harus menggunakan bahasa Inggris? Di mana nasionalismenya?

Ada satu hal lain yang bisa menunjukkan bahwa Ridwan Kamil itu memang tipikal orang teknokrat yang gagap urusan wacana sejarah kebudayaan. Ia pernah mengatakan Bandung dengan sebagai Kota Kembang. Kalau sedikit gaul dengan sastrawan atau kritikus sastra hal ini cukup menggelikan karena julukan Bandung Kota Kembang itu sebenarnya ledekan karena secara de facto Bandung tidak ada tanaman kembangnya. Yang dimaksud Kota Kembang itu adalah “kembang malam”. Adapun kota Kembang yang benar-benar kembang tanaman itu merujuk pada Kota Bogor yang secara faktual punya basis historis. Jadi kota kembang di zaman Hindia Belanda itu sebenarnya memang untuk menunjukkan bahwa kota Bandung memang banyak kembang malam, layak jadi wisata malam.

Tapi pertanyaan ini bisa jadi subversif karena kelewat radikal mempersoalkan sikap kritis berbangsa dan berbudaya. Dan tidak sepatutnya kita mengkritik kelewat cerdas hanya karena walikota punya nama belakang yang berarti sempurna (kamilun). Toh, bukan hanya Ridwan Kamil yang gagap paham terhadap kebangsaan dan kebudayaan sehingga orientasi sering salah arah dalam urusan bahasa, budaya, dan nasionalisme. Hampir semua pejabat di Indonesia (kecuali Gus Dur dan Bung Karno) memang demikian adanya sehingga tidak perlu memang menganggap Ridwan Kamil sosok spesial yang paham sejatinya budaya dan bahasa.

Pada diri Ridwan Kamil beserta Pemkot Bandung belum ada  (bukan berarti tidak ada-supaya pendukungnya tidak ngambek) keberhasilan sebagai fasilitator budaya melalui kesenian dan gerakan-gerakan yang sifatnya membangkitkan etos kewargaan. Kalaupun budaya digarap oleh Ridwan Kamil, tak lebih sekadar formalisme simbolis, bukan memperjuangkan nilai-nilai substansialnya. Itulah mengapa kaum fundamentalisme yang puritan dipastikan tidak mempersoalkan Ridwan Kamil. Itu keuntungan politik Ridwan Kamil.

Kelompok agama kolot ini sangat potensial menjadi penyokong Ridwan Kamil. Ridwan Kamil memang tidak mengobarkan gerakan anti Syiah, tetapi berdekatan dengan kelompok penghasut kebencian pada Syiah adalah sesuatu cermin di mana posisi Ridwan Kamil untuk bisa senafas dengan kelompok sektarian ini. Pelarangan perayaan hari valentine (yang kemudian memperbolehkan dengan catatan tidak melanggar aturan) misalnya, menjadi cermin bagaimana sisi politik sektarian Ridwan Kamil itu bisa senafas dengan kelompok Islam-politik. Betul bahwa anti Valentine bukan berarti fundamentalisme, tetapi memperhatikan hal-hal yang sifatnya tak esensial seperti itu menandakan adanya nalar bawah sadar yang mengarah pada usaha simplistis dalam urusan agama dan tidak jelas platform politik kepancasilaan dan kebhinekaannya. Dengan kata lain, politik Ridwan Kamil ini tidak senafas dengan Muhammadiyah dan NU, melainkan lebih klop dengan MUI, PKS, golongan ihwan atau pewaris DI/TII. Itulah wajar kenapa “dini hari” busser dan hatter Islam radikal  sudah mulai berkembang untuk mengarahkan dukungan pada pada Ridwan Kamil.  

Sangat sulit Ridwan Kamil bisa menerima pemikiran-pemikiran cemerlang yang objektif dari tokoh-tokoh cendekiawan yang kritis dan progresif karena orang-orang seperti itu kelewat obyektif sehingga lebih banyak “rewelnya” untuk tipikal Ridwan Kamil yang cenderung teknokratis-pragmatis dalam gerakan politiknya.

Dengan melarang perayaan hari valentine, Ridwan Kamil sudah memahami segmen pasar politik dan akan mendapatkan simpati dari satu kelompok tertentu. Dan segmen itu adalah kelompok Islam radikal yang selama ini gemar formalisasi syariah.

Dalam hitungan politik, sangat bagus kalau Ridwan Kamil nanti benar-benar maju ke DKI menggarap segmen ini secara serius, apalagi di sana ada musuh “sekular” dan bahkan sering dicap oleh kelompok Islam radikal sebagai “Kafir” adalah rivalnya. Ridwan Kamil harus memperkuat segmen keagamaan radikal karena bagaimanapun di Jakarta ada marketnya. Market pasar yang mungkin tidak banyak tapi bisa bergerak militan, punya jiwa amarah untuk menyerang kelompok yang berbeda paham, dan biasanya bisa berhemat anggaran karena mereka bisa dibayar murah.

Kalau benar Ridwan Kamil dekat dengan Athian Ali yang gemar mengkafir-kafirkan pihak lain,  sekarang bisa menjadi keuntungan politik. Di DKI nanti bisa menjalin silaturahmi dengan Front Pembela Islam (FPI). Bahwa kemudian sebagian orang yang objektif dan kritis itu menyayangkan garis politik Ridwan Kamil itu bisa diabaikan karena kepentingan politik memang sering berhadapan dengan nalar sehat; sebagaimana para marketing yang sukses adalah mereka yang mahir memainkan emosi konsumsen, bukan memainkan akal sehat.

Sepanjang pergulatan Riwan Kamil—bisa dibaca dari tiga buku yang diluncurkannya- sangat memperlihatkan kesuksesan dirinya mengusung citra pesona sebagai orang sukses dengan banyak terobosan launchingismenya. Dunia dagang era global yang sarat transaksi untuk tujuan konsumerisme nyata bukanlah urusan rasionalisme, melainkan emosi. Siapa bisa memainkan emosi massa, dialah yang akan menang.[]

Ikuti tulisan menarik Choiril Anwar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler