Student Hidjo: Goresan Perlawanan Intelektual Muda Pribumi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini berisi ulasan tentang sosok Mas Marco Kartodikromo, intelektual pribumi yang berjuang melawan pemerintah kolonial melalui media karya sastra.

Karya sastra merupakan salah satu hasil dari cipta, rasa dan karsa dari buah benih pikiran manusia. Untaian kata-kata terangkai dalam jajaran kalimat membentuk suatu penggambaran akan sebuah estetika, seni dan keindahan imajinasi jiwa manusia. Karya sastra merupakan refleksi sastrawan atas sebuah realita kehidupan manusia. Realita tersebut dapat mewakili motif dan pergumulan perasaan sang penulis, keadaan umum masyarakat, serta menyampaikan keburukan sisi lain suatu peradaban. Sastra bukanlah sebuah entitas yang memiliki kegunaan teknis macam ilmu nujum, ilmu pertukangan dan ilmu terapan lainnya. Namun, sastra dapat memberikan pengaruh perubahan pada keadaan sosial dan sastra memiliki kapasitas tertentu, yakni membentuk homo yang human : manusia yang berjiwa halus dan berbudaya.

Setidaknya, itulah ulasan singkat untuk menghantarkan pikiran kita terhadap maksud dari tulisan ini kepada pembaca. Ungkapan paragraf diatas bukanlah hanya semata kata bualan dan layak mendapat isapan jempol belaka. Paragraf diatas merefleksikan bahwa karya sastra baik yang berupa bentuk naskah maupun karya lain mampu membuat perubahan setidaknya dalam ranah individu untuk berbuat sesuatu dalam menanggapi paparan fenomena yang tertuang dalam sebuah goresan. Melihat uraian karya sastra tidak jarang dijadikan sebagai media atau alat perjuangan kaum tertindas terhadap sebuah kelaliman.

Indonesia yang merasakan pedihnya masa kolonial selama 3,5 abad pada akhirnya memunculkan pergerakan perlawanan dari kalangan pribumi, mulai dari mereka yang menempuh “jalan pedang” hingga “jalan pena”. Mereka yang memilih “Jalan Pena” sebagai media perjuangan dan perlawanan tidaklah banyak, namun mereka dapat membuat gatal hati para kaum penjajah. Pada masa pergerakan, terdapat sederet nama seperti Tan Malaka, Chairil Anwar, bahkan Sang Proklamator kita sendiri Soekarno dan Hatta tak jarang menggunakan mata pena sebagai sarana perlawanan. Salah satu tokoh perjuangan bangsa yang memilih “jalan pena” tersebut adalah Mas Marco Kartodikromo, lewat tulisan yang terangkai apik dalam Student Hidjo. Student Hidjo adalah salah satu karya perlawanan anak bangsa yang berbahaya dan memiliki pengaruh terhadap pergerakan kaum intelektual Indonesia kala itu.

 

Mengenal Sosok Mas Marco Kartodikromo

Bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai para pahlawananya, demikian kata dari sebuah adagium yang sering kita dengar di bangku sekolah. Banyak cara menghargai para pahlawan, salah satunya adalah paling tidak mengenal nama dan akan baik pula jika kita mengenal jasanya. Sosok Mas Marco Kartodikromo, mungkin merupakan satu dari sekian ratus ribu bahkan berjuta sosok yang dapat kita sebut sebagai pahlawan dalam masa pergerakan. Bagi sebagian kalangan nama Mas Marco tentu tidaklah asing, namun bagi sebagian kalangan masih belum tu samar-samar mereka mengetahui sosok Mas Marco,atau bahkan tidak mengetahuinya sama sekali. Siapa sosok Mas Marco sebenarnya?.

Dalam mengulas sosok Mas Marco Kartodikromo, penulis mengacu pada karya Soe Hok Gie, salah seorang sejarawan yang mati muda di puncak gunung Semeru yang pernah dimiliki bangsa ini “Dibawah Lentera Merah” yang terbit tahun 1964 (diterbitkan kembali oleh penerbit Yayasan Bentang Budaya tahun 1999). Karya Soe Hok Gie yang juga merupakan skripsinya tersebut menyebutkan sepak terjang Mas Marco Kartodikromo dalam organiasai pergerakan yang diikutnya, Sarekat Islam (SI) serta bagaimana perjuangan yang dia lakukan serta garis politik yang dia anut.

Mengacu pada karya Soe Hok Gie tersebut, Mas Marco dilahirkan disebuah kota kecil di Jawa Tengah, Cepu. Ia berkarir dalam bidang jurnalistik sebagai wartawan dan menjabat sebagai ketua redaksi pada Swatatomo di Solo pada tahun 1913. Setahun berikutnya, tahun 1914 Mas Marco mendirikan Inlands Journalisten Bond di Solo, ia juga yang menjadi ketuanya. Tahun 1915 merupakan salah satu tahun nahas bagi Mas Marco, dirinya dijebloskan kedalam penjara selama setahun karena memuat tulisan seseorang (dalam pandangan Gie mungkin Dr. Tjipto Mangunkusumo) mengenai pergerakan nasional.

Setelah bebas dari penjara, tahun 1916 Mas Marco bertolak ke Negeri Belanda dan disnalah dia bertemu tokoh intelektual pergerakan Indonesia seperti Suwardi Suryaningrat dan tokoh lain yang kebanyakan kaum kiri nasionalis. Mas Marco sendiri lebih berpandangan nasionalis. Negeri Kincir Angin bukanlah labuhan hati Mas Marco, disana dia merasa bukanlah tempat untuknya berjuang. Tak beselang lama, dia kembali ke Indonesia dan menulis sebuah karya satir bertajuk “Samarata Samarasa”.

Mas Marco kembali masuk penjara ketika karya satir tulisannya belum usai selama setahun. Pada 21 Februari 1918, ia bebas dari penjara dan ditawari kerja untuk Sinar Djawa. Sepak terjang Mas Marco lebih kepada aktivitas jurnalistik disamping aksi politik. Mas Marco dikenal sebagai wartwan yang bandel oleh pemerintah kolonial Belanda yang membuat dia terbiasa dengan hawa dingin lantai penjara. Dirinya juga pernah memiliki gagasan mensejajarkan islam dengan sosialisme. Menurutnya sebagaimana ditulis Gie, tujuan Islam adalah keselamatan dan begitupula dengan tujuan sosialisme.

Sebagai seorang Jawa tulen, dirinya kerap kali mengelaborasikan konsep Jawa dalam tulisannya. Budaya Jawa sendiri kebanyakan mengacu pada karya sastra kuno seperti Mahabarata dan Negarakertagama, sebagaimana disebutkan Niels Mulder dalam buku Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Hal itu disebutkan oleh Gie dalam karyanya bahwa Mas Marco menganggap perang terhadap kapitalisme sebagai perang Baratayudha Joyobinangun untuk mempertahankan kemanusiaan dan kehidupan. Disisi lain sebagaimana ditulis oleh Abubakar Ebyhara, Mas Marco membenci dan menyerang budaya feodal Jawa seperti jongkok dan sembah sebagai budaya “Majapahitan” atau “adat kodokan” (Ebyhara : 332). Namun pada kenyataannya justru berbalik, terkadang Mas Marco ketika bertemu pegawai tinggi Belanda. Naluri mereka bertentangan antara keinginan mereka dan mereka harus menahan diri untuk tidak melakukan sembah dan jongkok. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan Mas Marco dididik dan dibesarkan dalam sekolah Jawa.

Marco memang tidak memilih “jalan pedang”, dia lebih menyukai “jalan pena” sebagai media perlawanan dan perjuangan seperti halnya kaum intelektual muda kala itu. Dan novel Student Hidjo berhasil mempengaruhi berbagai kalangan pada masa itu. Pertama, bagi kaum pribumi tulisan Mas Marco merupakan pelecut semangat perlawanan pola baru. Kedua, bagi pemerintah kolonial Belanda tulisan Mas Marco tak ubahnya sengatan lebah yang selalu membuat gatal hati.

 

Student Hidjo sebagai Media Perlawanan Marco terhadap Pemerintah Kolonial

Lahirnya suatu bentuk kesadaran nasional, dapat ditumbuhkan melalui bahasa persatuan yang mengarah pada terbentuknya bahasa nasional. Dan bagaimana melebarkan pengaruh terhadap bahasa persatuan tersebut adalah salah satunya dengan media buku. Ungkapan tersebut dikemukakan oleh seorang Indonesianis kawakan Benedict Anderson dalam bukunya, “Imagined Communities : Reflection on the Origin and Spread of Nationalism” yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Imagined Communities : Komunitas-Komunitas Terbayang” (diterbitkan oleh Insist Press & Pustaka Pelajar tahun 2001). Karya sastra berupa naskah yang terangkum dalam sebuah buku sebagaimana dikatakan diawal, dapat digunakan sebagai media perlawanan bagi sebagian orang (dalam hal ini penulis karya sastra). Mas Marco menyadari akan anggapan tersebut jauh sebelum Ben Anderson menulis karyanya, semua peristiwa yang dilihat dan dialami akibat kesewenangan pemerintah kolonial belanda ia goreskan dalam tulisan.

Novel roman Mas Marco, Student Hidjo adalah salah satunya yang sangat berpengaruh bagi gerakan intelektual muda. Student Hidjo berawal dari sebuah kisah bersambung dalam harian Sinar Hindia tahun 1918, dan dibukukan pada tahun 1919. Novel ini berkisah dan merekam pertentangan budaya kehidupan priyayi di zaman pergerakan. Dimana pada masa itu bermunculan intelektual muda yang lahir dari kalangan borjuis kecil. Student Hidjo juga mampu dengan berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. Lantas kemudian menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni balai puetaka (BP) sampai saat ini.

Babakan pertama novel ini dimulai dengan cerita keluarga Raden Potronojo, seorang regent di wilayah Djarak. Raden Potrojono berkeinginan menyekolahkan Hidjo yang baru lulus HBS ke Belanda agar menjadi seorang ingenieur (baca : insinyur) kelak. Namun, saat yang sama Raden Nganten Potronojo ibu Hidjo tidak menyetujuinya karena takut anaknya terpengaruh pergaulan bebas Eropa di negeri Belanda. Disinilah pertentangan batin Hidjo mulai muncul, antara meneruskan cita-cita atau tidak. Jika pergi, Hidjo pun akan meninggalkan orang yang dicintainya termasuk kekasihnya Raden Biroe yang ia cintai. Dengan berbagai pertimbangan matang, Hidjo pun berangkat ke Batavia bersama keluarga guna menumpang Kapal Api Gunung bertolak ke Belanda. Hidjo ditemani seorang leelar (guru) hingga ke Belanda.

Setelah berbulan-bulan mengarungi samudra, Hidjo bersama sang leelar sampai di negeri rantau. Setelah itu, pergi ke Amsterdam untuk sekedar menikmati suasana kota dan dititipkan kerumah orang tua asuhnya. Ketika Hidjo dan sang leelar berada di restoran dan menginap di hotel, Hidjo terkaget melihat dirinya dihormati betul oleh para pelayan hotel dan restoran. Hal yang mustahil ia dapatkan di Hindia Belanda. Hidjo sangat dihormati, karena orang Belanda beranggapan bahwa orang Jawa yang datang ke Belanda tentulah para kaum borjuis. Mendapatkan perlakuan seperti itu oleh para pelayan, sejenak Hidjo berfikir dalam hati “Kalau di negeri Belanda, dan orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya orang Hindia (Indonesia) musti diperintah oarang Belanda”. Disinilah gejolak batin tokoh Hidjo merupakan representasi Mas Marco melihat ketidakadilan dan kesewenangan Belanda di Hindia. Dengan berani disini terlihat Mas Marco betapa menginginkannya persamaan derajat antar bangsa.

Dalam Bab X (sepuluh) novel ini, Mas Marco dengan piawai menggambarkan bagaimana budaya Barat dalam hal ini Eropa mmembingungkan batin Hidjo sebagai seorang beradat Jawa yang menjunjung tinggi susila. Bersama seorang wanita anak dari orang tua asuhnya, Betje, ia pergi ke sebuah opera Lili Green di Prinsesse Schouwburg di kota ‘s-Gravehage. Perasaan Hidjo bercampur aduk ketika opera dibuka dengan tarian balet yang menyuguhkan penari yang berpakaian hampir transparan. Hidjo serasa mengkhianati adat yang selama ini ia pegang teguh. Bab ini juga menggambarkan bagaimana Hidjo yang orang Hindia Belanda dapat berdiri sejajar dengan Betje dan orang Belanda lainnya tanpa pandang bulu. Inilah yang diidamkan Mas Marco di Hindia.

Tulisan bernada satir juga dilancarkan Mas Marco pada Bab XII, digambarkan seorang controleur Belanda yang sedang bercengkrama dengan seorang Raden Tumenggung membicarakan percampuran bangsa asing. Dengan santai sang Raden Tumenggung menjawab pertanyaan sang controleur Karena sesungguhnya manusia itu tak ada bedanya, baik bangsa bumiputera maupun bangsa Belanda dan yang lain”. Raden Tumenggung menambahkan “...kebanyakan bangsa Eropa memandang kita sebagai budaknya...barangkali akan lebih jelas hubungan antara majikan dan budaknya”. Hubungan demikian, memang banyak terjadi di jaman kolonial.

Bab XVII, mengisahkan tentang sang controleur Belanda tersebut pergi kembali ke Eropa. Dalam kapal menuju ke Belanda, controleur bertemu seorang serdadu berpangkat sersan yang congkak dan mereka membicarakan tentang keadaan Hindia Belanda. Sersan menganggap orang Jawa adalah orang yang kotor. Hal ini membuat controleur yang lama di Jawa serta mengetahui budaya Jawa secara mendalam merasa geram. “Orang Jawa bodoh tentu saja pemerintah (kolonial) memang sengaja membuatnya bodoh”, controleur tersebut menanyakan mengapa pemerintah kolonial tidak membuat sekolah khusus untuk rakyat Jawa dan dia menambahkan “Hal serupa tidak terjadi pada orang Jawa saja, meski di Belanda sekalipun, banyak babu, jongos yang suka mencuri milik majikannya”.

Gambaran dan cuplikan novel diatas merupakan segelintir nada perlawanan yang ditulis Mas Marco yang dapat pembaca temukan dalam novel Student Hidjo. Cuplikan tersebut memberi pandangan pada kita bahwa perlawanan melalui pena yang digoreskan Mas Marco paling tidak menggugah para pembaca kala itu untuk menjadi bangsa sejajar dengan yang lain.

 

Tutup Kata

Walaupun dalam novel tersebut Hidjo dapat mengenyam pendidikan dengan gelar yang dicita-citakan dan berkarir sebagai jaksa di Djarak, penulis melihat novel Mas Marco tersebut berujung antiklimaks. Namun, secara keseluruhan penulis menilai sosok Mas Marco merupakan tokoh pers, tokoh pergerakan, sekaligus intelektual muda yang sangat jarang kita jumpai di era yang telah merdeka saat ini. Perjuangan Mas Marco pernah diteruskan oleh sejarawan muda Soe Hok Gie yang menginginkan kesetaraan dan lepas dari kesewenang-wenangan, namun dalam ruang dan waktu yang berbeda. Agaknya, antara kedua intelektual Mas Marco dan Gie dalam khazanah sejarah sastra nasional Indonesia dapatlah kita sandingkan dengan pepatah yang terdapat pada sebuah adegan dalam film “Kingdom of Heaven”, “Walaupun terdapat orang yang berkuasa di atasmu, jiwamu tetaplah milikmu”. Mereka menginginkan suatu saat bangsa kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa lain tanpa penindasan.

                Dalam term filsafat sejarah, dikenal dengan adanya “The Great Man Theory” yang menyatakan bahwa sumber penggerak dala sejarah adalah orang besar, seperti presiden dan sebagainya. Dalam hal ini perhatian kita terfokus pada jasa orang besar. Penulis menilai, mungkin sosok Mas Marco seolah sedikit terlupakan dalam sejarah kebangsaan kita. Masyarakat kita terlalu dibuai dengan perlawanan berdarah nan heroik hingga lupa perlawanan dengan “jalan pena” sastra seperti yang dilakukan Mas Marco. Agaknya, teori “The Great Man Theory” menurut opini penulis cocok untuk disematkan pula pada Mas Marco dalam ranah goresan perlawanan. Mas Marco adalah salah satu orang besar dalam dunia pergerakan era kolonial dikalangan intelektual muda bangsa ini. Semoga akan ada sosok Mas Marco lain dan akan terus bermunculan intelktual muda yang jujur dan berani di negeri ini dimasa mendatang.

 

Sumber Tulisan :

  • Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities : Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta : Insist Press.
  • Ebyhara, Abu Bakar. 2010. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
  • Gie, Soe Hok. 1999. Dibawah Lentera Merah. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.
  • Gibran, Kahlil. 2015. Kematian Sebuah Bangsa. Yogyakarta : Narasi.
  • Kartodikromo, Mas Marco. 2015. Student Hidjo. Yogyakarta : Narasi.
  • Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa: ideologi di Indonesia. Yogyakarta : LKIS.
  • Terkait “The Great Man Theory” dapat dilihat pada Novack, George. 1972. Understanding Hsitory. New York : Pathfinder Press Inc. juga pada Lucas, Henry S. 1953. A Short History of Civilization. New York : McGraw-Hill Book Company Inc. sebagaimana dikutip dalam Sundoro, Mohamad Hadi. 2008. Sejarah Eropa Barat Abad Pertengahan : dari Invasi Suku Barbar hingga Ekspansi Eropa. Jember : Jember University Press

Bagikan Artikel Ini
img-content
Irfantoni Listiyawan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler