Klinik Opini: Alasan Korupsi Masih Merajalela di Negeri Ini

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini adalah ungkapan kekesalan akibat kasus korupsi bukannya makin habis, namun makin tumbuh subur, terbukti setelah kasus DPRD Sumut, kini DPRD DKI

Korupsi, lagi-lagi korupsi berita yang tidak habis-habisnya. Penyakit yang menjadikan bangsa kita tetap miskin ini telah menggurita, menjadi budaya dan trend di masyarakat kita. Kasus ini tidak ada habis-habisnya, makin diberantas, makin menjadi-jadi. Hari-hari di negeri kita tidak pernah sepi dari warta penangkapan terduga koruptor. Operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK menjadi bukti bahwa penyakit korupsi ini ibarat kutil yang makin digaruk, makin enak rasanya, dan makin meluas efeknya. Pun dengan penyakit korupsi, teranyar anggota legislatif yang menjabat ketua komisi D DPRD DKI Jakarta M. Sanusi bersama dengan pengusaha, Presdir PT. Agung Podomoro Land (APLN) Ariesman Widjaja, serta seorang karyawan PT. APLN, Trinanda Prihantoro dijadikan tersangka korupsi.

Diduga, APLN telah menyuap M. Sanusi sebesar Rp. 2,14 miliar untuk mempengaruhi kebijakannya dalam reklamasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Jakarta Utara. Padahal seperti kita ketahui, M. Sanusi ini wakil rakyat yang selalu vokal mendukung pemberantasan korupsi dan sangat yakin dapat menjungkalkan seorang Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017. Nyatanya? Setali tiga uang dengan sang kakak, M. Sanusi ingin menikmati bagaimana rasanya berkorupsi di DKI Jakarta. Sebelumnya, KPK juga berhasil menangkap dan menetapkan Manajer Senior PT. Brantas Abipraya (BA) Dandung Pamularno, dan Direktur Keuangan PT. BA Sudi Wantoko, serta satu orang lagi, yaitu Marudut, sebagai tersangka kasus suap disebuah hotel di bilangan Cawang, Jakarta Timur. Dari ketiga tersangka disita uang sebesar 148.835 dollar AS. Uang sebanyak itu diduga oleh Ketua KPK Agus Rahardjo, untuk menghentikan penyelidikan tindak pidana korupsi PT BA di Kejaksaan Tinggi DKI.

Kasus ini menambah panjangnya kasus-kasus korupsi yang menyeret dewan yang katanya mewakili rakyat ini. Mereka tidak jera, belum selesai kasus besar yang melibatkan hampir semua dewan perwakilan rakyat Sumut dua periode. Bersama-sama dengan Gubernur non aktif GPN, ketua dan anggota dewan wakil rakyat berjamaah melakukan korupsi untuk memuluskan pengesahan APBD Sumut periode 2012 hingga 2015. Istilah “Uang Ketok” senilai 1,195 miliar rupiah digelontorkan agar anggota dewan menyetujui laporan APBD, yang lucunya sudah merupakan tradisi di Indonesia. Lantas, pertanyaannya, kenapa kasus korupsi masih merajalela di negara yang kita cintai ini? Dan kenapa pelakunya adalah wakil-wakil rakyat kita? Ini seharusnya bahan renungan bagi kita, apakah di negara kita ini masih diperlukan lembaga legislatif ini? Apakah benar publik masih percaya pada kinerja para legislator kita ini?

Sesaat sebelum terjadinya OTT oleh KPK, saya membaca sebuah artikel di surat kabar ternama yang membahas tentang perbedaan penjara bagi koruptor dengan penjara bagi pelaku tindakan kejahatan lainnya yang menjadikan dasar untuk menuliskan artikel kenapa korupsi di negara kita ini masih merajalela, diantaranya :

Berbagai sanksi dan hukuman yang selama ini dijatuhkan pada koruptor belum menimbulkan efek jera. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh makin ringannya vonis untuk para koruptor. Jika pada tahun 2013 rata-rata lama vonis penjara terpidana korupsi adalah 2 tahun 11 bulan, maka pada tahun 2015 hanya 2 tahun 2 bulan. Di tahun 2016 ini hukuman terhadap koruptor juga termasuk ringan, contoh sederhana seperti hukuman yang diberikan kepada gubernur Sumut non aktif, GPN. Vonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta hanya memberikan hukuman tiga tahun penjara dan 2,5 tahun ke bini mudanya Evi Susanti. Vonis hakim ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK, walau masih ada kasus lain yang menjerat, namun vonis atas perkara suap hakim dan panitera PTUN Medan serta pemberian gratifikasi ke anggota Komisi III DPR Patrice Rio Capella dalam pengurusan perkara bansos di Kejagung kita nilai terlalu ringan mengingat kerugian negara triliunan rupiah akibat kasus korupsi yang belum tuntas dan membuat bingung KPK karena saking banyaknya oknum yang terlibat dalam big kasus ini.  

Makin terkikisnya budaya malu di kalangan sesama anggota masyarakat, bahkan seperti yang dipraktekkan oleh legislator kita. Mereka sebagai reprensentatif dari warga negara kita, tidak malu menuduh, bahkan menyerang pemimpin lain yang tidak sepaham dengan berbagai tuduhan negatif, padahal dia sendiri lebih buruk dari yang dia sangkakan. Budaya malu yang tidak ada, mengakibatkan masyarakat jadi permisif dan bahkan cenderung mudah melupakan pejabat negara yang melakukan korupsi. Masyarakat jadi pesimis karena para koruptor makin banyak, juga kesempatan untuk sama-sama melakukan praktek korupsi tetap terbuka lebar. Dimana ada kesempatan, maka para koruptor tetap memanfaatkan kesempatan itu, sekecil apapun karena rayuan dan tidak adanya budaya malu untuk tidak melakukan korupsi.

Adanya perlakuan istimewa untuk para narapidana kasus korupsi. Di tengah-tengah sorotan publik tentang buruknya manajemen penjara, ternyata benar masih ada diskriminasi terhadap penghuni penjara. Hal ini setidaknya terlihat jelas di Lembaga Permasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Menurut artikel yang saya baca, para napi di LP Sukamiskin ini mendapatkan fasilitas istimewa berupa saung-saung untuk beristirahat dan menerima kunjungan. Selain itu, sejumlah napi juga ditenggarai menyimpan dan menggunakan alat komunikasi sesuka hati mereka. “Saung-saung itu hanya untuk membangun kenyamanan baru untuk para narapidana sehingga mereka tidak terpikir untuk menyesali perbuatannya. Ini jelas tidak sesuai dengan konsep pemidanaan  yang salah satunya bertujuan memberi efek jera. Kalau di dalam nyaman, penjara tidak lagi menakutkan”, ujar Feri Amsari, Anggota Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Kurangnya pengamalan nilai-nilai etika dan moral oleh penyelenggara negara. Ternyata revolusi mental yang dicanangkan oleh Pemerintah lewat program pak Jokowi – JK buktinya tidak terlaksana dengan baik. Buktinya, penyelenggara negara saja tidak jera untuk melakukan korupsi yang nyata-nyatanya merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh Agama, bahkan pemerintah. Hal ini jelas karena unsur penerapana etika dan moral jarang sekali ditanamkan kepada para penyelenggara negara. Selama ini pemerintah terlalu sibuk membuat regulasi untuk mencegah perilaku koruptih, padahal itu saja tidak cukup. Perlu pemberian pembelajaran penerapan etika dan moral kepada para penyelenggara negara yang perilakunya ditiru oleh masyarakat lain.

Tidak adanya ketegasan dalam memimpin. Sudah lama, warga masyarakat di Indonesia menyerukan agar pemimpin negeri kita tegas dalam mengambil tindakan bagi koruptor, namun nyatanya bagaimana? Sikap abu-abu masih sering kita jumpai ketika para pemimpin dihadapkan pada kasus besar. Contohnya, kasus hambalang. Kasus korupsi terbesar di negeri ini masih mengendap, belum ada kejelasan dari pemimpin di negeri ini untuk menelusuri dan menetapkan siapa aktor intelektual dari kasus ini. Pergantian era kepemimpinan ternyata belum juga meng-clearkan kasus terbesar di negeri ini, sehingga mengakibatkan rakyat di negari ini pesimis akan tuntasnya kasus-kasus besar korupsi di negeri ini.

Proses hukum yang lambat karena kurangnya sinergi antar lembaga-lembaga negara. Ini terlihat ketika orang-orang dari kaum “elit” yang dimintai keterangan untuk bersaksi dalam suatu kasus korupsi tidak memberikan keterangan yang maksimal. Belum lagi kasus mangkir kala dipanggil, bahkan ada yang melarikan ke luar negeri, ada juga yang tidak mau bersaksi alias menyembunyikan apa yang terjadi dan diketahui sehingga menghambat kinerja KPK maupun hakim dan jaksa untuk menetapkan vonis hukuman bagi para koruptor yang telah 100 persen ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK saat akan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Belum lagi adanya muncul pelemahan terhadap Komisi Anti rasuah ini, berupa revisi undang-undang KPK yang menghapus kewenangan dalam hal penyadapan. Padahal, penyadapan adalah alat ampuh KPK untuk membuktikan seseorang itu benar-benar melakukan transaksi korupsi atau tidak. OTT merupakan buah hasil kerja keras yang bernama senjata KPK, yaitu Penyadapan.

Jadi, setelah kita ketahui hal-hal yang mengakibatkan kasus korupsi masih merajalela di Indonesia, lantas apa obat ampuh untuk memberantas korupsi? Layaknya revolusi mental, dari mana diawali? Dari dalam diri kita, kalau tidak ada niat untuk mengubah perilaku korupsi, maka korupsi akan merajalela. Juga diperlukan ketegasan dari para penegak hukum untuk memberikan hukuman yang lebih berat kepada koruptor. Sudah saatnya pemberian hukuman yang berat diberlakukan. Semoga!

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Oloan Naibaho

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler