x

Ogoh ogoh berbentuk tikus koruptor diarak usai persembahyangan Tawur Kesanga di komplek Tugu Pahlawan, Surabaya, 20 Maret 2015. TEMPO/FULLY SYAFI

Iklan

Deni Iskandar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Negara Harus Kejam Pada Koruptor!

Negara Harus Kejam Pada Koruptor !

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Deni Iskandar

Sekbid PTKP HMI KOMFUF Cabang Ciputat

Perilaku Korupsi yang terjadi di tanah air ini, sudah menjadi persoalan yang biasa. Terutama korupsi yang terjadi ditubuh pemerintah. Dalam beberapa bulan terakhir, persoalan korupsi kembali menggurita. Tertangkapnya, M Sanusi, DPRD DKI Jakarta dalam kasus suap, dan dipulangkannya Samadikun Hartono dari Sanghai, yang selama ini menjadi buron dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ini harus menjadi persoalan yang penting dan harus direnungkan oleh penyelenggara negara, apa yang salah dengan sistem penegakan hukum di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Skandal korupsi yang terjadi beberapa bulan ini, bukanlah persoalan korupsi yang kecil, akan tetapi dalam skandal tersebut terdapat "Grand Korupsi", yang dilakukan oleh pemain kelas kakap. Dan persoalan ini bukanlah perkara yang main-main. Ini harus menjadi catatan penting, dan harus segera dituntaskan oleh penyelenggara negara. Bagaimana pun, korupsi merupakan persoalan yang harus diberantas sampai tuntas.

Korupsi yang terjadi dekat-dekat ini, akan berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa, selain itu korupsi juga akan berdampak pada kerugian negara. Dalam upaya memberantas Korupsi, rupanya tidak hanya KPK, yang harus berperan aktif, akan tetapi lebih dari itu, penyelenggara negara juga perlu membuat sistem penegakan hukum yang tegas, bagi koruptor.

Hal ini penting untuk diwujudkan oleh negara. Agar persoalan Korupsi di Indonesia, tidak kembali terulang dan menjadi budaya baru bagi kehidupan berbangsa. Maka negara dalam hal ini, perlu mewujudkan sistem penegakan hukum yang tegas, agar negara ini bebas dan bersih dari perilaku korupsi. Peran dan fungsi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi seharusnya dapat berjalan beriringan dengan sistem penegakan hukum di Indonesia.

Negara harus membuat serangkaian hukum yang tegas bagi koruptor, yakni hukuman yang bisa memberikan tekanan secara Psikologis pada koruptor, Yakni "Hukuman Mati". Meskipun "Hukuman Mati" ini dianggap suatu hukuman yang dehumanisasi dan bertentangan dengan Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM). namun Panismen ini, penting untuk diwujudkan agar upaya pemberantasan korupsi dapat terwujud. Dan perilaku korupsi dapat dihilangkan di negeri ini.

Sepanjang catatan, Indonesia Corruption Watch (ICW). Pertumbugan korupsi di negeri ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan. angka korupsi dari tahun 2013 sampai 2015, misalnya, mengalami kenaikan yang sangat signifikan.

Pada tahun 2013, jumlah kasus korupsi, sebanyak 560 kasus, ini meningkat dibandingkan pada tahun 2010, sebanyak 458 kasus, tahun 2011 sebanyak 436 kasus, dan tahun 2012 sebanyak, 402 kasus. Sementara angka korupsi pada tahun 2014, sebanyak 308, dan tahun 2015,  sebanyak 524, kasus, dengan jumlah keseluruhan terdakwa sebanyak 564 yang saat ini ditangani oleh Polri, dan KPK. (ICW, 7 Februari 2016).

Meningkatnya, angka korupsi dari tahun ke tahun ini, menyebabkan negara secara perekonomian, mengalami kerugian yang sangat besar, berdasarkan data Mabes Polri, kerugian negara mencapai 437 Miliar Rupiah. Meningkatnya angka korupsi di Indonesia, dari tahun 2013 sampai 2016, ini disebabkan karena, selama ini negara kita, belum memiliki sistem penegakan hukum yang tegas terhadap orang yang melakukan tindakan korupsi.

Tidak hanya itu, negara juga selama ini tidak serius, dalam memberikan hukuman. Akibatnya hukum hanya menjadi simbol tanpa makna, seperti pepesan kosong. Seharusnya Negara bisa lebih tegas dan kejam dalam memberikan panismen pada koruptor. Tidak hanya itu, negara juga harus lebih kejam dalam mewujudkan sistem penegakan hukum. Agar slogan negara Hukum, di Indonesia, bukan hanya menjadi klaim semata.

Negara harus menjadi Monster yang kejam bagi siapa saja yang telah melakukan pelanggaran, dalam Istilah Thomas Hobbes, ini disebut "Leviattan", konteks Indonesia, "Leviattan" di Indonesia dapat diterjemahkan sebagai ketegasan hukum. Maka sudah seharusnya, sistem penegakan hukum di Indonesia,  bersifat "Leviattan" menjadi monster yang kejam bagi semuanya, baik dikalangan masyarakat bawah, menengah maupun masyarakat kelas atas.

Persoalan korupsi yang selama ini terjadi, itu disebabkan karena  sistem penegakan hukum dinegeri ini masih lemah dan masih tebang pilih. Oleh karena itu sistem penegakan hukum di Indonesia sangat diperlukan. Meningkatnya  angka korupsi sepanjang tahun 2013-2016, disebabkan karena sistem penegakan hukum di Indonesia, belum bisa menjadi monster bagi semua kalangan.

Meskipun wacana "Hukum Mati" masih dianggap bertentangan dengan UU HAM, dan banyak sekali ditentang oleh dunia Internasional. Namun wacana "Hukum Mati" ini penting untuk diwujudkan di Indonesia. Karena selain itu, tidak ada solusi kongkret yang bisa menjamin, pertumbuhan korupsi dinegeri ini bisa turun dan hilang secara total.

Lalu, sekalipun wacana "Hukum Mati" harus ditolak karena pertimbanhanya UU yang bersifat Konstitusional, apa yang harus dilakukan oleh negara, agar angka korupsi dan perilaku korupsi di Indonesia bisa hilang, dan negara ini bebas dari korupsi. ?

Selama ini negara dalam memberikan panismen, kepada orang yang melakukan korupsi, tidak sebanding dengan yang dilakukannya. Padahal persoalan korupsi itu, jelas-jelas merugikan negara. Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme itu merupakan cita-cuta yang ideal untuk diwujudkan di negara yang kaya ini.

Dari jumlah undang-undang yang ada di negeri ini, belum ada hukuman yang tegas yang itu bisa membuat para koruptor itu jera. Seperti UU no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PP No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun UU No. 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. (kpk.go.id: diakes pada, 28/04/2016)

Jumlah undang-undang yang disebutkan diatas ini, hanya sebatas, pada persoalan Pidana saja. Dan panismen ini belum bisa memberikan panismen yang setimpal, dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang melakukan korupsi. Penyelenggara negara seharusnya bisa memberikan hukuman yang tegas, dan bisa memberikan efek ketakutan pada semua orang yang ingin melakukan korupsi, seperti "Hukuman Mati" bagi siapa saja yang melakukan tindakan korupsi.

Hanya "Hukum Mati" itulah yang bisa membuat jera para koruptor di negeri ini. Dan bisa memberikan penekanan secara psikologis pada koruptor. Hal ini penting agar orang yang tersangkut kasus korupsi tidak tersenyum saat keluar dari gendung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimana pun tidak ada solusi yang tepat dan kongkret untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, selain memberikan "Hukuman Mati" pada koruptor.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Deni Iskandar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB