Klinik Opini: Moratorium, Jeda Nelayan Sebelum Senjakala

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya

Kisruh mengenai pro kontra reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta selama satu dasawarsa terakhir tak bisa lepas dari sejarah reklamasi pada komersialisasi Pantai Indah Kapuk. Lagi-lagi kita bertanya, reklamasi ini milik siapa? Belum lagi kasus korupsi yang menyandung salah satu anggota DPRD yang terhormat dalam rangka menyetujui Rancangan Peraturan Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, menambah degradasi kepercayaan nelayan terhadap megaproyek tersebut.

Diluar soal tumpang tindih perizinan, kerancuan persyaratan teknis zonasi yang belum rampung regulasinya dan dampak kerusakan lingkungan akibat reklamasi, pemerintah semestinya juga berpedoman pada Undang-undang (UU) No. 27 tahun 2007 pada pasal 34. Redaksi dalam UU tersebut  menjelaskan bahwa reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya.

Penyegelan pulau G Teluk Jakarta oleh forum nelayan, pada Minggu, (17/4) lalu merupakan aksi simbolik nelayan untuk menghentikan reklamasi di pulau tersebut. Satu hari sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, memberikan mandat penghentian sementara reklamasi Teluk Jakarta sampai pengembang dan Pemrov DKI Jakarta melengkapi kewajiban dan perizinan dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kelautan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jika reklamasi tetap dijalankan, forum nelayan berjanji akan membawa massa yang lebih banyak untuk mendesak pemerintah. Penyegelan dan ancaman nelayan itu adalah indikasi betapa tingginya biaya sosial yang meski dibayar demi menebus manfaat sosial dan ekonomi dari kegiatan reklamasi. Nampaknya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) terburu-buru tergiur oleh proyeksi keuntungan Pemda akibat dari pajak pengembang terhadap pulau reklamasi. Pemasukan pajak daerah yang nantinya akan menjadi kembung, diimingi-imingi untuk pembangunan kota dan kesejahteraan ekonomi rakyat.

Namun Ahok sepertinya gagal meredam kegelisahan para nelayan dengan pernyataan yang dilansir di laman Tempo.co pada Kamis (14/4) lalu, Nah, ini saya mau bangun apartemen di Pulau Seribu, nelayan tinggal di situ. Tambak saya kasih, kapal saya kasih, naik kapal, naik bus tidak bayar ke Jakarta. Dan harga beras di sana saya jamin sama dengan Jakarta, saya kirim dengan kapal saya.”

Sebab pernyataan-pernyataan lewat media saja tidak cukup, para nelayan yang sudah kadung defensif terhadap dampak reklamasi yang dianggap akan merugikan kehidupan sosial mereka. Pemerintah perlu melakukan transparansi terhadap program-progam ke depan untuk nasib nelayan.

Reklamasi Teluk Jakarta merupakan kekalahan kedua bagi nelayan Teluk Jakarta. Kekalahan pertama mereka adalah pencemaran Teluk Jakarta akibat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap industrilisasi. Pencemaran tersebut menurunkan hasil tangkapan nelayan, dan membuat ikan-ikan dan kerang-kerang Teluk Jakarta juga  ikut tercemar.

Pengkajian terhadap megaproyek reklamasi Teluk Jakarta semestinya dilakukan dengan cepat dan cermat. Lintas instansi perlu bersinergi lewat pendekatan konsulatif tanpa mengabaikan harga-harga sosial yang mesti dibayar. Moratorium (penghentian sementara) jangan sampai terkatung-katung lama, mengingat fase moratorium reklamasi Teluk Jakarta juga berdampak negatif bagi lingkungan.

Pada akhirnya, keputusan pemerintah mengenai megaproyek reklamasi Teluk Jakarta dan komitmen pemerintah terhadap keputusan tersebut  akan menentukan nasib nelayan di sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Nelayan yang nanti diungsikan di Pulau Seribu, atau ke ladang baru apakah lebih sejahtera atau nasibnya kian buruk? Dan apakah pembangunan kota yang menaikkan pendapatan Pemda DKI Jakarta serta merta menyediakan kesempatan bagi kemajuan ekonomi rakyat pesisir? Seperti misi awal reklamasi?

Jangan sampai nilai sosial yang sudah dikorbankan demi reklamasi pada akhirnya susut, terabrasi, sia-sia digerus oleh komersialisasi. Sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, kita tidak ingin melihat iklan-iklan properti mewah untuk kalangan ekonomi superior justru lebih kencang daripada transparansi progress pembangunan yang pro rakyat kecil. Seperti yang sudah-sudah, berita-berita hunian mewah jangan sampai menimbun berita tentang ketidaksejahteraan rakyat paska reklamasi. Buruh-buruh, nelayan-nelayan, rakyat-rakyat pesisir yang terusir dari rumahnya sendiri jangan sampai hanya jadi penonton kehidupan hingar bingar di pulau reklamasi. Sementara nasib mereka, lagi-lagi luput dari perhatian pemerintah.

Jika pemerintah mengulang komersialisai reklamasi yang sudah-sudah, maka bersiap saja rakyat akan lebih defensif atau bahkan anarkis terhadap proyek-proyek reklamasi selanjutnya yang katanya adalah kemutlakan solusi bagi sempitnya lahan dan pembangunan kota, yang ironinya bertentangan pula dengan misi maritim Presiden Jokowi.

Di masa moratorium ini, barangkali nelayan sedang menikmati detik-detik perpisahannya dengan Teluk Jakarta. Nelayan dan keluarganya terkatung-katung diatas perahu sewaan dan pulang sambil membesarkan hati atas penghasilannya yang kian turun sejak pencemaran laut oleh industri dan  proyek reklamasi. Sambil menunggu kejernihan keputusan pemerintah, ratusan nelayan sedang berada pada jeda untuk menyambut senjakalanya. Setelah puluhan tahun menggantungkan nasib pada Teluk Jakarta.

Pembangunan adalah koin dengan dua sisi yang bertentangan. Tak ada pembangunan tanpa harga-harga yang dibayar. Pemerintah perlu menjamin hasil pembangunan lebih besar ketimbang harga-harga yang sudah dikorbankan.

Sumber foto: http://indonesianindustry.com

Bagikan Artikel Ini
img-content
Diaz Setia

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Petani-petani Kendeng dan Kebebasan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler