x

Iklan

Tengku Muharam

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bendera Aceh...Siapa yang Salah???

Agar polemik bendera Aceh tidak berkepanjangan, maka dibutuhkan sikap yang arif dan bijaksana dari pihak eksekutif dan legislatif Pemerintah Aceh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebenarnya kita semua sudah mengetahui bersama, bahwa setiap peraturan yang sudah ditetapkan oleh lembaga negara, pemerintahan harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Bila peraturan tersebut tidak dijalankan, maka akan berdampak buruk bagi yang melanggarnya. Itulah sedikit pencerahan bagi orang, kelompok, komunitas dan apapun namanya...jika melanggar peraturan yang sudah ditetapkan, tentu akan berdampak buruk, apalagi dampak buruknya harus ditanggung oleh orang banyak.

Masih segar dikepala kita masing-masing, khususnya masyarakat Aceh, baik dari pejabat sampai kepada masyarakat lapisan bawah dimana salah satu kekisruhan yang sedang melanda Aceh adalah masalah keabsahan bendera Bulan Bintang. Bendera Bulan Bintang yang rencananya akan dijadikan sebagai alat pemersatu masyarakat Aceh, ternyata sampai saat ini bendera tersebut belum bisa dikibarkan. Hal ini terjadi, karena Pemerintah Pusat, tidak menyetujui apa yang sudah dituliskan dan ditetapkan dalam Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Provinsi Aceh.

Jika kita bertanya...siapa yang bersalah...? Masyarakat Aceh tentu bisa menjawab siapa yang bersalah. Tetapi menurut saya, kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, tetapi mari kita lihat kembali aturan tentang bendera Aceh yang sampai saat ini mejadi polemik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama : Tahun 2005, tanggal 15 Agustus, MoU Helsinki ditandatangani. Ada dua butir dari perjanjian tersebut yang perlu dipedomani. Pada pasal 1.1.5 tertulis “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne”, dan pada pasal 4.2 tertulis “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota kesepahaman ini”.

Kedua : Tahun 2006, tanggal 1 Agustus, Undang-Undang Pemerintah Aceh. Pada pasal 246 tertulis : (1)Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia berdasarkan Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2)Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yangmencerminkan keistimewaan dan kekhususan, (3)Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh, (4)Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimanadimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Ketiga : Tahun 2007, tanggal 10 Desember, Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pada pasal 6 ayat4 tertulis “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai  persam aan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atauorganisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Keempat : Tahun 2013, tanggal 25 Maret, Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013. Pada pasal 4 ayat 1 tertulis “Bendera  Aceh  berbentuk  empat  persegi  panjang  dengan ukuran  lebar  2/3  (dua  pertiga)  dari  panjang,  dua  buah  garis lurus  putih  di  bagian  atas,  dua  buah  garis  lurus  putih  di bagian  bawah,  satu  garis  hitam  di  bagian  atas,  satu  garis hitam  di  bagian  bawah,  dan  di  bagian  tengah  bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam”.

Jadi ketika kita membaca kronologi diatas, maka Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Provinsi Aceh, ternyata sudah menyalahi aturan, dimana sebelumnya sudah diatur tentang bendera dan lambang daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007. Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tersebut juga sudah menyalahi UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Hirarki dari UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan pada pasal 7 adalah: UUD1945, Tap MPR, UU, PP penggantian UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Propinsi, Perda kabupaten/ Kota.

Oleh karena itu agar polemik bendera Aceh tidak berkepanjangan, maka dibutuhkan sikap yang arif dan bijaksana dari pihak eksekutif dan legislatif Pemerintah Aceh. Tujuan dari keberadaan bendera Aceh sendiri adalah sebagai alat pemersatu masyarakat Aceh dan bukan bendera untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Kami masyarakat Aceh.....menginginkan sikap yang arif dan bijaksana dari para pemimpin kami...yang memimpin kami di Aceh. (Tgk Muharam)

Ikuti tulisan menarik Tengku Muharam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini