x

Joko Tjandra Terendus di Panama Papers

Iklan

mohammad mustain

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Menyoal Nasionalisme Pejabat Pengemplang Pajak

Nasionalisme adalah cinta negara sementara mengemplang pajak adalah sebaliknya, Bagaimana jika di antara pengemplang pajak itu ternyata pejabat negara?.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita mungkin pernah dengar guyonan “makan di Jakarta, kencing di Singapura, berak di Hongkong”. Itu menggambarkan mobilitas manusia modern saat ini. Kini juga ada guyonan baru “makan di Indonesia, bayar di Singapura, tidur di Cayman”. Nah, kalau ini filosofi para pengusaha yang mengumpulkan kekayaan lintas negara, tanpa mempedulikan tempat asal kekayaan dan kewajibannya membayar pajak.

Dua guyonan itu menggambarkan, betapa mobilitas manusia beserta kekayaannya makin mengglobal dewasa ini. Negara sebagai pengikat batas mobilitas, tak lagi memainkan peranan dominan dalam membatasi pergerakan manusia dan kekayaannya. Kewarganegaraan yang diwujudkan dalam paspor sebagai KTP dunia, mungkin juga telah mengalami penurunan derajat kesakralannya.

BACA:Bolehkah DPR Sebagai Alamat Pemegang Saham?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat ini sudah ada negara yang menawarkan green card bagi siapa saja yang masuk ke negaranya dengan membawa kekayaan melimpah. Banyak negara yang memungut pajak sangat kecil atau bahkan nol bagi siapa saja yang menyimpan kekayaannya di sana. Yang terakhir ini dikenal dengan negara Tax Heaven.

Artinya, uanglah sebagai ukuran bagi pemberian kewarganegaraan. Siapa pun yang punya uang banyak, dia bisa memilih kewarganegaran yang diinginkannya. Kekayaan itu juga bisa melintas batas negara dengan bebas atas nama bisnis dan keamanan kekayaan pribadi. Contoh jelek soal ini adalah Djoko S Tjandra buronan Indonesia karena kasus korupsi, yang kini seolah jadi ‘pahlawan’ di Papua Nugini karena kaya.

Perpindahan kewarganegaraan orang-orang kaya dunia, untuk menghindari pajak tinggi, atau alasan keamanan dan stabilitas politik, bukan hal baru lagi. Banyak nama-nama yang sangat familiar untuk orang Indonesia, seperti aktor Jet Li. Gongli, atau aktor Prancis Alain Delon dan Gerard Depardieu, atau petinggi Facebook Eduardo Saverin.

Data dari tahun 2012 (dikutip dari detik.com mengutip CNBC), menyebut banyak orang Prancis dan Amerika pindah kewarganegaraan karena pajak. Sementara warga Rusia dan Cina pindah kewarganegaraan dengan alasan stabilitas politik dan keamanan. Trend ini terus meningkat. Di Amerika misalnya, pada 2011 tercatat 1.700 orang kaya pindah kewarganegaraan dan terus meningkat di tahun 2012. Hal yang sama juga terjadi di Prancis, Rusia, dan Cina.

Di Indonesia, sayangnya belum diperoleh data jumlah orang kaya yang pindah karena alasan serupa. Kabar terbaru menyebut,  akibat  segera diberlakukannya tax amnesty agar dana warga Indonesia yang diparkir di luar negeri bisa kembali ke Indonesia, ada kampanye gencar dari negara tetangga untuk pindah kewarganegaraan ke negerinya. Alasannya sederhana, kalau dana ribuan triliun yang diparkir di bank-bank negara itu ditarik, bisa goyang ekonomi di sana.

BACA:Ketua BPK terseret Panama Papers, Busyro: Kalau Dasarnya Kuat, mundur saja

Kondisi seperti itu menimbulkan pertanyaan, masihkah relevan membicarakan nasionalisme sebagai pengikat seseorang dengan sebuah negara? Bukankah sistem keuangan yang tak memberatkan seseorang,  yang lebih efektif untuk ikatan itu? Jika hubungan manusia dengan negaranya dinilai dengan model bisnis semacam itu, dua pertanyaan itu tepat. Masalahnya, benarkah setiap orang sudah melepas ikatan nasionalismenya.

Nasionalisme itu ibarat cinta. Warga negara yang nasionalisme kuat, akan rela berbuat yang terbaik untuk negaranya. Tentunya, termasuk kewajibannya sebagai warga negara untuk membayar pajak. Seseorang yang punya rasa nasionalisme tentu tak akan membiarkan negaranya dilanda kesulitan ekonomi dan melarikan dana ke luar negeri. Nasionalisme itu bukan  sekedar perang fisik membela tanah air.

Keberadaan negara sangat ditentukan oleh nasionalisme warga negara itu. Nasionalisme adalah perekat batin warga negara dengan tanah airnya, tempat kelahirannya, tempar sanak saudaranya, sahabat-sahabatnya. Nasionalisme perasaan khusus yang melekat pada manusia. Ia ibarat cinta yang lahir sebagai fitrah manusia. Jika ikatan ini sudah tak ada, negara itu otomatis tak lebih dari tempat persinggahan semata.

Inilah alasan mengapa nasionalisme itu begitu penting bagi eksistensi sebuah negara. Sayangnya, meski nasionalisme sebagaimana rasa cinta merupakan fitrah bawaan manusia, ia bisa luntur akibat pengaruh lingkungan. Karena itulah pendidikan nasionalisme berkelanjutan, baik lewat pendidikan formal sejak TK hingga perguruan tingga, ditambah penataran-penataran, ditambah dengan kampanye terus menerus, sangat perlu.

Di sinilah peran elit negeri baik pejabat maupun tokoh masyarakat, termasuk kalangan pengusaha mengambil peran penting. Mereka harus tampil sebagai motor utama penggerak semangat nasionalisme ini. Namun, sayangnya harapan besar ini mungkin kurang bersambut dengan baik. Dua pekan ini kita disuguhi informasi yang mengejutkan, banyak kalangan elit dan pejabat justru terlibat pengemplangan pajak.

Sementara kita sama-sama tahu, pajak adalah pengisi pundi-pundi utama negara. Dengan pajak pembangunan berjalan, negara tidak runtuh, tidak kolaps, ekonomi berjalan, rakyat makmur, negeri sentosa. Nah, kalau pajaknya dikemplang, negeri bisa tumbang, pembangunan mandek, ekonomi goyang, rakyat susah, kerusuhan bisa pecah di mana-mana seperti yang dipertontonkan beberapa negara Eropa, misalnya Yunani, berapa tahun lalu.

Perilaku sebagian pejabat yang mengemplang pajak itu masalah serius. Mereka seharusnya tampil paling depan dalam menjaga nasionalisme melebihi warga biasa. Namun, tindakan mereka itu menunjukkan hal sebaliknya. Bagaimana bisa mereka disebut cinta tanah airnya, sementara tindakan mereka justru bisa berakibat keruntuhan negara.

Itulah tontonan yang kita nikmati baik di televisi maupun media massa lain, setelah ramai-ramai Panama Papers dipublikasikan. Dokumen bocoran firma hukum Mossac Forensca itu sebenarnya hanya pendulum bagi terangkatnya masalah super serius negeri ini, pengemplangan pajak yang melibatkan para elit negeri. Dokumen itu memuat setidaknya 899 nama individu dan pengusaha Indonesia yang memiliki perusahaan offshore yang tercatat sebagai klien firma hukum Mossack Fonseca asal data yang bocor itu.

Di data lain, bocoran data dokumen  Offshore Leaks dari firma hukum Portcullis TrustNet, setidaknya ada 2.500 individu dan pengusaha Indonesia tercatat memiliki perusahaan offshore di negara tax havens. Banyak nama yang sudah beredar, ada pejabat, politisi, dan pengusaha.

Wawancara Tempo dengan Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro (Investigasi Panama Papers) menggambarkan perilaku para elit negeri itu. Uang mereka yang disimpan di luar negeri,  khususnya di negara tax havens lebih dari Rp 11 triliun. Penyimpannya adalah individu dan perusahaan yang di Indonesia dikenal paling kaya, paling besar. “Yang paling besar itu justru nama-nama yang kita kenal. Orangnya d sini baik-baik saja. Yang buron tidak banyak.”

Kembali ke persoalan nasionalisme. Jika pelarian modal ke luar negeri itu dilakukan pengusaha atau individu kaya di luar pejabat atau politisi, kita masih bisa memandangnya sebagai bagian dari fenomena kepindahan kewarganegaraan orang-orang kaya. Hanya untuk kasus Indonesia, hanya hartanya yang pindah negara, sementara orang tetap memilih jadi warga negara Indonesia.

BACA:Panama Papers, Ditjen Pajak Prioritaskan Pejabat Publik  

Namun, jika pelarian modal dan pengemplangan pajak itu dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi penjamin tetap tegaknya negeri Indonesia, lain lagi persoalannya. Para pejabat atau politisi seperti itu bisa disebut memiliki nasionalisme bodong.  Ya, nasionalisme bodong.

Selama ini, kita meyakini bahwa para pejabat dan politisi adalah orang-orang pilihan. Mereka adalah warga negara yang telah terseleksi dengan baik oleh sistem kenegaraan, baik sistem politik, birokrasi pemerintahan, atau dunia bisnis yang keras itu. Bahasa kerennya, mereka adalah manusia terpilih.

Sebagai contoh politisi. Undang-undang menetapkan partai politik berkewajiban melaksanakan kaderisasi kepemimpinan nasional. Artinya, parpol tentu memilih kadernya yang layak untuk masuk dalam jajaran pemimpin nasional itu, baik di legislatif atau pemerintahan. Artinya lagi, seleksi itu di antaranya membekali sang kader dengan nasionalisme yang kuat.

Demikian, pula di pemerintahan. Untuk menduduki jabatan tertentu dan naik ke jabatan yang lebih tinggi, tentu tidak ‘’ngglundung’’ begitu saja. Ada seleksi ketat, pembekalan nilai dan profesionalisme dan nasionalisme. Dengan begitu, pejabat yang terpilih tentu sudah siap menanggung konsekuensi jabatannya.

Nasionalisme yang ditanamkan sejak pendidikan TK hingga di perguruan tinggi, masih terus ditambah untuk golongan mereka. Lemhanas juga terlibat dengan penataran entah berapa ratus atau ribu jam, bagi para pemimpin yang terpilih. Jadi intinya, pejabat maupun politisi adalah manusia terpilih yang tak perlu diragukan nasionalisme. Rela berkorban jiwa raga untuk Indonesia tercinta.

Tetapi, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya bagi pejabat atau politisi yang terlibat pengemplangan pajak tadi. Ada ungkapan ‘kendaraan bodong’ atau kendaraan yang tak ada surat-suratnya. Secara fisik, kondisi kendaraan itu mungkin sangat kinclong, harganya miliaran rupiah. Namun, kendaraan itu  tak laik jalan karena tak punya surat.

Nasionalisme bodong ‘rada-rada mirip’ dengan itu. Orang yang menyandangnya bisa berpakaian perlente, jabatannya tinggi, penampilannya wah, kantornya juga wah. Pokoknya serba wah.  Penampilan, status, jabatan, yang mungkin juga punya sertifikat penataran nasionalisme ribuan jam. Namun, sayangnya isinya itu ternyata kosong melompong alias bodong.

Tampilnya pejabat atau politisi dengan model nasionalisme bodong seperti ini jelas sangat merepotkan. Masih lebih kesatria orang kaya yang tegas memilih negara mana yang akan mereka pilih dengan kekayaannya. Mereka mengambil pilihan pindah kewarganegaraan. Namun, pejabat atau politisi model nasionalisme bodong ini sangat berbeda. Kalau ditanya tentang negara tercinta jelas akan dijawab: Indonesia!!!

BACA:Menunggu Jokowi Menindak Ketua BPK

Sebaliknya, kalau ditanya mengapa mereka mengemplang pajak, tentu mereka akan marah dan balik bertanya, “Mana buktinya saya mengemplang pajak. Saya taat bayar pajak, itu perusahaan offshore kan hanya untuk kepentingan bisnis.” Pertanyaan balik yang tepat, karena Menkeu Bambang Brojonegoro sendiri mengakui sulitnya mendapatkan data yang valid, yang bisa menyeret mereka ke pengadilan.

Serupa tapi tak sama, nasionalisme para koruptor juga menunjukkan model begitu. Jika ditanya mana negara yang dicinta, jawabannya jelas dan tegas: Indonesia!!! Tapi kalau ditanya mengapa kalau cinta kok korupsi, jawabannya mungkin, “Saya khilaf, saya menyesal”.

Itulah masalah nasionalime yang kita hadapi di era  globalisasi saat ini. Mobilitas manusia dan kekayaannya telah terbukti melampaui batas-batas kekuasaan negara. Bagi sebagian orang kaya, hubungan mereka dengan negaranya kini telah diwarnai perhitungan bisnis dan untung rugi semata. Sementara itu,  sebagian pejabat dan politisi yang seharusnya menjadi garda terdepan tetap tegaknya nasionalisme, malah mempertunjukkan nasionalisme bodong.

Meski baru satu bulan lagi peringatan Hari Kebangkitan Nasional, ada baiknya kita renungkan mulai dari sekarang, masihkah kita peduli dengan urusan nasionalisme bangsa ini. Atau jangan-jangan kita sudah memandang negara hanya sebatas tempat singgah untuk makan, tidur, dan cari duit. Tak lebih dari itu.

 

Salam.

Ikuti tulisan menarik mohammad mustain lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan