x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terapi Dirimu dengan Menulis

Menulis membantu kita melepaskan beban yang teronggok di punggung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Menulis adalah bentuk terapi; kadang-kadang saya heran bagaimana mereka yang tidak menulis, menggubah komposisi atau melukis dapat melepaskan diri dari kegilaan, melankolia, kepanikan dan ketakutan yang melekat dalam situasi manusia.”

--Graham Greene (Penulis, 1904-1991)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak setiap orang mampu marah dengan mengucapkan kata-kata keras. Sebagian orang memilih untuk diam—memendam kemarahan, kekecewaan, rasa malu, maupun perasaan nyaris putus asa. Sikap ini tidak ubahnya meletakkan batu besar di punggung sendiri, yang membuat kita tak mampu berjalan tegak. Terseok-seok karena beban yang berat.

Berbicara sendiri kerap jadi pilihan bagi individu seperti ini, tapi barangkali jadi terkesan aneh. Mengapa tidak menulis saja? Walaupun sejumlah psikolog, antara lain Ira Progoff dan James Pennebaker, merumuskan secara lebih ilmiah dengan berbasis riset mengenai manfaat menulis untuk terapi, sesungguhnya sudah sejak berabad-abad yang lampau menulis menjadi pilihan banyak orang untuk mengekspresikan perasaannya yang terdalam: kepahitan hidup.

Ya, kepahitan hidup yang sukar diceritakan kepada orang lain, yang hanya bisa dirasakan sendiri memang patut dikeluarkan agar beban di punggung mulai berkurang. Menulis, dalam konteks ini, bukan untuk melatih keterampilan literer, bukan untuk menciptakan karya artistik, bukan pula untuk meraih popularitas di tengah banyak orang, melainkan untuk mengartikulasikan perasaan-perasaan yang sukar diungkapkan.

Tulisan menjadi pilihan untuk mengekspresikan kondisi emosional—suatu ketika mungkin kita pernah berpikir tentang hal terburuk di dunia ini; apa yang dapat kita lakukan bila itu telah menjadi bagian dari sejarah hidup? Sebagian kita mungkin akan berteriak amat keras, atau lari meninggalkan dunia, tapi kita juga bisa menulis sebagai jalan untuk pulih, kembali, dan sembuh.

Ketika psikolog Ira Progoff memperkenalkan konsep tentang menulis sebagai terapi pada tahun 1960an, ia mengembangkan metode intensive journal. Di dalam jurnal pribadi, kita secara tertur mengeksplorasi diri dan mengekspresikan pikiran serta perasaan kita—kesal, amarah, getir, kecewa. Jurnal ini menjadi sejenis katup pelepas agar kondisi-kondisi emosional yang menegangkan itu berlalu, sehingga kita menjadi lebih rileks.

Arnold van Emmerik, akademisi dari Universitas Amsterdam, melihat manfaat menulis bagi mereka yang mengalami tekanan, depresi, maupun stres pasca-trauma—mungkin Anda merasa sangat cemas ketika hendak maupun setelah menjalani operasi pengangkatan tumor. Manfaat terapi, kata van Emmerik, dapat dirasakan bila menulis dipakai sebagai alat yang betul-betul privat untuk ekspresi maupun refleksi personal. Jadi, bukan untuk beropini tentang sesuatu.

Kuncinya, kata James Pennebaker, penulis buku Writing to Heal (2004), menulis dengan fokus dan intens segenap pengalaman maupun perasaan yang selama ini hanya terpendam. Secara praktis, carilah waktu dan tempat di mana kamu tidak akan terganggu, menulislah secara kontinyu sekurang-kurangnya 15-20 menit, tak usah mengkhawatirkan soal ejaan maupun tata bahasa, lakukan selama 4 hari berturut-turut.

Lebih penting dari itu, tulislah sesuatu yang sangat pribadi dan sangat penting bagi dirimu—hanya untuk dirimu! (sumber foto ilustrasi: painfreelivinglife.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu