x

Iklan

Tomson Sabungan Silalahi Silalahi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perempuan Sadar Membangun Dunia

“To become truly great one has to stand with people, not above them.”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (bdk. Kejadian 2:22-23)

 

Begitulah singkatnya kisah penciptaan seorang perempuan, yang diambil dari tulang rusuk laki-laki. Tulang rusuk berada di bagian tengah manusia, bukan di bagian bawah pun di bagian atas. Ini merupakan isyarat awal dari Allah bahwa perempuan bukanlah berada di bawah (kendali) laki-laki pun di atas, namun sejajar dengan laki-laki.

Sejajar berarti sejalan (sama arah, jarak dan tujuannya) serta sama derajatnya. Inilah kiranya yang diharapkan lewat tulisan ini untuk mengingatkan laki-laki dan (terutama) perempuan untuk saling mengisi sekaligus membuang jauh-jauh bahwa ada pihak yang derajatnya lebih tinggi dari pihak yang lain. Dalam kasus ini kebanyakan laki-laki merasa derajatnya lebih tinggi daripada perempuan dan perempuan merasa (bahkan mengamini) derajatnya lebih rendah dari laki-laki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adalah R.A. Kartini (1879-1904) perempuan pemikir awal mengenai hak-hak perempuan dan penganjur pendidikan (untuk) perempuan. Ia percaya jika perempuan terdidik, maka ia dapat mendidik anak dan keluarga lainnya, hingga ia mendirikan lembaga pendidikan bagi perempuan. Surat-suratnya yang kita kenal (dan dirangkum) dalam buku “Habis gelap terbitlah terang” tidak hanya dikenal di kalangan gerakan perempuan, tetapi juga di kalangan gerakan nasional yang telah menginspirasi banyak orang untuk (terutama perempuan) menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Sebelumnya, telah tercatat beberapa tokoh perempuan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Sebut saja Nyi Ageng Serang (1752-1825), Martha Christina Tiahahu (1818), Cut Nyak Dien (1850-1908) dan Cut Meutia (1870-1910). Para pejuang perempuan itu, meski tidak secara spesifik menyebut hak-hak perempuan, namun mereka menjadi inspirasi bagi para pejuang hak-hak perempuan sesudahnya, mereka memberikan contoh jika tidak hanya laki-laki yang (bisa) membela mati-matian akan hak-haknya, perempuan juga mau, mampu, bisa sejajar dengan laki-laki.

Kembali kepada Ibu Kartini, memang terkenal dengan pakaian kebayanya. Hingga sampai sekarang jika orang memakai kebaya tidak jarang orang yang melihatnya menyamakan (yang memakainya) dengan Ibu kita Kartini. Sampai di beberapa kampus, jika akan melaksanakan yudisium, mahasiswa perempuan ‘diwajibkan’ memakai kebaya, bersanggul semirip mungkin dengan foto Ibu Kartini yang sering kita lihat, digantung di banyak tempat, simple-nya silahkan browsing di internet, ketik “kartini” maka, akan muncul foto Ibu Kartini berkebaya dan sanggul khas pada zamannya.

Ini kasus kecil tapi (agaknya) mewakili gambaran perempuan kebanyakan (di Indonesia) yang teman (perempuan) penulis alami. Ada sebenarnya beberapa perempuan itu yang keberatan dengan aturan itu, tapi tidak berani membantah, mengutarakan pendapat tidak terbiasa baginya, bayangkan saja, padahal dia sudah akan diwisuda. Seolah-olah kebaya dan sanggunl inilah yang menjadi perjuangan ibu Kartini. Kita selalu tenggelam dengan simbol-simbol yang kiranya tidak berarti jika tidak kita implementasikan dengan baik arti dari semua simbol yang ada. Cita-cita ibu Kartini tentang emansipasi yang mulia itu perlahan hilang tertelan kegelapan, terang tidak (belum) kunjung tiba. Kita memakai simbol tanpa memaknai (mengetahui) simbol itu sendiri. Pendidikan sudah dikecap hingga Perguruan Tinggi, tapi rasa-rasanya hasilnya nihil, apa gerangan yang membuat semua ini menjadi kenyataan? Perempuan itu, tidak mengenal siapa dirinya sendiri.

Ini, selanjutnya merupakan seruan (menganjurkan untuk menyebarluaskan idenya ini kepada semua perempuan yang kita kenal) saudara Lintong Simaremare, yang penulis kutip dan berusaha mengembangkan opininya tentang perempuan dan kemampuan yang dimilikinya. Kiranya tepat untuk menggugah (kembali) semangat perempuan untuk terus berjuang demi hak-haknya.

Beginilah perempuan, perempuan mampu menjaga banyak anak saat yang bersamaan. Punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan dan semua dilakukannya cukup dengan dua tangan. Perempuan juga mampu menyembuhkan dirinya sendiri, dan bisa bekerja 18 jam sehari (bahkan lebih). Bayangkan saja seorang perempuan yang bekerja sebagai guru, mempunyai anak, dia harus bangun pagi-pagi benar untuk menyiapkan sarapan anak-anak dan suaminya, setelah selesai menunaikan tugas di sekolah, harus memasak juga di sore hari untuk makan malam bersama keluarga. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan rutin lainnya.

Tidak hanya berpikir, perempuan mampu bernegosiasi. Kelihatan lelah dan rapuh, seolah terlalu banyak beban baginya. Itu bukan lelah atau rapuh, itu air mata. Air mata adalah salah satu cara bagi perempuan mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan dan kebanggaan.

Perempuan mempunyai kekuatan mempesona laki-laki, tentu tidak hanya mempesona dari tampilan luar juga mempesona karena padanya ada inner beauty. Perempuan dapat mengatasi beban bahkan (kadang-kadang) melebihi laki-laki. Mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri. Mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit. Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan. Perempuan berkorban demi orang yang dicintainya. Mampu berdiri melawan ketidakadilan, lihatlah ketangguhan perempuan-perempuan yang berdemo di depan istana dengan kedua kaki di semen yang baru-baru ini kejadian.

Perempuan tidak menolak kalau melihat yang lebih baik, perempuan cenderung lebih menerima perubahan. Perempuan menerjunkan dirinya untuk keluarganya. Perempuan membawa temannya yang sakit untuk berobat. Perempuan menangis saat melihat anaknya adalah pemenang tapi tidak justeru meninggalkan anaknya yang kalah melainkan mendukungnya hingga bangkit dari keterpurukan. Perempuan girang dan bersorak saat melihat kawannya tertawa. Perempuan begitu bahagia mendengar kelahiran. Hati perempuan begitu sedih mendengar berita sakit dan kematian. Tetapi selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup. Perempuan tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka.

Hanya ada satu hal yang kurang dari perempuan: Dia lupa (atau tidak tahu) betapa berharganya dia. Menyadari bahwa kita itu berharga, menyadari ada banyak perempuan yang tangguh, menyadari sudah ada banyak perempuan yang sudah menunjukkan ketangguhannya, menyadari banyak yang sudah berjuang akan kesetaraan perempuan dengan laki-laki, tidak saatnya lagi berdebat, bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Saatnya perempuan dan laki-laki berjalan di jalan yang sama, sederajat. Membangun dunia yang lebih baik, rumah kita bersama. Untuk para laki-laki, kiranya nasihat Charles de Montesquiou ini sangatlah tepat, “To become truly great one has to stand with people, not above them.”

 

Jakarta, 21 April 2016

Tomson Sabungan Silalahi

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Tomson Sabungan Silalahi Silalahi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini