x

Mossack Fonseca, firma hukum Panama, menyediakan jasa bagi politikus hingga penjahat untuk menyembunyikan uangnya di negara suaka pajak. Infografis ini menunjukkan seraksasa apa Mossack.

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menunggu Jokowi Menindak Ketua BPK

Apa tindak lanjut Presiden merespons laporan Harry? Kata Pramono, masalah ini belum tentu akan dibawa ke ranah pidana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Presiden Joko Widodo kini ditunggu tindakannya untuk merespons keterlibatan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Aziz dalam bisnis perusahaan cangkang yang diikutinya. Hingga kini, menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Presiden belum mengambil sikap mengenai masuknya nama Harry dalam dokumen milik farma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, yang dikenal dengan nama The Panama Papers.

Menurut Pramono, Jokowi baru sebatas mendengarkan laporan Harry yang menemuinya di Istana Negara, kemarin siang. Menurut Pramono, Jokowi baru mengetahui ada nama Harry dalam dokumen Panama Papers setelah dilapori Harry. Apa tindak lanjut Presiden merespons laporan Harry? Kata Pramono, masalah ini belum tentu akan dibawa ke ranah pidana. "Tadi kan dilaporkan dan didengarkan, jadi belum berbuat apa-apa," tuturnya. Dalam dokumen Panama Papers, Sheng Yue International Limited diduga sebagai perusahaan milik Harry Azhar Aziz.

BACA: Masuk Panama Papers, Ketua BPK Lapor Presiden Jokowi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Soal kepemilikan di perusahaan cangkang pun sudah diakui Harry. “Tapi sekarang sudah tidak lagi sejak 1 Desember 2015," ujar Harry. Menurut dia, ia memutuskan tak lagi berada di perusahaan tersebut sejak menjabat Ketua BPK pada akhir 2014. Dia pun memproses pelepasan kepemilikan dan baru selesai pada 1 Desember 2015. "Baru dinyatakan tidak lagi pada 1 Desember 2015. Saya enggak tahu kenapa, tapi kenyataannya begitu. Karena prosesnya kan tidak saya tongkrongin terus tiap hari," ujarnya.

Ketika pendaftaran dilakukan, Harry memakai alamatnya di DPR, yakni Ruang 1219, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen. Sedangkan untuk alamat korespondensi, Harry memilih Hong Kong, yaitu di Room 1307-8, Dominion Center, 43-59 Queen's Road East, Wanchai. Menurut dia, pemilihan alamat tersebut sah saja dilakukan dan bisa di mana saja. “Itu kan paper company, jadi bisa di mana saja. Kebetulan itu sama dengan paspor,” katanya.

BACA: Soal Panama Papers, Harry Azhar Azis Klarifikasi Dirjen Pajak

Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah jika mendapati ada pejabat negara terlibat perusahaan cangkang yang temuannya mengguncang dunia itu? Dalam diskusi yang digelar Tempo dan Indonesiana pada Kamis siang,  14 April 2016 kemarin, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menuturkan, pejabat Indonesia bisa dikategorikan ndableg. Ini adalah masalah etis dan tidak etis. “Kalau di luar, Perdana Menteri Islandi langsung mundur meskipun secara materi dia gak salah tapi dia merasa bersalah secara etis. Di Indonesia, gak ada konsep ini karena berlindung pada dikotomi legal dan tidak legal.”

BACA:Terjerat Panama Papers, Menteri Perindustrian Spanyol Mundur

Agar memiliki tanggung jawab, Yustinus mendorong para pejabat Indonesia yang terlibat bisnis ini dituntut mundur.

Lalu, bagaimana menjerat Harry? Yustinus menuturkan, Harry bisa dijerat dengan undang-undang perpajakan terkait dengan surat pemberitahuan (SPT) pajak. "Saya yakin SPT pajak terkait perusahaannya di Panama Papers tidak dilaporkan," kata Yustinus. Padahal wajib pajak diharuskan melaporkan seluruh asetnya baik yang ada di dalam maupun luar negeri. Harry dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana karena berbohong dalam melaporkan kekayaannya. Dalam undang-undang juga dapat menjerat wajib pajak yang tidak lengkap melaporkan kekayaannya.

"Itu pintu masuk pertama (untuk menjerat Harry)," kata dia. Apalagi Harry adalah seorang pejabat publik yang harusnya melaporkan harta kekayaan dengan benar. "Sebaiknya Harry mundur dari jabatannya."

BACA:Terseret Panama Papers, Ketua BPK Bisa Terjerat Ini

Rimawan Pradityo, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada menjelaskan apa yang menyebabkan reaksi berbeda diperlihatkan pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain dalam skandal raksana Panama Papers ini. Di Indonesia, kata Rimawan, sistem atau aturan yang ada mendorong orang melakukan korupsi. “Sistem itu disusun tanpa mengindahkan aspek rasionalitas dan manusiawi.” Pemicu lainnya adalah,Indonesia masih ortodok menganut bank secrecy dan pengelolaan negara tidak transparan.

Jika dibandingkan dengan negara maju kapitalis, jelas Indonesia kalah jauh. Di negara maju, sistem yang ada meminimalisasi potensi korupsi. Sebab, “sistem dibangun dengan menjunjung aspek rasionalitas dan manusiawi,” kata Rimawan. Selain itu, bank secrecy minim dan pengelolaan negara transparan.

Rimawan pun membandingkan Indonesia dengan Inggris. Kondisi di Indonesia saat ini serupa di Inggris pada 1600-1700 masehi. Indonesia masih menggunakan sistem kuno dan tidak memiliki sense of crisis. “Kalau model pejabat bisa bebas memiliki perusahaan cangkang dan membiarkan korupsi merajalela maka kita akan collaps dalam 25 tahun,” ujarnya. Adapun di Inggris, mereka terus berbenah dan memperbaiki sistem pencegahan kourpsi yang meminimalisasi potensi kejahatan luar biasa itu dalam 150 tahun. “Mereka gak ingin ketinggalan dengan tetangga mereka, Prancis dan Jerman, makanya terus berbenah sehingga kejahatan korupsi amat minim.”

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler