x

Iklan

Tomson Sabungan Silalahi Silalahi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyadari (Kembali) Pentingnya Pendidikan Keluarga

Ibu Teresa pernah mengatakan bahwa “Orang yang saling mengasihi satu sama lain adalah orang yang berbahagia di dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak orang mengakui bahwa pendidikan adalah sangat penting, sampai pada tingkat global, Pasal 13b Piagam PBB 1945 berbunyi “Memajukan kerjasama internasional di lapangan ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, dan membantu pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama”. Sedemikian pentingnya pendidikan itu hingga di sebagian besar negara mewajibkan masyarakatnya untuk mengikuti pendidikan sampai usia tertentu.

Di Indonesia, salah satu program dari pemerintahan Jokowi – JK adalah wajib belajar 12 (dua belas) tahun gratis, pemerintah siap dalam membiayai dan memberikan semua fasilitas sampai anak bangsa memiliki pendidikan yang minimum sampai pada tingkat sekolah menengah atas (SMA). Namun tak dapat dimungkiri dalam pelaksanaannya belumlah maksimal di beberapa daerah. Namun penulis tidak akan membahas lebih lanjut mengapa belum maksimal tapi lebih kepada niat baik yang dilatarbelakangi kesadaran akan sangat pentingnya pendidikan demi kemajuan bangsa.

Merujuk pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary pendidikan adalah “a process of teaching, training and learning, especially in schools or colleges, to improve knowledge and develop skills.” Singkatnya, pendidikan adalah proses kegiatan khususnya di sekolah (formal) untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan. Proses pendidikan sekarang sudah dilakukan di komunitas-komunitas seperti sekolah. Berbicara pendidikan, pikiran kita pasti langsung diarahkan pada pendidikan formal di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas sampai ke perguruan tinggi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, sebelum sekolah formal ada, dahulu di Yunani untuk mengisi waktu luang, orang tua mengajak anak-anaknya mengunjungi suatu tempat untuk mempelajari sesuatu demi kebutuhan mereka. Di sana mereka bermain serta belajar berbagai hal mengenai kehidupan. Seiring waktu, banyak orang tua tidak mampu lagi meluangkan waktunya untuk anak mereka karena kesibukan dengan pekerjaan, maka dititipkanlah anak-anak tersebut kepada orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan untuk mengisi waktu-waktu luang anaknya. Anak-anak tersebut kemudian diasuh dan diberikan bekal ilmu pengetahuan oleh pengasuhnya. Orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan tersebut diberi nama “alma mater” yang berarti “ibu pengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu”. Dari pengertian itu, jelas bahwa alma mater sendiri berposisi sebagai orang tua ketika anak atau tiap individu dititipkan  padanya. Ada tanggung jawab besar yang harus ditanggungnya, memberi pengetahuan sekaligus mengasuh. 

Sekarang ketika hampir semua orang tua memberikan tanggung jawab besar itu kepada alma mater (baca: sekolah formal) maka hampir semua pula orang tua itu berfikir bahwa mereka serta merta tidak punya tanggung jawab dalam pendidikan anak mereka. Orang tua kebanyakan menyalahkan institusi formal itu jika anak-anak mereka tidak berperilaku (baca: menunjukkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai) seperti yang mereka inginkan. Orang tua kebanyakan tidak sadar bahwa pendidikan anak-anak mereka berawal dari keluarga. Kombinasi pendidikan keluarga dan pendidikan formal-lah yang menetukan akan jadi apa anak-anak mereka kelak dalam menjalani hidup dalam kehidupan mereka.

Sejatinya, pendidikan dimulai dari dalam keluarga karena tidak ada orang yang tidak dilahirkan dalam keluarga. Seperti yang sudah kita bahas di muka, keluarga ada sebagai lembaga yang memainkan peranan penting dalam pendidikan yakni sebagai peletak dasar. Dari keluarga orang mempelajari banyak hal, mulai dari berbicara, merangkak, berjalan, berinteraksi dengan orang lain, menyatakan keinginan dan perasaan, menyampaikan pendapat, bersikap, berperilaku, hingga bagaimana menganut nilai-nilai tertentu sebagai prinsip dalam hidup.

Umumnya, sebuah keluarga terjalin oleh cinta kasih oleh ayah dan ibu. Cukuplah kiranya menyatakan bahwa keluarga adalah sumber cinta kasih. Di dalam keluargalah pertama sekali seorang anak merasakan kasih dan belajar mengekspresikan kasih, menyatakan cinta kepada orang lain. Apabila keluarga gagal menjadi sumber kasih, anakpun akan gagal dalam hal mengasihi orang lain, begitu pun sebaliknya. Maka cara termudah untuk mengetahui tinggi rendahnya partisipasi seseorang dalam masyarakat adalah dengan menelusuri partisipasinya dalam keluarganya sendiri.

Ibu Teresa pernah mengatakan bahwa “Orang yang saling mengasihi satu sama lain adalah orang yang berbahagia di dunia. Mereka mengasihi anak-anak mereka dan mereka mengasihi keluarga mereka. Mungkin saja sangat miskin… tetapi mereka bahagia”. Santa Teresa yang sangat menginspirasi itu pun sangat sadar akan pentingnya sebuah keluarga terhadap pendidikan anak-anak. Tidak jadi soal jika keluarga itu miskin atau kaya. Tidak terlalu penting apa yang mereka makan sehari-hari. Berapa kali mereka makan kenyang, dan berapa kali harus setengah kenyang. Selama sesama anggota keluarga saling mengasihi satu sama lain maka itulah pendidikan yang paling baik dan mendasar bagi anak-anaknya.

Pentingnya pendidikan di dalam keluarga juga disadari oleh Gereja Katolik Keuskupan Agung Medan (KAM). Seperti tahun-tahun sebelumnya setiap masa Pra Paskah, Gereja Katolik selalu membahas lima poster, setiap poster akan dibahas pada satu hari yang ditentukan sebagai bahan permenungan dalam satu minggu. Bisa saja setiap Jum’at malam atau Sabtu malam, tergantung kesepakatan dari tiap komunitas yang telah memperoleh poster itu.

Sebenarnya, untuk tahun 2016 ini, Aksi Puasa Pembangunan (APP) Nasional mengusung tema “Hidup Pantang Menyerah: Tekun, Ulet dan Sabar”. Namun untuk Keuskupan Agung Medan (KAM), tema itu dilengkapi sehingga menjadi “Keluarga Katolik, Hidup Pantang Menyerah: Tekun, Ulet dan Sabar”. Penambahan kata-kata “keluarga katolik” dalam tema ini adalah karena Gereja KAM sedang menuju Sinode VI tentang keluarga. Juga atas kenyataan dewasa ini, keluarga-keluarga (Katolik secara khusus) semakin dituntut memiliki daya juang yang tinggi untuk menghadapi berbagai tantangan zaman. Keluarga didorong dan diberdayakan untuk tidak menyerah terhadap masalah dan kesulitan besar yang menghadang.

Pada pertemuan pertama (Poster 1), membahas tentang “Keluarga Katolik membina hidup beriman di dalam keluarganya”. Poster ini dibahas bersama agar peserta: 1. Menyadari pentingnya pembinaan hidup beriman di tengah keluarga sejak dini; 2. Mengungkapkan bentuk-bentuk pembinaan iman yang dapat dilakukan di dalam keluarga.

Dalam janji perkawinan, sangat ditekankan kesetiaan kedua mempelai dan kesediaan membina anak-anak yang dikaruniakan Tuhan. Dalam pembinaan itu, mereka hendaknya mengambil peran sebagai guru, imam dan gembala dalam keluarga (AD Paroki KAM, 2009, Pasal 29 ayat 1).

Sebagai guru, mereka hendaknya mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan iman Katolik di tengah-tengah keluarga, bukan hanya dengan kata-kata tetapi terutama melalui teladan hidup. Sebagai imam, orang tua mampu membawa keluarga kepada nilai-nilai kekudusan dalam bentuk kesetiaan satu sama lain, menjadi pemimpin rohani dalam keluarga, dan mengenalkan hidup menggereja kepada anak-anaknya. Sebagai gembala, mereka harus melindungi, mengenal watak masing-masing anggota keluarga, mengasihi dan peduli akan kebutuhan keluarga serta mengarahkan hidup keluarga berjalan di jalan yang benar.

Pada pertemuan kedua membahas tentang “Keluarga Katolik menampakkan imannya di tengah masyarakat”. Tujuannya adalah agar peserta: 1. Menyadari bahwa iman perlu diwujudkan dalam hidup bermasyarakat; 2. Menyadari bahwa iman harus ditampakkan dalam perbuatan; 3. Mengungkapkan beberapa sikap atau perbuatan yang dapat dilakukan dalam hidup bermasyarakat sebagai perwujudan imannya.

Keluarga merupakan lembaga yang mempersiapkan pribadi manusia menjadi lebih baik. Keluarga yang baik memberi sumbangan yang besar untuk masyarakat. Perilaku dari seseorang di tengah masyarakat adalah cerminan kehidupan yang diterimanya dari tengah keluarganya. Identitas keluarga dibangun oleh masing-masing anggota keluarga. Karena itu setiap keluarga mempunyai ciri atau gaya hidup masing-masing seturut kebiasaan yang dibangun di dalam keluarga itu.

Pada pertemuan ketiga membahas tentang “Keluarga Katolik menanggapi kemajuan zaman”. Tujuannya adalah agar peserta: 1. Mengungkapkan sejumlah sisi positif dan sisi negatif dari kemajuan zaman yang berdampak pada hidup keluarga; 2. Menyadari perlunya menghadapi kemajuan zaman ini dengan iman; 3. Menyadari perlunya sikap kritis dalam menanggapi kemajuan zaman.

Kemajuan zaman pada dasarnya baik. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa kemajuan zaman itu mempunyai dampak positif dan negatif untuk kehidupan manusia. Kita butuh dasar yang kuat untuk menanggapinya, yaitu iman kita. Kita harus mengakui bahwa kemajuan zaman membuat kita semakin mudah mencapai tujuan, mendekatkan jarak antar manusia, memberi banyak pengetahuan akan berbagai hal. Sejalan dengan itu orang mau serba cepat mendapatkan hasil tanpa peduli dengan proses atau cara memperolehnya. Budaya materialistik dan hedonistik juga mewarnai kehidupan kita. Kecenderungan banyak orang juga tampak dari kuatnya keinginan untuk memakai barang-barang yang diinginkan, termasuk bahan makanan, tak dipersoalkan apakah itu dibutuhkan atau tidak. Gereja sama sekali tidak anti terhadap kemajuan zaman, bahkan mendukung, namun mengingatkan (keluarga-keluarga) umat agar peka atau tanggap akan zaman. Agar menggunakannya secara bijak dan benar, kemajuan zaman tak pernah salah bahkan bisa digunakan sebagai sarana untuk mewartakan dan mengembangkan iman.

Pada pertemuan keempat mambahas tentang “Keluarga Katolik membangun hidup damai sejahtera”. Tujuannya agar peserta: 1. Mengungkapkan tanda-tanda keluarga yang mengalami hidup damai dan sejahtera; 2. Menyadari bahwa untuk mencapai hidup damai dan sejahtera dalam keluarga perlu perjuangan dan ketekunan; 3. Mengungkapkan sikap-sikap anggota keluarga yang dapat membangun hidup damai dan sejahtera.

Hidup damai dan sejahtera merupakan dambaan dari seluruh anggota keluarga. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Keluarga damai dan sejahtera diartikan sebagai keluarga yang secara utuh mampu melaksanakan fungsi-fungsi keluarga, seperti membangun dan melestarikan keadaan keluarga rukun, damai, harmonis, sejahtera jasmani dan rohani. Fungsi-fungsi itu tidak berdiri sendiri melainkan saling berkaitan satu sama lain.

Dewasa ini banyak persoalan yang dihadapi keluarga-keluarga, misalnya tidak puas dengan pekerjaan dan penghasilan yang didapatkan, bahkan ada yang meninggalkan keluarga dan pergi merantau demi kesejahteraan keluarga. Padahal tindakan itu tidak membuat keluarganya mengalami damai sejahtera, tetapi justeru sebaliknya, membuat anggota keluarga hidup terpisah, terlantar, dan mendatangkan konflik.

Keluraga dituntut bekerja keras, tekun dan ulet dalam meberdayakan seluruh anggotanya untuk hidup sederhana dan mampu menghadapi tantangan-tantangan baru, menjalin relasi dan komunikasi guna membangun hidup bersama yang lebih damai dan sejahtera. Keluarga juga harus mau bersyukur atas rahmat Tuhan yang diterima dalam hidup. Karna seperti kata Rhonda Byrne dalam bukunya The Magic bahwa semakin banyak kita bersyukur maka syukur akan dilimpahkan. Syukur adalah kunci dari semua kehidupan.

Pada pertemuan kelima membahas tentang: “Keluarga Katolik sebagai gereja kecil”. Tujuannya adalah agar peserta: 1. Menyadari bahwa keluarga adalah Gereje Kecil; 2. Mengungkapkan segi-segi hidup menggereja; 3. Mengungkapkan bentuk pertobatannya sebagai buah dari pendalaman APP tahun 2016 ini.

Konsili Vatikan II menyebut keluarga sebagai Gereja keluarga (Lumen Gentium, No. 11). Begitu eratnya pertalian antara keluarga dan gereja. Keluarga ikut mengambil bagian dalam tugas perutusan Gereja, yaitu mewartakan karya keselmatan dari Allah. Di dalam setiap keluarga terdapat juga kelima tiang hidup menggereja, yakni persekutuan (koinonia), perayaan iman (liturgia), pewartaan/pengajaran imam (kerygma), pelayanan (diakonia), dan kesaksian iman (martyria).

Melihat beberapa fakta yang terjadi akhir-akhir ini, seperti serangan bom bunuh diri yang terjadi di dua lokasi penting di Belgia beberapa hari yang lalu, kemudian melalui salah satu media online penulis mendapatkan kabar kalau sedikitnya 25 orang tewas dan 61 orang terluka setelah sebuah bom meledak di kota Lahore, Pakistan, Minggu (27/3/2016), sangat memprihatinkan dan pasti menimbulkan banyak reaksi. Pemerintah Inonesia kembali meningkatkan status siaga keamanan untuk mengantisipasi terjadinya peristiwa serupa. Selain itu, disinyalir kampus-kampus menjadi target penyebaran paham radikal sekarang ini, bahkan di tingkat Sekolah Menengah Atas. Seyogianya, paham-paham radikal itu tidak akan berkembang jika pendidikan di keluarga sudah kuat. Usaha-usaha prefentif harus dimulai dari pendidikan yang baik di keluarga.

Sambil merayakan Paskah, maka untuk menutup tulisan ini, pertanyaan reflektif dari pertemuan terakhir pada pendalaman poster APP tahun 2016 sangatlah pas untuk kita renungkan demi menghidupkan kembali pendidikan di dalam keluarga kita masing-masing. 1. Apakah aku merasa bahwa keluargaku sungguh bersatu, hidup akrab satu sama lain?; 2. Apakah aku merasa bahwa keluargaku hidup dalam doa dan dekat dengan Tuhan?; 3. Apakah aku merasa bahwa di dalam keluargaku ada pengajaran tentang iman?; 4. Apakah aku merasa bahwa tugas yang kukerjakan di dalam keluarga didasari oleh semangat melayani?; 5. Apakah aku merasa bahwa orang lain melihat imanku dalam sikapku?. Sembari merefleksikan semua pertanyaan itu, semoga hidup di kelurga kita masing-masing akan lebih baik, demi kebaikan bersama di masyarakat, berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai anggota keluarga dunia di planet bumi yang semakin panas ini. Semoga!!!

 

Catatan:

  1. 1. Tulisan ini banyak mengutip isi dari Buku Panduan Pendalaman APP Keuskupan Agung Medan Tahun 2016.
  2. 2. Tulisan ini sudah diterbitkan pertama sekali di Harian Metrosiantar pada tanggal 8 Maret 2016 namun sudah di-edit di beberapa bagian untuk menjadikan tulisan ini lebih aktual lagi.

Ikuti tulisan menarik Tomson Sabungan Silalahi Silalahi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler