x

Sejumlah jemaah calon haji menyentuh Kabah, di bagian pintu Kabah, pada saat tawaf di Masjidil Haram, Mekah, 21 September 2015. MOHAMMED AL-SHAIKH/AFP/Getty Images

Iklan

Solihin Agyl

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Self-Driving: dari Arab Sampai Jepang

Inpirasi "Self-Driving" dari 2 bangsa yang berbeda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mekkah akrab dengan basah di bulan-bulan akhir tahun 2012. Sepuluh hari pasca prosesi haji, tiga orang pria dan seorang ulama Indonesia berkunjung ke kediaman syech Muhammad bin Ismail Zein—ulama dan tokoh muda Saudi Arabia—tak jauh dari kota suci itu. Mereka berangkat sebelum Maghrib dari tempat mereka menginap di kawasan Aziziyah—sekitar 7 km di sebelah timur Masjidil Haram—dan tiba di mesjid terdekat dari kediaman sang habib persis saat sholat Maghrib. Menjelang Isya’, mereka baru bisa masuk ke gedung yang juga dikenal sebagai pondok pesantrennya para ulama Indonesia itu.

Masuk ke dalam, hampir seluruh dinding rumah berhiaskan pesan / nasehat pembelajaran dan ibadah dalam kaligrafi bahasa Arab yang amat cantik. Satu kalimat dalam tulisan berukuran besar menarik perhatian mayoritas hadirin dengan makna yang mudah mereka pahami: “Al-istiqomah Khoirun Min Alfi Karomah”: Istiqomah lebih baik dari pada seribu kemuliaan.

Selepas Adzan Isya' seluruh hadirin sholat berjamaah dengan sang tuan rumah yang juga pengasuh pesantren itu. Sejenak kemudian, diskusi akrab mulai meramaikan suasana malam itu. Cendekiawan muda yang juga dosen di salah satu universitas terkemuka di Saudi Arabia itu begitu ramah dan lihai mengulas kata-kata yang menyebar di seluruh dinding rumahnya termasuk arti kata Istiqomah yang terpampang di tembok persis di atas kepalanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara terminologi Istiqomah memang berasal dari bahasa Arab. Kata ini menyiratkan kemauan yang kuat, kedisiplinan yang kokoh, kerja keras dan terus menerus, kesabaran, ketekunan, komitmen serta tidak mudah menyerah. Pendek kata, istiqomah adalah perputaran mesin yang tak pernah putus dan berhenti.

Tokoh ini juga memberi alasan mengapa Istiqomah lebih baik dari pada seribu kemuliaan. Menurutnya, kemuliaan-kemuliaan lainnya seperti kekayaan, popularitas dan jabatan akan menjerumuskan manusia pada riya’ (ingin mendapat pujian), kecongkakan sementara istiqomah justru menjauhkan mereka dari sifat-sifat tak terpuji itu.

Orang yang istiqomah menenggelamkan diri dalam rutinitas yang nikmat dan bahkan membentuk karakter dan memperkuat jiwa mereka. Tak ada yang mampu mengalahkan pribadi yang disiplin / istiqomah. Mereka terus bergerak dan tidak mudah menyerah meski usia semakin tidak ramah. Bagi mereka setia pada kegiatan yang ajeg mereka lakukan bukan hanya sebuah prestasi tetapi juga sebuah investasi bagi perbaikan kualitas diri.

Dan ternyata, sesuai penuturan beberapa santrinya, sang habib memang memiliki kemauan kuat dan disiplin diri yang tinggi terhadap keilmuan, pendidikan dan pembelajaran serta ibadah. Sebagaimana ayahnya, Syech Ismail Zein—yangjuga seorang ulama besar dan disegani di Saudi Arabia—apa yang ditulisnya di tembok-tembok itu adalah apa yang dilakukannya. Itulah cara dia menghafal dan mengamalkan ayat-ayat Alqur’an, Hadits dan kitab-kitab lainnya yang dalam waktu yang cukup lama menghiasi dinding rumahnya dan dalam periode tertentu diubah dengan ayat-ayat lainnya yang tentu saja sedang ia dalami.

Ketekunan dan kedisiplinan yang sama juga diceritakan oleh Rhenald Kasali dalam bukunya “Self-Driving: Menjadi Driver atau Passenger?” (2015) melalui kisah Nathan—seorang komandan pelatih perang di jaman restorasi Meiji di Jepang.

Di hadapan pemimpinnya, kolonel Bagley dan Omura (investor pembangunan jalan kereta api) yang menyewanya, Nathan mengisahkan kesaksiannya saat menjadi tawanan Samurai. Dengan penuh keyakinan Nathan menegaskan bahwa sepanjang hidupnya belum pernah ia melihat kedisiplinan seteguh ksatria Samurai. Tak ada yang mampu mengalahkan pasukan Samurai walau pasukan musuh dengan jumlah besar dan dengan senjata paling modern sekalipun.

Sejak bangun pagi Samurai langsung melakukan tugasnya masing-masing tanpa komando, penuh tanggung jawab, menjunjung tinggi kehormatan dan kesempurnaan. Mereka berlatih ilmu perang dan mempraktekkannya dalam perang selama ratusan tahun. Prinsip kuat yang dianut oleh para Samurai adalah: Self-discipline (disiplin diri), fokus dan nilai-nilai kehormatan.

Kedisiplinan Samurai bukanlah “hangat-hangat tahi ayam” yang hanya bersemangat dan bergairah di awal-awal namun tak bisa berbuat banyak di pertengahan dan bahkan melempem di akhir perjalanan.

Kedisplinan mereka juga bukan “sistem kebut semalam” yang hanya terbakar semangat di saat terburu waktu dan terdesak dalam tenggat waktu dan sama sekali tidak bisa menikmati dan bergaul akrab dengan proses.

Namun, kedisiplinan mereka mainkan dengan irama yang sama, tenaga yang tak mudah kendor dan kecepatan serta akselerasi yang tak goyah di setiap tikungan. “Hanya disiplin lah yang mampu mengantarkan seseorang sampai ke garis finish dengan penuh hormat.” tegas Rhenald Kasali.

Lalu bagaimana setiap orang bisa meniru dan mempraktekkan “Self-Driving” (pengendalian diri) dalam kedisplinan dan keistiqomahan seperti yang digambarkan dalam dua kisah di atas agar bisa menjadi orang yang lebih baik, lebih berkualitas dan menjalani hidup lebih bermakna?

Intinya, kata kunci dari “Self-Driving” dalam dua kisah inspiratif di atas harus dipahami dulu: Istiqomah, self-discipline, fokus dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan.

Kemudian, rumus jitu dan sederhana dari ustadz Felix Siauw berikut bisa diterapkan: Practice + Repetition = Habit. Maksudnya, ambil satu kegiatan baik lalu lakukan, dan terus lakukan, serta lakukan berulang-ulang maka akhirnya ia akan menjadi kebiasaan. Nasehat dan semangat yang sama juga disampaikan oleh Ade Rai: “Pilih satu kegiatan baik, lakukanlah secara rutin dan lupakan alasan”, tegasnya.

Menurut Jamil Azzaini, berdasarkan beberapa catatan, bila suatu tindakan dilakukan berturut-turut selama 21 hari atau paling lama 90 hari, maka secara otomatis kegiatan tersebut akan menjadi kebiasaan.

Dan, karena kedisiplinan sangat terkait dengan mendorong diri sendiri (memberi semangat) terutama saat rasa malas menghantam maka kemampuan untuk memberi semangat pada diri sendiri juga amat penting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Richard St. John melalui wawancaranya dengan 500 orang sukses dunia, ia menyelipkan sebuah pelajaran penting: “most successful people keep pushing themselves”; orang sukses selalu menghidupkan semangat untuk dirinya sendiri.

Jadi, bila kedisiplinan dan istiqomah serta terus membakar semangat diri sendiri menjadi dasar tindakan sehari-hari maka kesuksesan adalah sebuah keniscayaan, keberhasilan hanyalah masalah waktu saja. Bagaimana menurut Anda?

 

Ikuti tulisan menarik Solihin Agyl lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB